1. Distant Start (When Shooting Stars Fall)

47 2 0
                                    

Ini keseratus kalinya aku melirik Xavier. Kamu harus berpura-pura melihat jam di dinding kelas.

Lalu pandanganmu perlahan bisa melayang ke wajahnya. Kamu harus menenangkan detak jantungmu dan melakukan yg terbaik untuk menghindari tatapannya.

Jika tidak, kmu akan seperti diriku tertangkap basah Pura-pura tidak peduli, aku mengalihkan pandanganku dari mata yg tenang itu dan berbalik. 

Menurut Hukum Pertama Ketertarikan Kosmik, ketika seseorang tanpa sadar melihat ke arah org lain, ada kemungkinan 98,8% hal itu terjadi karena dia sedang melihat ke arah mu juga.

Mungkin aku yang memergokinya saat dia menatapku. Bagaimanapun, itulah yang ku katakan pada diriku sendiri.

3 tahun yang lalu, Ketika Xavier pertama kali datang di Akademi, itu adalah hari yang cerah dan jarang terjadi.

Saat itu tahun 214. 214 tahun berlalu sejak kelahiran Philos. Ini juga berarti 214 tahun sejak kehancuran bumi.

Guru-guru kami, yang lahir pada zaman bumi berkata bahwa kita telah menggantikan inti bumi yang padam dengan inti buatan yang kuat. Inti ini menyatukan daratan yang terfragmentasi, mencegahnya ke laut berbintang.

Jadi, selain banyak debu, lebih banyak hari berawan, dan perjalanan antar lempeng tektonik yang rumit, planet kami tidak jauh berbeda dengan bumi beberapa tahun yang lalu.

Kakiku belum pernah menyentuh tanah di tempat lain di Philos. Area kami dimana akademi berada cukup kecil dan juga tidak seperti kami yang dibawa kesini setelah Evol kami bangkit, Xavier adalah murid transfer.

Mungkin itu karena sinar matahari yang indah atau sesuatu hal yang lain, tapi aku selalu ingat dengan jelas saat pertama kali aku melihatnya.

Dia tinggi, kurus, mengenakan seragam sekolah putih. Mata berwarna biru muda secantik langit hari itu.

Xavier memasuki ruang kelas dengan pedang kayu yang diikatkan pada punggungnya. Dia melihat sekilas Tabel tempat duduk, berjalan ke baris terakhir dekat jendela, dan duduk tanpa sepatah kata apapun.

Tenang dan tepat seperti cahaya itu sendiri. Sejak saat itu, selain "Terimakasih" dan "Permisi" dia dan aku nyaris tidak berbicara.

Aku mengenalnya lewat teman sekelasku.Mereka bilang dia tidak tinggal di kampus karena latar belakang keluarganya yg rumit, dan banyak orang melihatnya dikelilingi pengawal.

Rumor ini menjadi semakin keterlaluan dan misterius jika semakin sering beredar di sekitar. Namun semakin misterius dia, semakin penasaran aku tentang Xavier.

Aku ingin tau apa yg dia pikirkan, saat dia menatap ke luar angkasa saat kuliah, Apa yg dia dengarkan ketika dia memakai earbud, kemana dia pergi untuk mengasah ilmu pedangnya dan betapa berbakatnya dia dalam hal itu, dan seberapa tinggi IQ-nya karena dia selalu menjadi yg terbaik dikelas meskipun jelas-jelas dia tidak pernah memperhatikan selama kuliah.

Ada kalanya saat aku menyadari dia sedang tidur. Aku mencoba menggunakan Evol ku untuk beresonansi dgn mimpinya. Namun setiap kali aku melakukannya, aku terlalu gugup lalu gagal. Setelah itu, aku terlambat menyadari bahwa rasa penasaranku ini sebenarnya rasa suka.

Aku selalu berpikir Xavier dan aku bisa terus seperti ini, hidup berdampingan namun dipisahkan oleh dinding kabut. Tapi kemudian, saat kuliah astronomi, guru kami menyebutkan hujan meteor yang terjadi sekali dalam satu abad akan terjadi bulan depan.

Melihat hujan meteor di planet yang langitnya cerah adalah sebuah momen langka...
Ini bahkan merupakan peristiwa yang terjadi sekali dalam satu abad.

Jika aku bisa melihatnya bersama seseorang yang kusuka,
maka aku bisa mati tanpa penyesalan.

Xavier anecdote (Translate)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang