Chapter 5

156 8 28
                                    

*Pov Luke*

Setelah sebulan, aku semakin dekat dengannya. Aku mulai melihat sisi lainnya yang lebih hangat dan lucu. Aku mulai merasa terhubung dengan dia. Kami sering menghabiskan waktu bersama, tertawa, dan berbagi cerita.

Meskipun awalnya kaku, perlahan aku membuka diriku kepadanya. Aku merasa bahagia ketika dia tersenyum. Sesekali, aku ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Tetapi pikir ku ini belum saatnya yang tepat, aku merasa bahwa aku harus memastikan lagi perasaan apa ini.

Terkadang perasaan sedih muncul di hatiku saat melihatnya bersedih, melihatnya menangis, hatiku semakin teriris. Ketika dia tertawa aku pun merasakan kebahagiaan seperti yang dia rasakan. Aku hanya selalu ingin melihat senyum manis dan indah miliknya.

Aku melihatnya keluar dari kamar, "Pagi, ada yang bisa aku bantu?" Tanya ku.

Dia menoleh, "Eh aku...aku sedang bingung kak!"

Aku mengernyitkan dahi, "Bingung? Kenapa?"

"Hari ini aku ada rapat orang tua, tapi ayah kan di luar negeri. Dan ini wajib harus ada yang hadir. Aku sangat bingung!" Jelas nya.

"Jangan khawatir, aku akan menggantikan ayahmu. Aku akan hadir di rapat tersebut dan mewakilinya dengan baik." Ucapku bersedia.

Ia tersenyum senang dan mata nya yang indah berbinar-binar, "Kau serius kak?" Tanya nya.

Aku hanya mengangguk singkat.

Kami berdua segera berangkat ke kampus Alice. Di dalam mobil kami tidak banyak bicara, aku rasa Alice memang sedang dalam mood yang buruk, mungkin. Aku pun menyetel musik pop indie untuk mengisi keheningan yang terjadi di dalam mobil.

"Kak?" Aku menoleh mendengarnya memanggil ku dengan lembut.

"Ya. Ada apa?" Jawab ku mempertahankan sikap dingin ku.

"Aku rindu ibu ku huhu. Seandainya ibu masih ada, pasti dia yang akan hadir dalam rapat ini!" Ucap nya dengan suara yang bergetar.

Aku menoleh dan menenangkan nya, "Aku mengerti perasaanmu. Kehilangan ibumu pasti membuatmu sedih. Tapi ingatlah, semua itu sudah takdir. Dan kamu tidak pernah sendirian!" Ucap ku dengan perhatian.

Sungguh, melihatnya sedih seperti ini membuatku tidak tahan, seperti ada sembilu. Ku beranikan diri untuk memeluknya agar ia lebih tenang.

Aku memberhentikan mobil di pinggir jalan, lalu mendekat kepadanya dan memeluknya dengan lembut. "Jangan menangis, aku di sini untukmu," bisikku sambil mengusap punggungnya.

Alice hanya diam di pelukan ku, dia menangis dengan menyembunyikan wajahnya di dadaku. Aku mengangkat dagu nya. Aku mengusap air matanya dengan lembut dan berkata, "Ibumu pasti akan sangat bangga melihat betapa kuatnya kamu. Jangan pernah ragu untuk berbagi perasaanmu denganku."

Alice hanya diam, ia tak menjawab apapun. Terlihat sangat kalut. Kasihan sekali pikir ku, gadis ini sudah kehilangan ibu, dan ayah yang merawatnya selama ini juga masih harus berkelut dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggal begitu saja.

Tapi apa beda nya denganku? Ibu meninggal kan ku juga. Tetap saja berbeda. Ibu berselingkuh, meninggalkan aku dan ayah. Ia lebih memilih pergi dengan selingkuhan nya, karena ayah yang terkadang sibuk dengan pekerjaan nya, menjadi celah bagi ibu mencari pria lain. Padahal ayah sibuk bekerja, itu semua untuk aku dan ibu juga, tapi ibu tetap saja tidak mengerti.

Aku menatap Alice yang sudah lebih tenang. Aku kembali menyalakan mesin mobil. Kami berangkat menuju kampus.

10 menit kemudian, kami sampai di kampus. Alice turun terlebih dahulu. Aku memanggil nya.

Can't Take My Eyes Off YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang