Meskipun baru sekali berinteraksi, Aneska sudah merasa ada banyak hal yang belum ia ketahui tentang Agatha. Wanita itu tampak misterius, dengan tatapan yang seolah menyimpan banyak cerita. Sikap Agatha yang bijaksana dan penuh pengertian membuat Aneska merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan mereka. Namun, ia juga merasa seolah ada bagian dari Agatha yang tak pernah ingin dibagikan kepada siapapun-sebuah sisi yang mungkin terlalu dalam untuk dipahami oleh orang lain.
Setelah lama terdiam, Aneska akhirnya memilih untuk turun dari tempat jemuran dan memutuskan untuk pergi ke asrama Zainab 8. Harunya yang semula membuatnya terdiam dalam kebingungan kini mulai sedikit mereda, meski masih terasa berat di dadanya. Rasanya seperti ada beban yang tak kunjung lepas, dan dia tahu hanya waktu yang bisa menjawab semuanya.
Langkah-langkahnya terasa lambat dan berat saat ia melewati tangga menuju asrama. Setiap anak tangga yang ia lewati seperti mengingatkan kembali pada setiap kejadian yang membebaninya. Pertengkaran dengan Sofia, ejekan yang datang tak kunjung henti, dan kekhawatiran tentang masa depannya-semua itu terasa menyatu dalam pikirannya, seakan tak ada tempat untuk melarikan diri.
Saat melangkah lebih jauh, kenangan-kenangan lama kembali muncul. Dulu, Aneska selalu merasa nyaman di pesantren ini. Dia datang dengan niat yang tulus untuk mendalami agama dan mendapatkan pengalaman yang bermanfaat. Tetapi setelah beberapa bulan, dia merasa kesulitan untuk beradaptasi. Tidak ada yang pernah memberitahunya bahwa pesantren ini bisa sesulit ini-bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional. Banyak hal yang tidak ia antisipasi, dan sekarang, ia merasa terjebak dalam ketidakpastian.
Namun, dia tahu, tidak ada lagi tempat yang bisa ia tuju selain asrama ini. Di sana, ada teman-teman yang selalu siap untuk mendengarkan keluhannya. Meskipun suasana di pesantren tidak sepenuhnya mendukung, setidaknya ada sedikit kenyamanan yang bisa ia rasakan di tempat itu.
Sesampainya di depan pintu kamar, Aneska menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Begitu pintu terbuka, Alina dan Jelita langsung menyambutnya dengan tatapan penuh perhatian. Mereka tahu, ada sesuatu yang mengganggu Aneska.
"Ada apa, Anes? Kamu kenapa?" tanya Alina, suaranya penuh kekhawatiran.
Aneska menggeleng pelan, matanya sedikit berkaca-kaca. "Aku... aku nggak tahan lagi, Al," jawabnya dengan suara serak. "Sofia, dia... terus nyakitin aku."
Jelita duduk di sampingnya, memberikan ruang bagi Aneska untuk mengungkapkan semuanya. "Kita di sini buat kamu, Anes. Jangan ragu buat cerita," ujar Jelita lembut, mencoba memberikan rasa aman.
Aneska menatap kedua temannya, dan dalam sekejap, air matanya pun mengalir. "Aku cuma ingin belajar dengan tenang di sini. Aku pengen hijrah, tapi malah terasa makin berat," kata Aneska, suaranya penuh dengan keputusasaan.
Alina menggenggam tangannya dengan erat, memberikan dukungan. "Kamu nggak sendirian, Anes. Kita ada di sini. Jangan biarkan mereka buat ngerusak semangat kamu. Mungkin ini ujian kamu."
Aneska terdiam sejenak, mencerna kata-kata Alina. Meski hatinya masih terasa hancur, dia merasa sedikit lebih tenang. Kehadiran teman-temannya membuatnya merasa lebih kuat, seolah ada cahaya yang membimbingnya keluar dari kegelapan yang menjeratnya.
Namun, saat Aneska merasa sedikit lebih tenang, tanpa diduga, santriwati lain datang dengan sengaja mengejeknya. Dengan tatapan tajam dan suara meremehkan, santriwati itu berkata, "Gitu aja nangis? Cemen banget sih lo, Anes."
Aneska merasa terkejut dan sangat terluka mendengar kata-kata itu. Namun, Alina dan Jelita segera bereaksi. Mereka berdiri tegak, siap membela Aneska.
Alina menarik napas panjang, matanya sejenak menerawang, seperti mengingat kembali masa-masa sulit yang pernah dia lewati. "Anes," katanya perlahan, suaranya lebih serius, "Aku paham kok perasaan kamu. Dulu, pas MTS, aku juga pernah mondok. Waktu itu, aku berhenti setelah beberapa bulan karena sakit. Aku merasa tubuhku nggak kuat dan harus pulang. Tapi... setelah itu, aku nyesel banget."
Alina menunduk, matanya seolah mengingat sesuatu yang menyakitkan. "Sebenarnya, waktu itu, mamaku yang suruh aku berhenti mondok. Beliau khawatir aku nggak kuat dan takut aku nggak bisa melanjutkan. Aku akhirnya pulang, dan karena nggak ada pilihan, aku nganggur setahun. Nggak sekolah, nggak ngapa-ngapain. Itu masa yang cukup berat buat aku."
Aneska terkejut mendengar cerita itu. Dia nggak menyangka bahwa keputusan Alina untuk berhenti mondok bukan hanya karena kondisi fisiknya, tapi juga karena desakan dari orang tuanya yang khawatir. "Tahun setelah itu, gimana?" tanya Aneska penasaran.
Alina melanjutkan, "Setelah setahun nggak sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke MTS negeri. Meskipun agak terlambat, tapi aku bersyukur bisa kembali sekolah. Tapi selama setahun itu, aku merasa banget kehilangan banyak kesempatan. Aku ngerasa seperti terbuang sia-sia. Tapi, aku ambil hikmahnya aja, dengan aku sekolah di MTS negeri, aku jadi ketemu sama Jelita," ujar Alina diseligi tawa kecil sambil menatap Jelita. Jelita yang melihat hal tersebut tersenyum tipis.
Aneska merenung sejenak, kata-kata Alina benar-benar menyentuh hatinya. Dia menyadari bahwa tidak ada jalan yang mudah, dan memilih untuk bertahan mungkin bukan hal yang mudah, tapi itu adalah pilihan yang akan menentukan ke depannya. "Tapi kan aku belum pernah mondok sama sekali. Semua ini terasa baru dan beda banget buat aku."
Alina tersenyum lembut, menepuk bahu Aneska. "Aku ngerti banget, Anes. Kamu mungkin ngerasa kalau semuanya baru dan nggak seperti yang kamu bayangkan. Tapi, justru karena kamu belum pernah mondok, ini bisa jadi kesempatan yang baik buat kamu. Kamu bisa belajar banyak hal, bukan cuma tentang agama, tapi juga tentang kehidupan, tentang sabar, dan ketekunan. Memang nggak gampang, tapi kalau kamu bertahan, kamu bakal lihat banyak hal yang sebelumnya nggak pernah kamu bayangin."
Jelita ikut menambahkan, "Kadang kita harus melewati masa-masa sulit untuk menjadi lebih baik. Kalau kamu berhenti sekarang, kamu nggak akan pernah tahu potensi terbesar yang ada dalam dirimu. Mungkin, kamu akan menemukan banyak hal yang nggak terduga. By the way, aku juga pertama kali mondok, lho, Anes. Itu pun di ajakin Alina."
Aneska merasa seperti ada secercah harapan yang mulai muncul di dalam hatinya. Mungkin, apa yang dialami Alina bisa jadi pelajaran berharga. Dia tidak ingin menyesal, seperti yang Alina rasakan dulu. Meskipun sekarang terasa berat, Aneska mulai merasa bahwa ini adalah ujian yang akan membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat.
"Terima kasih, Alina, Jelita," ujar Aneska, suaranya sayu. Hatinya masih terasa sesak. Padahal dirinya belum pernah sesesak ini. Entah penyakit apa yang saat ini di deritanya.
Alina dan Jelita tersenyum lega mendengar keputusan Aneska. "Semangat, Anes!" kata Jelita dengan senang.
"Semangat terus, Anes," tambah Alina. Ia menghela napas sejenak sebelum kembali berbicara. "Kita pasti bisa bareng-bareng lewatin ini semua," sambung gadis dengan tubuh berisi sembari menyisir rambut ikalnya.
Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Aneska merasa sedikit siap menghadapi hari-hari ke depan. Meskipun tantangan masih menantinya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia memiliki 2 teman yang mendukungnya, dan yang lebih penting, dia mulai melihat potensi dalam dirinya untuk bertahan dan berkembang. Namun, tetap saja masih ada ragu di hatinya. Apakah semua ini ada ujungnya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Risak & Rusuk [Revisi]
Random‼️Dilarang Keras Plagiat. Yang Plagiat Hidupnya Tidak Berkah‼️ Jika kalian mengira pondok pesantren itu sering bercerita tentang perjodohan? Dan kisah ini juga bercerita tentang perjodohan? Kalian salah besar. Di cerita ini, Aneska yang merupakan s...