Aneska duduk di sudut kamar dengan tubuh terbungkus selimut tipis yang hampir tidak cukup untuk mengusir kedinginan yang merayapi tubuhnya. Punggungnya bersandar pada dinding yang terasa keras dan dingin, seolah berusaha menyatu dengan dinding itu, mencari kenyamanan yang tak pernah bisa ditemukan.
Wajahnya terlihat pucat, jauh lebih pucat dari biasanya. Seperti kehilangan warna, seperti kehilangan kehidupan. Matanya menatap kosong ke depan, namun tak ada yang dilihat. Pikirannya terombang-ambing antara kenangan yang semakin menguap dan rasa sakit yang semakin mendalam. Di dalam kepalanya, berputar kisah-kisah tentang harapan yang hancur, tentang impian yang tak pernah tercapai, dan tentang dirinya yang merasa terperangkap dalam dunia yang tak pernah menerimanya.
Aneska merasakan sakit yang terus menerus menekan dada, seolah ada beban berat yang tak bisa dilepaskan. Setiap napas terasa semakin berat, dan tiap detik yang berlalu hanya memperburuk perasaannya. Dia ingin berteriak, ingin melepaskan semua yang terkunci di dalam dirinya, namun mulutnya terasa terkunci rapat. Dalam heningnya kamar itu, suara tangisannya terasa jauh, seolah datang dari seseorang yang bukan dirinya.
Di luar kamar, pintu kamar Aneska berdiri dengan gagang pintu yang teraba oleh tangan yang sedikit gemetar. Nawa, adiknya, berdiri di luar, memandangi pintu yang tertutup rapat. Meskipun Nawa tahu bahwa kakaknya sedang tidak baik-baik saja, hatinya terasa ragu untuk mengganggu ketenangan yang tampak begitu rapuh di balik pintu itu. Namun, Nawa tak bisa berdiam diri. Kakaknya, yang selalu tampak kuat dan tegar, kini berubah menjadi sosok yang begitu rapuh. Nawa tak bisa hanya diam menyaksikan.
Dengan hati yang berat, Nawa meraih gagang pintu dan perlahan mendorongnya. Derit pelan terdengar, menambah beratnya suasana hati yang sudah penuh dengan kecemasan. Ketika pintu terbuka, Aneska terdiam, matanya menoleh perlahan, dan untuk pertama kalinya, Nawa melihat tatapan kosong itu. Ada sesuatu yang begitu menyakitkan dalam pandangan itu, seolah segala harapan yang pernah ada telah lenyap begitu saja.
“Kak,” Nawa memanggil pelan, suaranya lembut namun penuh keteguhan. “Kenapa Kakak diam aja? Kakak sakit?”
Aneska menggelengkan kepala, namun gerakan itu terlihat begitu lemah. Senyumnya, yang dulu selalu menghangatkan hati Nawa, kini terasa begitu terpaksa, seperti sebuah topeng yang dipakai untuk menutupi rasa sakit yang dalam. “Kakak nggak apa-apa, Wa. Cuma capek.”
Tapi Nawa tahu itu bohong. Tidak ada yang salah dengan kelelahan fisik. Wajah Aneska yang semakin pucat, tubuhnya yang terlihat semakin kurus, dan matanya yang bengkak seakan memberi tahu segalanya. Aneska sedang berjuang melawan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar rasa lelah. Nawa maju, mendekat, dan duduk di sebelah kakaknya.
“Bohong, Kak,” kata Nawa dengan suara yang penuh keprihatinan. “Kakak nggak kelihatan baik. Kalau Kakak nggak baik-baik aja, Kakak harus cerita ke aku.”
Aneska menunduk, matanya terfokus pada lantai yang dingin, seolah takut jika dia menatap Nawa, adiknya akan melihat semua luka yang tak pernah tampak. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun dia berusaha keras untuk menahannya, tak ingin terlihat lemah di depan adiknya.
“Kakak nggak apa-apa, Wa,” suaranya serak, seolah napasnya berat. “Kakak cuma butuh waktu buat sendiri. Jangan khawatir.”
Namun, Nawa tahu bahwa ini bukan sekadar soal waktu. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam, sebuah luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan waktu. Nawa menggenggam tangan kakaknya, mencoba memberikan sedikit kekuatan. “Kakak nggak bisa terus menyembunyikan semuanya. Kalau Kakak nggak cerita, aku nggak akan bisa bantu Kakak.”
Aneska terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Kata-kata itu terlalu berat untuk keluar dari mulutnya. Dia ingin sekali berbicara, ingin sekali mengungkapkan semua yang ada di dalam hatinya, tetapi setiap kali dia mencoba, semuanya terasa terlalu besar, terlalu rumit untuk diungkapkan. Hanya rasa sakit yang bisa dirasakannya.
“Ada yang nggak beres di pondok, ya?” tanya Nawa, pelan namun tajam. Dia bisa merasakan bahwa semua yang terjadi ada hubungannya dengan kehidupan Aneska di sana.
Kali ini, Aneska tak bisa menahan diri lagi. Air mata yang tadi dia tahan kini tumpah begitu saja. Tangisannya pecah, memenuhi kamar yang sunyi. Nawa langsung memeluknya erat, mencoba menenangkan meskipun dia juga merasa cemas dan takut. Mereka terdiam dalam pelukan itu, di mana hanya tangisan Aneska yang terdengar.
“Kak, Kakak nggak usah takut,” bisik Nawa. “Kakak nggak sendiri. Aku di sini.”
Aneska menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri. “Di pondok, Wa… Kakak merasa nggak diterima. Semua orang nggak suka sama Kakak. Mereka bilang Kakak aneh. Mereka selalu cari alasan buat ngejauhin Kakak.”
Nawa merasa hatinya hancur mendengar itu. Aneska, yang selalu baik hati dan peduli kepada semua orang, diperlakukan seperti itu. Nawa tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan kakaknya, terisolasi dan disingkirkan dari lingkungan yang seharusnya menjadi tempatnya berkembang.
“Kenapa mereka bilang gitu, Kak?” tanya Nawa dengan suara bergetar. “Kakak nggak salah apa-apa. Kakak nggak pernah nyakitin siapa-siapa.”
Aneska menggelengkan kepala, matanya terpejam. “Kakak nggak tahu, Wa. Kakak udah berusaha berbaur, tapi mereka selalu cari alasan buat ngehindarin Kakak. Kakak merasa… nggak ada tempat buat Kakak di sana.”
Kata-kata itu menyesakkan dada Nawa. Dia merasa sakit mendengar kakaknya berbicara dengan suara yang penuh keputusasaan. Tidak ada tempat untuk kakaknya di sana. Itu adalah kenyataan yang paling menyakitkan yang bisa dia bayangkan.
“Kak, Kakak nggak boleh mikir kayak gitu,” kata Nawa, suaranya gemetar. “Jangan sampai Kakak merasa nggak berharga. Aku di sini, Mama dan Papa juga sayang Kakak. Kakak nggak sendirian.”
Aneska memeluk Nawa lebih erat, mencoba merasakan kehangatan adiknya, yang meskipun muda, mampu memberikan kekuatan yang tak terbayangkan sebelumnya. “Tapi… kadang Kakak ngerasa… lebih baik Kakak nggak ada di sana.”
Nawa merasa seakan dadanya diremas mendengar itu. Kakaknya, yang dulu selalu menjadi panutan, sekarang merasa begitu hilang arah. Nawa menggenggam tangan kakaknya lebih kuat lagi. “Kak, jangan pernah mikir gitu. Aku nggak mau kehilangan Kakak. Janji sama aku, Kak.”
Aneska terdiam. Dia ingin sekali janji itu, tetapi ketakutan dan rasa bersalah masih mengikatnya, seperti rantai yang tak bisa dilepaskan. “Tapi… gimana kalau Bunda sama Ayah kecewa, Wa?”
Nawa menatap kakaknya dengan penuh keyakinan. “Kalau mereka kecewa, aku akan jelaskan semuanya. Yang penting Kakak nggak sakit kayak gini. Aku nggak bisa lihat Kakak begini terus.”
Akhirnya, Aneska mengangguk perlahan, meski air matanya masih mengalir. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu terakhir, dia merasa sedikit lebih ringan. Dia tidak lagi merasa begitu sendirian. Di sampingnya ada Nawa, adiknya yang penuh kasih sayang dan perhatian.
Mereka duduk dalam keheningan, tetapi ada sesuatu yang berubah. Meskipun masih ada rasa sakit yang mendalam, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Karena di dalam hati Aneska, dia tahu satu hal, dia tidak sendiri. Dan selama ada Nawa, dia masih punya alasan untuk terus bertahan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Risak & Rusuk [Revisi]
De Todo‼️Dilarang Keras Plagiat. Yang Plagiat Hidupnya Tidak Berkah‼️ Jika kalian mengira pondok pesantren itu sering bercerita tentang perjodohan? Dan kisah ini juga bercerita tentang perjodohan? Kalian salah besar. Di cerita ini, Aneska yang merupakan s...