"Sesuatu yang dikehendaki Allah," ucap Aneska dengan penuh keyakinan, suaranya membawa kelembutan yang mengalun di udara. Aneska mengucapkannya dengan sikap yang tenang, seolah-olah ia meresapi makna setiap kata yang diucapkannya. Dengan tatapan yang tajam, dia menghadap Alva, mencari respons dari temannya itu, seolah-olah mempersembahkan kata-kata itu.
Wajah Aneska bersinar dengan ketenangan, mencerminkan keyakinan yang teguh pada kehendak Allah dalam setiap langkah hidupnya. Cahaya yang memancar dari matanya tidak hanya mencerahkan ruangan, tetapi juga menyebar ke dalam jiwa Alva yang sedang mendengarkan. Alva merespons dengan kepala yang mengangguk paham, tetapi dalam gerakan itu terdapat lebih dari sekadar pengertian. Ia juga menyampaikan rasa hormat dan pengakuan akan kata-kata Aneska.
Matanya bertemu dengan Aneska. Ekspresi wajah Alva mencerminkan kedalaman pikiran dan kesadaran akan makna yang tersirat dalam ujaran Aneska. Meskipun tanpa kata-kata, tapi ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia memahami dan menerima makna yang tersirat dalam ujaran Aneska. Dalam diam, mereka berdua saling memahami tanpa perlu kata-kata yang terlalu banyak, seolah-olah mereka berkomunikasi melalui keheningan yang penuh makna.
"Kenapa kita harus memuji orang lain harus ngucapin masyaallah dulu?" tanya Alva, wajahnya penuh dengan rasa penasaran, menyoroti kebiasaan yang mungkin baru saja dia dengar. Aneska tersenyum lembut, terpancar kebijaksanaan dalam senyumnya yang hangat. Dia mengalihkan pandangannya kepada Alva, mempersiapkan diri untuk memberikan penjelasan yang bisa dimengerti.
"Dalam Islam," kata Aneska dengan lembut, "Masyaallah adalah ungkapan yang kita gunakan sebagai tanda rasa kagum kepada Allah atas sesuatu yang indah atau luar biasa dalam kehidupan orang lain. Ini adalah cara untuk mengingatkan kita bahwa segala hal yang indah berasal dari Allah, dan kita harus merenungkan keagungan-Nya dalam setiap kebaikan yang kita saksikan."
Aneska berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi Alva untuk menyerap informasi yang baru saja diajarkan. "Jadi, ketika kita melihat atau mendengar sesuatu yang memukau dari orang lain, dengan mengucapkan 'masyaallah', kita mengakui bahwa keindahan atau keistimewaan itu adalah bagian dari kehendak dan anugerah Allah. Itu adalah cara untuk menyampaikan rasa kagum kita kepada pencipta, sambil juga memberikan penghormatan kepada individu yang telah diberkati dengan kebaikan tersebut," lanjut Aneska, menjelaskan dengan bijak.
Alva mengangguk perlahan, meresapi penjelasan itu dengan serius. "Lagian, kamu tahu dari mana soal ini?" tanya Aneska dengan sedikit keheranan, mengernyitkan dahinya sebagai respon atas informasi yang diajukan Alva. Rasa keheranan itu terbaca jelas di wajahnya, menandakan ketidakyakinan akan sumber informasi yang Alva berikan.
Alva menjawab dengan jujur, "Dari TikTok, Nes. Di fyp ku sering lewat." Jawabannya tegas dan jujur, tanpa sedikit pun mencoba untuk menyembunyikan sumber informasinya. Wajahnya menunjukkan ketulusan, seolah-olah dia ingin memastikan bahwa setiap komunikasi mereka cukup lancar.
Aneska mengangguk, menunjukkan pemahamannya atas jawaban Alva. Namun, rasa ingin tahu Alva membuatnya ingin menjelaskan lebih lanjut. Meskipun terlihat sedikit bingung, tetapi rasa ingin tahu Alva dihargai dan dia siap untuk memberikan penjelasan yang lebih mendalam.
"Dari TikTok ya? Terkadang kita memang bisa menemukan informasi yang menarik di sana," kata Aneska, mencoba menghubungkan sumber informasi modern dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam kehidupan sehari-hari.
"Tapi, gini ya, Va. Sebagai manusia pasti ada sifat buruk yaitu iri dan dengki," ujarnya dengan serius, matanya menatap Alva dengan penuh perhatian. Aneska mencoba menjelaskan dengan jelas makna di balik kebiasaan tersebut. Dengan nada yang lembut namun tegas, Aneska membagikan wawasan yang mencerahkan, menunjukkan kepeduliannya terhadap pemahaman Alva.
"Benar, Na. Iri dan dengki memang sifat-sifat buruk yang sering muncul dalam diri manusia," Alva menimpali dengan serius, merenungkan kata-kata Aneska dengan cermat.
"Terus? Apa hubungannya sama masyaAllah?" tanya Alva, keingintahuannya semakin memuncak. Aneska tersenyum, merasa senang dengan rasa ingin tahu Alva yang besar.
"Dalam Islam, itu dinamakan penyakit A’in," jawab Aneska dengan suara pelan, mencoba menyampaikan pengetahuannya dengan jelas. Alva menerima informasi baru itu dengan antusias, "A’in?" ulang Alva, merenungkan kata yang baru dia dengar.
"Iya, A’in. Ini adalah penyakit hati yang mencakup perasaan iri dan dengki terhadap kebaikan atau kesuksesan orang lain," Aneska menjelaskan dengan penuh perhatian, mencoba membuka wawasan Alva tentang konsep tersebut. "Jadi, ketika kita mengucapkan 'masyaAllah' ketika melihat kebaikan atau kesuksesan orang lain, itu sebenarnya adalah cara untuk melindungi hati kita dari penyakit A’in. Dengan mengakui bahwa segala kebaikan berasal dari Allah, kita dapat memerangi perasaan iri dan dengki yang mungkin timbul dalam diri kita."
Alva mengangguk paham, semakin merasa tertarik.Aneska menjelaskan lebih lanjut, "Penyakit ain juga dikenal sebagai 'penyakit mata jahat' atau 'pandangan jahat,' merujuk pada keyakinan bahwa pandangan negatif atau mata jahat dari seseorang dapat membawa dampak merugikan pada kesehatan dan kesejahteraan individu yang menjadi sasaran."
"Hmm.. Iya?" Alva mengangguk, mencoba mencerna informasi baru yang didapatkannya. Ekspresinya menunjukkan bahwa dia mulai memahami kedalaman konsep yang dibicarakan oleh Aneska.
"Penyakit ain dapat dicegah dengan senantiasa menyertai pujian dengan ungkapan seperti Tabarakallah atau MasyaAllah," tambah Aneska, memberikan solusi yang mungkin bisa membantu menghindari dampak negatif dari pandangan iri dan dengki. Alva mengangguk, menghargai saran yang diberikan oleh Aneska.
"Dengan begitu, kita tidak hanya mengungkapkan kekaguman kita atas kebaikan orang lain, tetapi juga melindungi hati kita dari pengaruh negatif yang mungkin timbul dalam diri kita sendiri," Aneska menekankan, suaranya penuh dengan keyakinan dan kesadaran akan pentingnya praktik tersebut dalam menjaga kesejahteraan spiritual dan mental.
Alva mendengarkan dengan penuh perhatian, membiarkan kata-kata Aneska meresap dalam pikirannya. Dia menyadari bahwa ungkapan pujian yang disertai dengan pengakuan akan keagungan Allah tidak hanya merupakan bentuk apresiasi kepada orang lain, tetapi juga merupakan bentuk perlindungan bagi dirinya sendiri dari godaan iri dan dengki.
"Dengan berprinsip demikian, kita membentengi hati kita dari pengaruh-pengaruh buruk yang bisa merusak hubungan kita dengan orang lain, serta menghalangi pertumbuhan spiritual kita," tambah Aneska, memperjelas konsep yang telah dia sampaikan sebelumnya.
"Masyaallah Aneska Ivona Sakhia, terima kasih untuk ilmunya," celetuk Alva dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Dia merasa bersyukur atas wawasan baru yang diberikan oleh Aneska, dan siap untuk mengaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Ungkapan terima kasihnya bukan hanya sekedar kata-kata, tetapi juga mengandung rasa hormat dan penghargaan yang tulus terhadap pengetahuan yang telah dibagikan.
Tatapan mereka bertemu dalam kehangatan dan saling pengertian, menciptakan ikatan yang lebih dalam antara keduanya. Di balik ekspresi wajah mereka terpancar rasa percaya dan ikatan yang kuat, menandakan bahwa mereka bukan hanya sekedar teman, tetapi juga pendamping dalam perjalanan spiritual dan intelektual mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Risak & Rusuk [Revisi]
De Todo‼️Dilarang Keras Plagiat. Yang Plagiat Hidupnya Tidak Berkah‼️ Jika kalian mengira pondok pesantren itu sering bercerita tentang perjodohan? Dan kisah ini juga bercerita tentang perjodohan? Kalian salah besar. Di cerita ini, Aneska yang merupakan s...