Hidup Aneska sungguh berubah semenjak kejadian itu. Setiap hari di pesantrennya, dia merasa seperti ada yang mengawasinya, mengintip setiap langkahnya, dan merasa tak nyaman dengan kehadiran dua hantu yang kerap mengganggunya.
Aneska mulai menyadari bahwa kehadiran Agatha dan Elisya membuatnya merasa terganggu. Bahkan ketika Aneska hendak pergi ke toilet untuk sejenak mendapat ketenangan, dua hantu itu selalu mengikutinya.
Dia berbalik dan menghadapi Agatha dan Elisya dengan wajah tak nyaman.
"Can you please not disturb me for just one day?" pinta Aneska, mencoba menahan kekesalannya.
Agatha hanya tersenyum dingin.
"We just want to be friends with you, Aneska," ujar Agatha dengan suara yang menggema di koridor pesantren.Aneska hanya menarik nafas panjang, merasa frustasi dengan sikap mereka. Dia merasa semakin terjebak dengan kehadiran Agatha dan Elisya di pesantren itu.
Bagaimana dia bisa mendapatkan kedamaian jika dua hantu itu selalu mengganggunya?
Itu adalah pertanyaan yang terus berputar-putar di benak Aneska, tanpa jawaban yang pasti.
Tak ada yang bisa dia lakukan dalam keadaan semacam ini. Dia hanya bisa pasrah. Aneska merasa dirinya seperti terjebak dalam labirin tak berujung.
Setiap malam, Aneska merasakan kehadiran mereka di sudut ruangan kamarnya. Meskipun dia berusaha mengabaikan, namun rasa takutnya tetap menghantui. Merinding dan gemetar menjadi teman setia di saat-saat seperti itu.
Dia merasa Agatha dan Elisya selalu memperhatikannya, bahkan ketika dia berpura-pura tidur.
Aneska tidak bisa berbohong kepada dirinya sendiri. Dia sangat terganggu dengan kehadiran dua hantu itu. Setiap kali merasa Agatha mengusap rambutnya di tengah malam, Aneska merasa ingin berteriak.
Namun, dia menahan diri, takut akan membuat keadaan semakin buruk.
Yang lebih membuatnya terpukul adalah ketidakmampuannya untuk berbagi rasa takut ini kepada Alina dan Jelita.Dia tidak ingin membebankan mereka dengan ketakutan yang sama.
Dia merindukan kedamaian. Kedamaian tanpa gangguan, tanpa rasa takut, dan tanpa kehadiran Agatha dan Elisya yang menyertainya setiap saat.Semua ini buruk dari segala sisi kehidupannya, bahkan dalam proses pembelajaran di pesantren.
Pada hari itu, dia berusaha keras untuk fokus belajar, memblokir segala gangguan yang ada di sekitarnya. Namun, tanpa aba-aba, kehadiran Agatha dengan wajah anehnya itu membuat dirinya merasa terkejut.
Tanpa aba-aba, Aneska merasa sentuhan dingin dari Agatha yang sudah duduk di sampingnya dengan senyum mengerikan. Serentak, teriakan meluncur dari bibirnya, membuyarkan hening di kelas, dan semua mata memandang ke arahnya.
"Ada apa?" tanya ustadzah mereka, mencoba mencari tahu penyebab kerbundatan.
Aneska, dalam kepanikannya, hanya bisa berteriak. "Maaf, saya kena gigitan serangga!"
Semua orang menatapnya dengan campuran antara keheranan dan keraguan. Beberapa bisikan terdengar di antara murid-murid, menyebutnya
'gila' Aneska merasa malu, tak mampu menjelaskan apa pun.Dia menghela nafas dalam-dalam, membiarkan kebingungannya menciptakan lapisan baru dalam kehidupannya yang sudah berantakan. Bagaimana dia bisa melanjutkan hidupnya di pesantren ini, dengan ketakutan yang terus menghantui dan tekanan dari lingkungannya yang tidak memahami kondisinya?
Aneska menyadari bahwa dia harus mencari cara untuk menghadapi tantangan ini, meskipun jalan yang harus dilaluinya mungkin akan sulit.
Semua tekanan ini membuatnya lelah dan pada akhirnya kondisi tubuhnya kembali melemah. Dia masih mendapat cemoohan teman-temannya.
Setiap malam, ketika cahaya bulan menyoroti kamarnya yang sepi, Aneska juga sudah muak dengan sosok yang berdiri di pojokan ruangan dengan tatapan dingin, seolah menunggu kesempatan untuk menyerangnya.
Aneska merasa tak berdaya. Setiap kali ia berusaha melawan, mencoba memaki kedua hantu itu agar pergi, sesuatu yang tak terlihat tampaknya menahannya. Rasanya seperti ada kekuatan yang mencekik.
Tak heran jika perilakunya semakin aneh, semakin menjauh dari keseharian yang dulu. Alina dan Jelita mulai merasakan adanya perubahan itu.
Mereka saling bertatapan ketika melihat Aneska duduk dengan pandangan kosong di ranjang kamarnya, seolah-olah jiwa dan pikirannya telah pergi ke tempat yang jauh.
"Kamu kenapa, Aneska?" tanya Alina, matanya penuh kekhawatiran.
Jelita mengangguk setuju. "Kami khawatir. Kamu nggak kayak dulu lagi."
Aneska hanya menggeleng pelan, mencoba menyembunyikan ketakutannya. "Nggak, nggak ada yang aneh. Aku cuman capek."
Namun, mata mereka bisa melihat melalui kata-kata Aneska. Ada ketakutan yang tersembunyi di balik senyumnya yang dipaksakan. Mereka tahu ada sesuatu yang tidak beres.
Hari demi hari berlalu, kondisi gadis itu semakin memburuk. Tubuhnya mulai menunjukkan gejala kelelahan yang parah, dan tatapan kosongnya semakin sering muncul.
Namun, dia masih menolak untuk berbagi apa yang sebenarnya terjadi. Ia takut akan reaksi teman-temannya jika mereka tahu bahwa ia diganggu oleh hantu-hantu tersebut.
Jelita mengerutkan kening dan tidak percaya pada perkataan Aneska. Dia melangkah kemudian duduk di samping gadis itu dan menyentuh dahi gadis itu. Rasa panas yang menyengat membuat Jelita terkejut.
"Tubuhmu panas banget. Kamu kayaknya harus pergi ke UKS sekarang," ujar Jelita dengan nada khawatir.
Aneska hanya menatap kekosongan, wajahnya pucat dan lesu.Dia merasa tubuhnya melemah, tanggapan yang lamban menunjukkan bahwa dia belum sepenuhnya sadar akan keadaannya sendiri. Namun, ketika Jelita dan Alina bersikeras untuk mengantarnya ke Unit Kesehatan Sekolah, Aneska menuruti permintaan mereka dengan patuh.
Mereka berjalan perlahan menuju UKS, dengan Jelita dan Alina menggandeng Aneska yang tampak semakin lemah. Namun, di tengah perjalanan, Aneska merasa seolah diikuti oleh sosok itu. Ia berbalik, dan terkejut melihat Agatha dan Elisya mengikuti mereka dari belakang.
Dia menarik nafas panjang ketika akhirnya bisa berbaring di ranjang UKS itu. Tubuhnya terasa lelah dan melemah. Di sampingnya, selimut terasa hangat, tetapi dia tahu bahwa kehangatan itu hanya sementara.
Kedua hantu, Agatha dan Elisya, masih mengawasinya dengan penuh perhatian dari sudut ruangan. Mereka tidak pernah jauh darinya, selalu hadir dalam setiap langkahnya.
Aneska merasa terjebak dalam cengkeraman mereka, tanpa ruang untuk bernapas atau membebaskan dirinya dari kengerian yang menghantui.
Dalam kegelapan ruangan, Aneska menenggelamkan seluruh tubuhnya di dalam selimut. Dia mencoba menyingkirkan bayang-bayang yang mengejar dan mengintai, mencari sedikit kenyamanan dalam pelukan kain yang lembut. Namun, meskipun dia berusaha menutupi dirinya dari dunia luar, rasa takut dan kecemasan terus menghantuinya.
Dengan mata terpejam, Aneska berusaha untuk tidur. Dia tahu bahwa tidur adalah satu-satunya tempat di mana dia bisa melarikan diri dari kengerian yang menghantui kehidupannya saat ini.
Dia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam alam mimpinya, mencari ketenangan yang tidak bisa dia temukan di dunia nyata.
Dia sudah tidak sanggup menangis. Dia tidak lagi leluasa untuk meluapkan segala perasaannya pada dunia. Seakan apabila dia melakukan sesuatu, apa itu akan selalu salah terutama ketika diawasi oleh kedua hantu yang sudah membuat hidupnya terasa semakin hancur.
Jika seandainya bisa memilih, sebenarnya akan jauh lebih baik apabila bertengkar dengan Sofia saja daripada diawasi oleh makhluk aneh semacam mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risak & Rusuk [On Going]
Aléatoire‼️Dilarang Keras Plagiat. Yang Plagiat Hidupnya Tidak Berkah‼️ Jika kalian mengira pondok pesantren itu sering bercerita tentang perjodohan? Dan kisah ini juga bercerita tentang perjodohan? Kalian salah besar. Di cerita ini, Aneska yang merupakan s...