CHAPTER 3

2 0 0
                                    

Aldan mengendarai motornya dengan kecepatan penuh. Panggilan dari ayahnya benar-benar membuat emosinya melunjak. Belum lagi emosinya yang masih belum stabil karena pertemuannya dengan Alea. Mengenai mata yang sembab itu. Ya, Aldan menangis. Aldan belum bisa mengontrol emosinya atas ingatan masa lalu yang hingga kini masih sangat membekas.

FLASHBACK

"Ternyata emang bener kamu Bulan. I miss u so much." Aldan menatap manik cokelat cerah wanita di depannya. Mata itu menatapnya bingung, namun Aldan masih menemukan kehangatan itu. Kehangatan atas masa lalunya. Kehangatan yang dulu menyelimuti hari bahagianya dan juga menyelimuti hari kelamnya. Namun di satu sisi, mata kebingungan Alea kembali memberikan nyeri hebat terhadap hati Aldan.

"Kau akan bertemu dengannya dan mengingatnya. Namun, ia tidak akan bisa mengenalmu. Ia akan bertemu denganmu sebagai orang asing." Kata-kata itu menyadarkan Aldan yang kini mengusap kasar air matanya dan berlari meninggalkan Alea yang masing linglung.

Aldan menaiki tangga rooftop dengan nafas terengah. Kakinya seakan tidak bisa berpijak pada lantai dingin yang ia tapaki. Dadanya sesak. Ia mengunci pintu rooftop dengan tangan tergesa kemudian terisak dengan hebatnya.

(hayolo sebenernya ada apa hayolo)

FLASHBACK OFF

Semakin ia mengingatnya semakin ia merasakan kepedihan itu lagi. Aldan melajukan motornya dengan kecepatan yang semakin meningkat. Tanpa ia sadari, mobil yang sedari tadi membuntutinya kini menyalip dan menancapkan peluru di tengah pergelangan kaki Aldan.

"AKH ANJING. SIAPA LO PENGECUT, KELUAR!" Aldan memegangi kakinya yang sudah mengeluarkan darah. Pekikan orang-orang sekitar mulai terdengar dan berbondong-bondong ke arahnya.

"Aldan Gerhana Baskara. Let's see, siapa yang pengecut disini." Seorang pria dengan topi dan masker yang menutupi wajahnya membuat Aldan berdecih dan tertawa sinis.

"KABUR LO BAJINGAN? PENGECUT LO SAMPAH!" Teriaknya saat melihat mobil tersebut menjauhinya karena kerumunan yang sudah menghampiri Aldan.

"Ya Allah Nak, kamu gak papa?" Seorang pria paruh baya menghampiri dan ingin membantu Aldan berdiri namun di tepis olehnya.

"Jangan sentuh saya." Emosinya tersulut. Aldan bukan tipe orang yang sabar. Jadi jika sedang emosi, ia bisa melampiaskannya pada siapa saja. Maka dari itu, ia menolak bantuan orang lain.

"Saya cuma mau bantu kamu, Nak." Pria tadi berusaha memegangi Aldan kembali namun ditepis dengan kasar.

"JANGAN SENTUH SAYA!"

"KAK ALDAN?!" Aldan terkesiap mendengar suara itu. Satu suara dari puluhan suara yang berhasil membuat Aldan terkesiap. Ia menolehkan kepalanya kepada sumber suara yang kini berlari dengan wajah khawatir. Sang gadis sudah beberapa kali ditahan oleh warga yang ada di sana, takut akan terjadi apa-apa karena melihat Aldan yang sedang tersulut emosi. Tapi Alea tidak peduli. Ia tetap menerobos kerumunan dan berlari ke arah Aldan.

"Bulan..." Lirih Aldan dengan setetes air mata yang kembali turun tanpa aba-aba.

"Anjir emang sesakit itu ya, sampe nangis gini." Atensi Alea beralih pada kaki kiri Aldan yang sebenarnya tidak terlalu dalam, namun jika dibiarkan darahnya akan terus mengalir.

"Oke first, gue harus balut lukanya sebelum kehabisan darah." Gumam Alea yang kini menyingkap celana abu-abu milik Aldan. Sedangkan sang pria masih dengan tatapan tak percayanya. Emosi yang tadi mencuat seketika menghilang berganti dengan rasa senang dan sakit di saat yang bersamaan.

Alea kelimpungan sendiri. Ia tidak mengerti banyak tentang medis. Yang ia tau sekarang hanyalah ia harus membalut luka Aldan dengan kain untuk menghentikan pendarahan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝑮𝒆𝒓𝒉𝒂𝒏𝒂 𝑩𝒖𝒍𝒂𝒏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang