HAPPY READING, XIXI
___________________________
Menutup buku fisikanya keras, cowok yang di kedua pelipisnya di penuhi keringat itu berdecak. Masih memikirkan kejadian aneh yang menimpa sepatunya. Sepatu kets putih miliknya yang biasa di pakai ke studio. Tiba-tiba saja ukurannya menjadi lebih kecil sebelah. Bukannya Mars mempermasalahkan ukuran sepatu yang tiba-tiba mengecil dan tidak bisa digunakan lagi namun, siapa yang memberikan sepatu itu sebagai hadiah untuknya yang membuat Mars masih kesal sampai detik ini. Ada yang sedang mencoba mempermainkannya.
Setelah memakai jaket parasut hitamnya, Mars berjalan di lorong menuju loker untuk meletakkan buku-buku hari ini dan mengambil buku untuk mata pelajaran besok.
"Langsung ke studio?" tanya Mondi, cowok berambut lebat itu terlihat di hadapan Mars tepat setelah pintu lokernya di tutup.
"Kenapa? Mau nebeng?"
"Kagak!"
"Elah, mentang-mentang gue suka minta tebengan. Motor gue udah ganti mesin, nggak ngambekkan lagi," kekeh cowok itu, mengikuti langkah Mars.
"Tanya doang."
Mondi, cowok yang juga ikut serta kegiatan sama dengan Mars dari banyaknya temannya di studio. Sebelumnya juga, Mars dan Mondi saling kenal ketika mereka berada di jenjang sekolah menengah pertama.
Mars menggeleng. Kemudian menaiki motor besarnya begitu sampai di lapangan parkir sekolah. "Lo duluan aja," katanya.
"Lo nggak langsung ke sana?"
"Nggak."
"Emang Vikson bilang dia mau bahas apa? Ada job?" tanya Mondi. Kedua lesung pipit yang terlihat begitu jelas di kedua pipi cowok itu setiap kali berbicara selalu menyita fokus lawan bicaranya.
"Lihat aja nanti."
"Pulang dulu lo ini?"
Mars mengangguk singkat sambil memakai helm hitamnya.
"Oh, okay. Hati-hati lo!" teriak Mondi. Mondi pikir, Mars tidak pernah berubah. Masih sama seperti enam tahun lalu. Irit bicara. Satu hal yang Mondi tau pasti, orang pendiam akan banyak bicara dengan orang yang tepat. Tinggal menunggu waktu untuk mengetahui siapa orang beruntung itu.
Seperti halnya Mondi, dia tergolong pendiam dalam pandangan teman-temannya. Namun, ketika bersama Mars, ia agak banyak bicara.
Jalanan yang terbilang sepi membuat Mars leluasa mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Mau mendatangi tempat berpulang pertamanya sebelum ke rumah untuk membersihkan diri.
Cowok itu berhenti di pinggiran jalan saat mendadak sebuah mobil sedan putih salju memotong jalannya. Mars mencekal stang motornya kuat, menatap siluet lelaki yang tiga tahun ini gemar sekali mempermainkan emosinya karena tahu kalau Mars tipe orang yang gampang sekali terpancing. Mars meneguk ludahnya kasar. Ia tidak pernah tau apa mau Roger. Namun, yang jelas Roger seperti tidak rela melihat Mars tenang sebentar saja. Selalu mencari celah agar Mars marah dan berakhir menghajarnya telak.
Mars berniat menyalakan mesin motornya lagi dan melesat pergi menghiraukan Roger ketika anak itu tidak segera menampakkan diri. Tetapi, saat tidak sengaja menoleh ke plat mobil Roger niatnya jadi urung. Mars benar-benar tidak asing. Pernah melihatnya namun, kapan dan dimana ia tidak mengingatnya.
"Sesuai janji gue. Gue akan datang setelah keberuntungan lo menang dari gue tadi pagi," kata Roger, keras. Baru saja keluar dari kursi penumpang depan kendaraannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MARSZELA
Teen FictionAliran takdir memang sulit ditebak kemana muaranya. Ini tentang salah seorang siswa kebanggaan SMA Saturnus, Marshel Kalingga Adidharma yang tanpa sadar telah memikat hati perempuan bernama Azela Zeelfarah karena bentuk wajah dan sifatnya, ketika ke...