»»--⍟--««Chapter 9»»--⍟--««

74 53 53
                                    

Ruangan serba putih itu terasa seperti neraka bagi Aneska. Tubuhnya terbaring lemah di atas tempat tidur yang dingin, dikelilingi oleh peralatan medis yang asing baginya. Matanya melirik ke sekeliling ruangan yang sepi, hanya terisi oleh sunyi yang menusuk ke dalam hatinya.

Aneska merasakan kesepian yang menusuk tulang, lebih menyakitkan daripada sakit yang menggerogoti tubuhnya.

Aneska menarik selimut putih hingga ke dagunya, mencoba meredakan rasa dingin yang tak kunjung pergi.

Waktu terasa melambat di ruang UKS itu. Aneska menghabiskan hari-harinya dengan menatap langit-langit putih yang tak bernyawa, meratapi nasibnya yang tak adil.

Meskipun petugas UKS datang secara teratur untuk memeriksanya, tetapi kehadiran mereka tidak membawa kehangatan. Mereka hanya melakukan tugas mereka dengan wajah cuek dan dingin, tanpa sedikit pun menyentuh hati Aneska yang rapuh.

Aneska menggigit bibirnya, mencoba menahan derasnya tangisannya. Dia tahu bahwa dia harus kuat. Tetapi, dalam kegelapan ruangan yang sepi itu, rasa putus asa merayapi pikirannya.

Dia merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa akhir, tanpa arah keluar. Matanya memandang ke arah jendela yang memperlihatkan teman dengan luar yang tampak sangat tenang.

Pikirannya melayang jauh, terlempar ke dunia di luar sana yang begitu berbeda dengan keadaannya saat ini. Aneska merenung, mencoba mencari kekuatan di tengah-tengah cobaan yang menimpanya.

Tanpa disadarinya, di depan pintu, Sofia dan Mel berdiri dengan senyum puas di wajah mereka. Mereka menatap Aneska yang terbaring lemah di ranjang UKS, seolah menikmati pemandangan yang menyenangkan.

"Sofia, coba liat dia," ucap Mel dengan nada menggoda, "Lemah banget, kayak mau mati aja."

Sofia tertawa kecil, menimpali, "Iya, gue nggak pernah nyangka. Dia yang selalu sok kuat, sekarang kayak begini. Sungguh menyenangkan."

Aneska, masih terlena dalam lamunannya, tidak menyadari kehadiran mereka. Dia terus merenung, berusaha mencari kedamaian di tengah kepedihan yang menghantamnya.

"Tuh, Aneska," goda Mel sambil menunjuk ke arah Aneska, "lo pikir lo cocok di pesantren ini? Lemah!"

Sofia menambahkan, "Iya, lo seharusnya nggak ikut-ikutan di sini."

Aneska terkejut mendengar suara mereka. Dia menoleh ke arah pintu dan melihat Sofia dan Mel berdiri di sana dengan ekspresi yang menghina. Rasa sakit menusuk hatinya lebih dalam daripada rasa sakit fisik yang dia rasakan.

"Kalian ngapain di sini?" tanya Aneska dengan suara gemetar.

Sofia menjawab dengan sinis, "Oh, kami cuman pengen ngeliat lo, Aneska. Enak aja rasanya ngeliat lo nggak berdaya kayak gitu."

Mel menimpali, "Iya, gue bener-bener nggak ngerti kenapa lo masih bertahan di sini. Lo nggak kuat, Aneska."

Aneska tertunduk, menolak untuk mengakui kebenaran pahit yang telah menghimpitnya selama ini. Tubuhnya terbaring rapuh di ruang UKS, namun hatinya masih berjuang.

Seiring waktu berlalu dan kondisi fisiknya membaik, Aneska tidak lagi membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan cemoohan dan hinaan dari teman-temannya di pesantren.

***

Matahari pagi yang hangat menyinari langit ketika Aneska akhirnya melangkah keluar dari pintu UKS.

Udara segar menyapa wajahnya yang pucat. Dia bernapas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara kebebasan yang baru saja dia rasakan.

Aneska memasuki ruang pesantren yang ramai dengan aktivitas anak-anak santri. Dia mendekati teman-temannya dengan wajah tegar, tak lagi memedulikan tatapan-tatapan sinis yang menghujani dirinya.

Ketika orang tuanya datang menjenguk, Aneska menceritakan segalanya dengan jujur. Dia menuturkan betapa sulitnya hidup di tengah cemoohan dan hinaan yang dilakukan oleh teman-temannya. Ayahnya terkejut mendengar hal ini, dan dia tidak bisa menahan amarahnya.

"Ayah nggak akan biarin ini terus berlanjut," ucap ayah Aneska, "Ayah bakal ngelaporin ini."

Aneska hanya bisa pasrah, merasa lega bahwa akhirnya dia tidak lagi sendirian menghadapi semua ini. Dia tahu bahwa perjuangan mereka belum berakhir.

Bundanya menatap kepergian ayahnya dari ruangan itu, hatinya berdebar-debar dalam kekhawatiran yang tak terucap. Dia tahu betapa besar tekad suaminya untuk menyelesaikan masalah ini, dan dia merasa bangga akan keberanian yang ditunjukkan oleh Aneska.

Setelah ayah Aneska pergi, bundanya berjalan mendekat ke arah Aneska yang duduk termenung di bangku. Dengan lembut, bundanya mengusap puncak kepalanya, mencoba menenangkan hati yang gelisah.

"Kenapa kamu nggak cerita aja dari awal?" tanya bundanya pelan, suaranya penuh dengan kehangatan dan kepedulian.

Aneska menatap bundanya dengan mata penuh penyesalan.

"Aku cuman nggak mau ngerepotin. Aku cuman pengen ngeliat kalian senang."

Bundanya menarik nafas panjang, merasakan getaran emosi yang menyelimuti hatinya. Dia memahami alasan Aneska, tetapi juga merasa sedih bahwa Aneska harus menahan beban itu sendirian.

"Hari ini juga, kamu harus pulang," ucap bundanya kemudian dengan suara yang lembut namun tegas. "Kamu tunggu di sini."

Aneska mengangguk, mengerti bahwa keputusan ini diambil dengan alasan yang baik. Meskipun hatinya sedikit berat harus meninggalkan pesantren, dia juga merasa lega akan dukungan yang diberikan oleh kedua orang tuanya.

Aneska merasa semuanya berakhir di sini ketika pada akhirnya ayahnya menariknya untuk pulang dan meninggalkan pesantren itu. Fisiknya terlihat berantakan, wajah pucat dan lesu, tubuhnya dingin, dan kerapuhan yang menghantui setiap langkahnya.

Meskipun hatinya terasa hampa dan terpukul, Aneska hanya bisa pasrah, mengikuti langkah kedua orang tuanya yang membawanya keluar dari tempat yang telah menjadi rumahnya selama beberapa waktu ini.

Di sepanjang perjalanan pulang, bundanya berusaha menenangkan Aneska.

Dengan suara lembut, dia mengatakan bahwa Aneska tidak perlu khawatir, bahwa mereka akan mencari cara atau mencari sekolah pengganti setelah ini.

Meskipun demikian, dalam lubuk hatinya, Aneska merasa hampa dan kecewa. Mimpi dan harapannya tentang masa depan yang cerah di pesantren itu hancur begitu saja.

Aneska menatap keluar jendela, melihat pepohonan dan jalan yang berlalu dengan cepat. Dia merenung tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.

Apakah dia akan menemukan tempat baru yang ramah dan menyenangkan seperti pesantren itu? Apakah dia akan mampu melewati rasa sakit dan kekecewaan yang menghantui hatinya?

Aneska juga merasakan kehangatan dari kedua orang tuanya yang selalu bersamanya. Mereka adalah benteng yang kokoh di saat-saat sulit seperti ini, dan Aneska bersyukur memiliki mereka di sisinya. Kesehatan mentalnya juga sangat penting dalam hal ini dan dia tidak akan mengabaikannya sama sekali.

Hari ini dia merasa sangat bersalah karena sudah membuat kedua orang tuanya merasa gagal hanya karena dia yang merahasiakan semua kepedihannya selama di pesantren itu.

Risak & Rusuk [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang