»»--⍟--««Chapter 9»»--⍟--««✅

80 53 53
                                    

Keesokan harinya, Aneska mencoba untuk kembali menjalani aktivitasnya, meskipun tubuhnya seakan menolak. Setelah beberapa hari yang penuh dengan kekosongan, di mana dia berjuang dengan rasa sakit fisik dan emosional yang datang bergantian, Aneska merasa ada sedikit harapan. Namun, harapan itu seketika memudar ketika dia merasakan sesuatu yang tak terduga. Tiba-tiba, dia merasa sesak napas, seperti ada sesuatu yang menekan dada dan membuatnya sulit bernapas.

Langkah-langkah yang dia ambil terasa semakin berat, dan dunia di sekelilingnya seolah berputar lebih cepat dari biasanya. Setiap napas yang dihela terasa semakin pendek, dan jantungnya berdebar begitu kencang. Aneska terjatuh di lantai, tubuhnya lemas, tak mampu lagi menahan beban yang terasa begitu berat. Pandangannya kabur, dan dunia di sekitarnya menjadi gelap. Saat itu, hanya rasa takut yang menghantui pikirannya. "Apa yang sedang terjadi padaku? Kenapa semuanya terasa begitu berat?" pikirnya, jantungnya berdebar lebih cepat lagi.

Dia berusaha untuk bangkit, namun napasnya semakin tersengal. Semua kekuatannya hilang begitu saja, tubuhnya terasa seperti terjebak dalam kesendirian yang begitu pekat. "Kenapa aku merasa seperti ini? Apa aku benar-benar bisa bertahan?" batinnya. Ketidakberdayaan merasuk dalam dirinya, menghimpitnya semakin dalam. Rasa sakit di dada yang datang begitu mendalam, seolah menguras semua energi yang masih tersisa. Tubuhnya seperti memberi peringatan keras: cukup.

Di saat itulah, beberapa teman yang berada di sekitar mulai memperhatikannya. Mereka terkejut melihat Aneska terjatuh dan lemas di lantai, tak mampu bangkit meski sudah mencoba beberapa kali. Mereka segera mencari bantuan. Alina dan Jelita, dua teman yang selalu perhatian padanya, berlari menghampiri Aneska. Melihat kondisinya yang semakin buruk, mereka tanpa ragu segera membantunya bangkit dan menggandeng tubuhnya yang lemah menuju UKS Pondok Pesantren Al-Izaan.

Sambil berjalan perlahan, tubuh Aneska terasa semakin lemah, seperti beban dunia ada di pundaknya. Setiap langkahnya terasa seperti beban yang begitu berat, dan dia tidak tahu bagaimana bisa bertahan lebih lama. Namun, di tengah ketidakberdayaan, ada suara Alina yang memberi sedikit kekuatan. "Kamu nggak sendirian, Aneska. Kami ada di sini."

Aneska hanya bisa mengangguk lemah. Jantungnya terus berdebar, dan pikirannya terasa kabur. “Tolong, Alina… Aku nggak tahu harus bagaimana lagi,” bisiknya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Alina menggenggam tangan Aneska dengan lembut, mencoba memberi sedikit kenyamanan pada temannya. “Kita akan cari jalan keluar, kamu nggak perlu merasa sendiri,” jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. Sementara Jelita yang berjalan di samping mereka, sesekali melihat ke belakang, memastikan bahwa tidak ada yang menghalangi mereka.

Setibanya di UKS, mereka mendapati hanya ada seorang kakak kelas yang tampaknya tidak peduli dengan keadaan Aneska. Kakak kelas itu hanya duduk di sudut ruangan, tampak tidak memperhatikan, bahkan ketika Aneska terbaring lemah. Alina dan Jelita tidak memperdulikan sikap acuh kakak kelas itu. Mereka segera meletakkan Aneska di tempat tidur dan mulai mencari cara untuk membantunya. Meski UKS tampak sepi, Alina dan Jelita tahu bahwa yang mereka butuhkan saat itu bukanlah perhatian dari orang lain, melainkan perhatian satu sama lain.

Aneska berbaring di tempat tidur dengan napas yang masih tersengal. Rasa sesak di dadanya belum juga hilang. Dia menatap langit-langit, berusaha mengatur napas, tetapi sepertinya napas itu tak pernah cukup. Ketakutan terus menggerayangi pikirannya, dan setiap kali dia berusaha tidur, bayangan kesendirian dan kebingungannya datang menguasai. Dia merasa seperti terjebak di dunia yang begitu sempit, seolah tak ada jalan keluar.

Di tengah ketakutan dan rasa sakit yang semakin dalam, Alina dan Jelita menjadi satu-satunya harapan Aneska. "Aku... aku nggak kuat, Alina," kata Aneska dengan napas terengah-engah. "Aku takut... aku takut nggak bisa keluar dari sini... Semua ini... semuanya terasa seperti penjara."

Alina duduk di samping tempat tidur, menyentuh tangan Aneska dengan lembut, berusaha menenangkannya. "Aneska, kamu nggak sendirian. Aku di sini, Jelita juga. Kamu harus percaya, kita bisa lewatin ini bareng-bareng." Kata-katanya penuh harapan, meskipun dirinya juga merasakan kekhawatiran yang sama. Namun, dia tahu bahwa Aneska membutuhkan dukungan, bukan hanya kata-kata kosong.

Jelita, yang berada di sisi lain, mencoba memberikan air pada Aneska. "Sabar, Aneska. Kita akan cari pertolongan. Kamu kuat, kamu pasti bisa melewati ini." Jelita tahu betapa beratnya perasaan Aneska, dan meskipun mereka semua tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mereka berusaha keras agar Aneska merasa sedikit lebih tenang.

Meskipun rasa sakitnya belum hilang sepenuhnya, perhatian yang diberikan oleh Alina dan Jelita membuat Aneska merasa sedikit lebih baik. Mereka tidak membiarkannya sendirian dalam keadaan terburuknya. Ada rasa hangat yang mengalir dari kedua teman baiknya itu, yang seakan memberikan sedikit kekuatan untuk melawan ketakutan yang semakin mencekam.

Dengan napas yang masih tersengal, Aneska menatap dua teman baiknya itu dan berkata pelan, "Terima kasih... Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan tanpa kalian. Dunia mungkin terasa gelap, tapi di sini... ada cahaya dari kalian."

Alina dan Jelita hanya tersenyum lembut, memberikan sedikit kekuatan pada Aneska. Mereka tahu, meskipun mereka tidak bisa menyembuhkan semua rasa sakit yang ada, mereka bisa memberikan harapan yang mungkin sudah lama hilang dari Aneska. Mungkin itu tidak akan mengubah semuanya dalam sekejap, tetapi setidaknya mereka bisa memberikan sedikit kenyamanan pada Aneska yang sedang merasa begitu rapuh.

Alina melihat ke luar jendela, berusaha mengalihkan perhatiannya dari kecemasan yang menggelayuti dirinya. "Kami akan tetap di sini, Aneska. Jangan khawatir, ya. Kita semua akan lewati ini bersama."

Jelita juga mengangguk, memberi tanda setuju. "Kamu bukan cuma temanku, Aneska. Kamu seperti saudara bagi kami, dan kami akan berjuang bersama kamu sampai keadaan ini menjadi lebih baik."

***

Aneska menatap makanan di depannya dengan tatapan kosong. Suasana di UKS terasa sunyi, hanya ada suara detakan jantungnya yang kencang dan napasnya yang masih tersengal. Dia merasa sangat sendirian, meskipun di sekelilingnya ada orang. Alina dan Jelita sudah pergi, meninggalkan dia di ruangan itu, mungkin untuk mencari pertolongan atau hanya sekadar memberi ruang bagi Aneska untuk menenangkan diri. Namun, dalam kesendirian itu, rasa hampa semakin merasuki dirinya.

Makanan yang terhidang di hadapannya terasa begitu hambar. Setiap suapan terasa begitu berat dan tidak ada sedikit pun rasa semangat untuk menikmati apapun. Semua terasa seperti rutinitas yang sia-sia—seperti berjuang tanpa arah, seolah tidak ada gunanya lagi. Aneska berusaha untuk makan sedikit, tetapi hatinya terasa semakin terperosok dalam kekosongan yang mendalam. Setiap gigitan semakin membuatnya merasa terisolasi, terjebak dalam dunia yang sempit dan penuh rasa takut.

"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" pikirnya, merasa begitu cemas dan lelah dengan segala perasaan yang datang dan pergi. Dunia terasa semakin tidak bersahabat, dan dia tak tahu bagaimana bisa keluar dari kegelapan yang menyelimutinya.

Rasa sesak di dada kembali muncul. Dia mencoba mengatur napas, namun semakin terasa sulit. Tubuhnya terasa begitu lemah, seperti semua kekuatan telah terambil darinya. Tak ada yang bisa membantunya saat ini, hanya kesepian yang menjadi temannya.

Dia menatap sekeliling UKS yang sunyi, tidak ada seorang pun yang memperhatikan. Bahkan kakak kelas yang tadi ada di sudut ruangan tampak tidak peduli dengan kondisinya. Semua itu semakin memperburuk perasaannya—kesendirian yang seolah menggigit hingga ke akar hati.

Aneska menunduk, menggenggam sendok di tangan dengan erat, mencoba menguatkan dirinya untuk makan lebih banyak. Namun, rasanya seperti berjuang melawan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar rasa lapar. Di dalam dirinya, ada perasaan kosong yang tak bisa diisi, seolah segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada artinya lagi.

Tiba-tiba, ingatannya melayang pada Alina dan Jelita, dua sahabat yang selalu ada di sampingnya. Namun, entah kenapa, saat ini mereka seolah menghilang begitu saja, meninggalkan dirinya dalam kesendirian. Semua perasaan yang tumpah ruah di hatinya seakan-akan memberi tahu dia bahwa, meskipun ada orang yang peduli, dalam kenyataannya, dia tetap harus berjuang sendiri.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumamnya pelan, suara itu hampir tenggelam dalam keheningan ruangan. Dia merasa lelah, begitu lelah, dan tidak tahu bagaimana cara mengakhiri semua perasaan yang membebani dirinya.

Risak & Rusuk [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang