~Selamat Membaca~
Langit sudah tak secerah tadi pagi. Kini biru langit mulai bergradasi dengan warna oranye, para burung juga saling beterbangan kembali ke sarangnya.
Sore hari sudah menyapa, kini para gadis itu sedang bercanda dan bergurau sambil berjalan menuju panti tempat mereka pulang.
Cia, Agya juga Jian jalan berdampingan. Di depan mereka ada dua orang yang memimpin jalan, salah satunya ada Zia yang berusaha bersembunyi di balik tubuh seorang pemuda, tak ingin mendengar kata-kata bujukan dari Cia.
Sedari tadi kenzian Alvian atau sering di panggil Alvin itu, hanya tertawa melihat Zia yang berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh Alvin dan terus berjalan. Pemuda yang di kenal dengan panggilan Alvin ini hanya terkekeh geli melihat bagaimana Zia mendumel tak jelas di depannya.
Alvin bisa berjalan bersama mereka bukan karna ingin mengantarkan para gadis itu, ya tentu saja karna Alvin satu tempat tinggal bersama mereka. Sebenarnya tak hanya Alvin, tapi juga pemuda yang juga tertinggal jauh di belakang mereka. Sanjuna namanya. Pemuda membosankan yang selalu bergantung pada kepintaran itu, memilih tertinggal jauh daripada harus berdampingan dengan mereka.
Juna memang berbeda dari anak panti lainnya. Dia adalah seorang kutu buku yang kerjanya hanya belajar dan belajar. Berbeda dari mereka yang sangat dekat, Juna dia lebih suka sendirian.
Dia adalah anak tertua di dalam panti, sekarang umurnya sudah menginjakkan 16 tahun sama seperti Alvin. Sedangkan Agya juga para temannya masih di bawah Juna satu tahun.
"Ribet banget dah tuh bocah? Masa kita harus bujuk dia sih? Pake apa coba?" Kini giliran Cia yang kesal karena tak pernah berhasil membujuk Zia dengan ucapannya.
"Cekokin aja pakai eskrim kagak ngambek lagi itu mah," balas Jian.
"Eskrim doang? Haha sangat mudah," Agya pun menyahut dengan nada menyebalkan nya.
"Ye...emang nya lo mau belikan eskrim untuk Zia?" Kini Alvin lah yang melontarkan pertanyaan.
"Gak sih, bokek gue gak ada duit nih," dari Agya kita belajar percaya diri aja dulu kalo gak bisa baru ngeluh.
"Kampret! gaya lo aja sok keras."
"Eh... tenang, sampai rumah gue palak Jiko gue beli eskrim sama gerobaknya kalo bisa," kini Agya berjalan lebih cepat atau bisa di bilang ia berlari kecil agar cepat sampai ke panti.
Dengan kecepatan larinya Agya bisa sampai ke panti asuhan lebih awal. Sesampainya di sana Agya langsung masuk dan melihat sekeliling taman yang berada di depan bangunan utama panti. Di bangku taman Agya bisa langsung melihat sosok yang ia cari, sedang menyantap sepiring gorengan dan secangkir kopi seperti bapak-bapak yang tengah menikmati senja.
"Jiko!!" Agya berlari dan bergegas menghampiri pemuda itu.
Jiko Pratama yang merasa di panggil itu lantas menoleh ke sumber suara. Melihat Agya yang memanggilnya, Jiko sudah bersiap-siap untuk kabur dari gadis itu.
"Aduh, mata kaki gue kelilipan bentar ya Agya gue mau pergi kamar mandi bentar," tanpa basa-basi Jiko melesat kabur dari Agya.
Bukan tanpa alasan kenapa Jiko langsung menghindar dari Agya. Pemuda yang seumuran dengan Juna ini, tau pasti Agya ada maunya hingga menghampiri Jiko. Daripada pusing di buat oleh Agya, lebih baik Jiko menghindar secepat yang ia bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Sana
Teen FictionBangunan sederhana dengan lapangan yang luas itu, tempat mereka bernaung. Kebahagiaan, kesedihan, dan kekecewaan mereka jalani bersama di sana. Panti asuhan itu yang mereka sebut rumah, tempat kembali yang paling nyaman ketika dunia sedang menghakim...