⚠️ Disarankan untuk membaca ulang tiga chapter sebelumnya...
.
.
.
Leo membekap mulutnya, tangisnya pecah detik itu juga. Kaca mobil hancur menampilkan kondisi jalanan di sekitarnya. Tubuh mungilnya bergetar hebat mendengar teriakan menggelora di luar sana.
Mengerikan, menakutkan, semuanya terbakar.
Sementara, di dalam pemandangannya tidak jauh berbeda. Percikan api mengkilat, kaca hancur berserakan hingga benda tajam itu melukai wajahnya.
Namun, bukan itu yang menyebabkan tangan kecilnya penuh akan lumuran darah. Leo meringis, perih dan panas terasa teramat kuat. Kakinya robek terkena kaca.
"Ouyin, putra ku... "
Leo termenung, menatap lurus pada sosok yang terbaring tak berdaya dengan luka diperutnya. Mata itu membola, terkejut bukan main. Suaranya tercekat kian berubah menjadi jeritan histeris.
"Ibu..."
"IBUUU..."
"TIDAK!!"
Air mata mengalir deras. Tubuh mungil itu kembali bergetar. Kakinya tidak bisa bergerak, mati rasa. Leo merangkak dengan kaca yang masih tertancap dikakinya. Memeluk tubuh lemah sang ibu yang bersimbah darah.
Bunyi sirine membelah jalan. Seiringan dengan seruan parau dari petugas keamanan, orang-orang menyingkir memberikan jalan. Mobil polisi berdatangan diikuti beberapa ambulans dibelakang.
"Jangan menangis ouyin anak laki-laki ibu tidak boleh menangis."
Leo mendekap tubuh lemah itu seerat mungkin. Berusaha mencegah darah yang keluar. Namun, tidak mendengarkan jantungnya yang terpompa cepat, darah itu dengan begitu kejam mengalir deras membasahi tangannya. Wajahnya pucat. Dadanya berdegup kencang. Ingin menjerit tetapi suara tak lagi tersisa, hanya air mata yang terus mengalir diluar kendalinya.
"M-maaf..." Anak itu terisak, suaranya serak, hampir tak terdengar.
Dadanya bagai dihantam ombak, luar biasa sesak. Bernapas saja rasanya begitu sulit apalagi tuk bicara. Linangan air mata tak berhenti keluar. Kelu, bibir hanya bisa bergerak tanpa suara.
"Maafkan aku, maafkan aku, ibu, maafkan aku..."
Napasnya menderu kencang. Sesaat sebelum cahaya melesak masuk ketika pintu mobil dibuka dari luar. Sesaat sebelum tubuhnya diangkat oleh petugas keamanan. Mata itu bagai membeku, bahkan air mata yang terus mengalir sejak tadi terhenti sejenak. Senyum hangat terlukis diwajah sayu ibunya.
Leo ingin melompat turun, memeluk sosok itu erat-erat tetapi tubuhnya tidak mengikuti keinginannya. Ia justru bersandar lemah pada petugas yang menggendongnya dengan deraian air mata dan tangisan tanpa suara. Kepalanya berputar, mual, pusing. Ia tidak sanggup lagi, matanya terasa berat. Pemandangan diluar sama mengenaskan. Dua mobil terbalik, beberapa diantaranya rusak parah dan mengeluarkan percikan api.
Suara sirene terdengar memekakkan telinga. Kepul asap melambung ke udara. Orang-orang berkerumun untuk menonton. Petugas tampak mulai berkerja, mengangkat para penumpang yang sudah lemah tak berdaya, beberapa tergeletak di tepi jalan dengan lebam dan kepala terluka.
Sementara, para petugas kesehatan berlari menghampirinya, Leo hanya diam memperhatikan. Menatap nanar area sekitar, hingga sebuah memori mengenaskan terputar memenuhi kepalanya. Memori itu melintas bagaikan rekaman film yang memuat rangkaian peristiwa mengerikan di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories [ Zalesing ]
FanfictionMemori artinya kenangan. Sesuatu yang akan membekas dalam ingatan, sebuah cerita yang selamanya tidak akan terlupakan. ••• Sepanjang hidup tidak ada satupun hal di dunia ini yang dapat membuat Sing merasa kehilangan. Orang tua? Dia tak pernah memili...