Aku kira, menjadi seorang ibu akan menyenangkan. Kata orang-orang, pernikahan akan membuat hidup menjadi lebih bahagia, mempunyai orang-orang yang sangat menyayangi kita dengan seutuhnya. Mungkin di awal-awal memang terlihat begitu. Namun mengapa semuanya menjadi pudar seiring berjalannya waktu? Tidak bisakah semesta mempertahankan 1 saja kebahagiaan yang ingin terus kurasakan. Apakah aku memilih jalan hidup yang salah? Kalau pada hari itu aku tak berkenalan dengan seseorang, mungkin hidupku akan lebih bahagia sekarang.
Aku mengingat diriku yang dulu selayaknya teman lama. Gadis muda berkobar-kobar yang masih terus bermimpi. Ia adalah cerminan segala kenaifanku yang masih melekat, bersembunyi sampai hari ini. Terbiasa kubersolek setiap pagi, seolah aku mampu menanggung kemewahannya. Dibalik wajah riasan tersebut adalah remaja yang masih ketakutan, menanggung segala beban yang berputar di kepalanya.
—
Kerusuhan Mei 1998
Kejadian itu sangat membawa trauma bagi hidupku. Saat itu aku masih tinggal di Ternate. Rumah dan toko milik ayahku dijarah habis-habisan dengan api. Saat kejadian itu terjadi, aku sedang berada di sekolah. Semua orang panik. Banyak tangisan yang kudengar namun aku hanya mampu terdiam dengan pikiranku yang kosong.Siswa-siswi di sekolah dibawa ke tempat penampungan untuk beberapa hari, khususnya bagi murid sepertiku yang menjadi korban kerusuhan tersebut. Semua barang yang kupunya tidak ada yang tersisa kecuali seragam yang sedang kukenakan dan tas sekolah beserta isinya yang kubawa pada hari itu. Setelah kerusuhan sudah mereda, aku berusaha mencari keberadaan orang tuaku, namun aku gagal menemukan mereka.
Beruntungnya, ada temanku yang berhati malaikat yang mengizinkan aku untuk tinggal di rumahnya untuk beberapa minggu. Setidaknya sampai aku lulus SMA. Orang tuanya sangat baik kepadaku, bahkan mereka menganggapku seperti anaknya sendiri. Sejak itu, aku berusaha sangat keras untuk bisa mendapatkan beasiswa untuk kuliah. Karena kerusuhan yang terjadi, ada perusahaan yang memberikan beasiswa bagi anak-anak korban di wilayahku khususnya bagi murid yang berprestasi dengan persyaratan yang ada. Aku tentu sangat antusias untuk mendaftarkan diri. Menjadi dokter adalah impianku sejak dulu. Tapi sepertinya hidup tak harus selalu sejalan dengan apa yang aku inginkan. Biaya kuliah Pendidikan Dokter sangatlah mahal. Akhirnya aku mengambil jurusan Farmasi di salah satu universitas di Jakarta.
Masa kuliah ternyata sangat berbeda dari yang aku pikirkan. Apalagi, aku merupakan anak rantau yang mempunyai uang yang sangat terbatas. Aku harus berjuang mempertahankan IPK dengan nilai yang tinggi agar beasiswaku terus berjalan hingga akhir semester. Di sisi lain, aku juga harus tetap mempunyai kerja sampingan agar tetap bisa bertahan hidup di tengah gempuran Jakarta yang keras dengan segalanya yang serba mahal. Membuka usaha kecil menjadi jalan keluarnya. Keahlianku dalam membuat kue kujadikan sebagai usaha kecilku. Aku memulainya dengan mempromosikannya ke teman-teman terdekat. Semakin lama, semakin tersebar dari mulut ke mulut mengenai usaha yang kubuat.
Aku menjual brownies. Terkadang berusaha membuat kue-kue lainnya juga. Apa pun kulakukan untuk bisa menghasilkan uang. Ternyata banyak mahasiswa yang suka dengan brownies yang kubuat. Jualanku menjadi semakin laku setiap harinya. Dalam sehari, aku sudah bisa menerima puluhan pesanan. Hingga pada akhirnya, aku menjadi lupa dengan tanggung jawabku sebagai mahasiswi. Masalah menjadi muncul. Nilaiku menurun secara drastis, dan aku harus mengulang semester ini. Tentu, aku mendapatkan peringatan dari perusahaan yang memberikanku beasiswa. Duniaku seakan hancur saat mendengarnya.
Kemudian aku mencoba untuk belajar lebih giat lagi untuk bisa mencapai nilai yang terbaik. Namun hasil sepertinya telah mengkhianati usaha. Hampir semua mata kuliah di semester ini sangatlah sulit. Rasanya waktu 24 jam tidak akan cukup untukku. Nilaiku tetap memburuk. Beasiswa yang aku miliki pada akhirnya dicabut.
Untuk menenangkan pikiranku, aku mencari udara segar di rooftop gedung sebelah kampusku. Malam itu angin menjadi sangat kencang, menusuk tulangku yang sudah layu. Raungan samar mesin dari kejauhan berhasil meredam sedikit dari kepedihanku malam itu. Tak lama setelah aku merenungkan nasibku, ada seorang laki–laki yang tak aku kenal berteriak ke arah aku dengan muka yang panik di wajahnya.
"MBAK, KALAU ADA MASALAH, KITA BISA OBROLIN BAIK-BAIK. HIDUP MASIH PANJANG," Teriaknya.
Aku langsung memasang muka kebingungan, lalu aku membalasnya.
"Iya mas, hidup memang masih panjang. Mas siapa ya?... Oh- saya gak berniat bunuh diri mas, saya cuma lagi cari udara segar aja."
"Ohhh, saya kirain ada niatan buruk. Lagi ada masalah ya?"
Katanya lagi.
Aku hanya terdiam sambil aku memperhatikan jaket yang sedang ia kenakan. Rasanya tidak asing bagiku. Oh! Itu adalah jaket perhimpunan mahasiswa dari kampusku. Aku yang penasaran langsung melontarkan pertanyaan balik padanya.
"Masnya mahasiswa UNK ya? Saya juga kuliah di situ"
Ternyata ia adalah alumni yang baru lulus tahun lalu, angkatan beberapa tahun di atasku. Kami mengobrol di rooftop hingga matahari sudah ingin meninggalkan tempatnya. Karena hari sudah larut malam, ia menawarkan diri untuk mengantarku pulang pada malam itu. Ia meminjamkan jaketnya kepadaku saat ia menyadari bahwa aku sedang kedinginan. Memang cuaca Jakarta saat itu sedang buruk. Angin bertiup dengan kencang yang menandakan hujan ingin segera turun.
Sesampainya aku di depan rumah, hujan turun seperti yang telah aku duga. Aku langsung meminjamkannya jas hujan milikku dan ia berjanji akan dikembalikan besok.
—
Keesokan harinya, saat ia ingin mengembalikkan jas hujanku, ia mengajakku untuk makan siang bersama. Dari situ, kami menjadi lebih dekat. Hampir setiap harinya ia melakukan hal yang sama. Hari-hariku yang monoton menjadi penuh warna sejak ia hadir. Ia selalu mengantarku pulang, menemaniku belajar seharian, dan selalu ada buat aku. Dunia seakan menjadi milik berdua. Aku menjadi jatuh cinta padanya. Obrolan tak kunjung habis, selalu ada topik seru yang membuat kami lebih mengenal satu dengan yang lainnya. Di saat itu, aku sudah yakin bahwa dialah orangnya!
Beberapa bulan setelah kami dekat, ia mengajakku ke kafe kesukaanku yang terletak di pusat kota. Tempatnya sangat indah dengan bunga yang mengelilingi setiap ruangan. Rasanya itu adalah tempat yang sangat pas untuk menghilangkan penatnya kehidupan di Jakarta yang selalu sibuk.
Kini kafe itu menjadi kafe kesukaan kami berdua. Hampir di setiap akhir pekan kami selalu menyempatkan diri untuk nge-date di kafe itu. Bahkan mbak kasir sampai hafal apa yang kami selalu pesan. Dia sangat suka kopi Cappuccino, sementara aku selalu memesan Es Coklat karena aku tidak terlalu suka dengan kopi. Tanpa aku sangka, saat ia mengajakku ke tempat kafe itu, ia menembakku. Kemudian kami pacaran.
Semenjak kami pacaran, ia membayarkan UKT kuliahku. Itu memang sedang dalam masa kritisku, apalagi beasiswaku sudah dicabut oleh pihak kampus.Kami pacaran selama 3 tahun sampai pada akhirnya ia melamarku. Katanya, aku tidak perlu bekerja, karena ia akan yang bertanggung jawab sepenuhnya atas ekonomi keluarga. Saat itu kondisi pekerjaannya memang sudah sangat baik. Ia mempunyai usaha toko kayu yang relasinya sudah dimana-mana. Cinta dan kepercayaanku untuknya membuatku menjadi yakin untuk menikahinya walau aku tidak diperbolehkan untuk bekerja. Dari sini, tanpa aku sadari, perlahan membawa permasalahan yang serius bagi hubungan kami.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Pulang
RomanceAyah, ibu, aku rindu kita yang dulu. Akankah rumah ini ramai kembali?