BAGIAN IV: BERTEMU

26 1 0
                                    

Langkah kaki orang-orang terus berlalu-lalang di bandara, ramai, sama seperti hati Caramel yang terus menunggu keberadaan seseorang yang telah lama ia tunggu. Jantungnya terus berdetak kencang seperti tidak ada hari esok. Pikirannya terus dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan.

"Ya Tuhan, apakah ini nyata? Apakah ayah benar-benar kembali? Ini bukan mimpi kan?"

Tangan Caramel memegang tangan ibunya dengan erat, menahan kecemasan yang merayap. 5 menit terasa seperti 5 jam saat mereka menunggu pesawat mendarat. Saat langit mulai berwarna merah muda keunguan, seolah mencerminkan kebahagiaan yang dirasakan oleh Caramel, akhirnya pesawat sang ayah mendarat. Mata Caramel berbinar-binar. Kakinya berlari menghampiri pintu pesawat, berharap untuk melihat sosok ayahnya.

Sosok pria tinggi berkemeja batik keluar dari pesawat dan matanya langsung dapat melihat Caramel. Tanpa banyak berpikir, ia langsung berteriak.

"Caramel sayang"

Caramel menoleh dengan cepat. Jantungnya berdetak semakin kencang. Kakinya terasa hanyut dalam rasa khawatir bahwa semua ini hanyalah ilusi. Ia takut, semua ini hanyalah mimpi. Namun, kepalanya yang menoleh mengikuti sumber suara membuktikan bahwa semua ini nyata. Orang yang ia tunggu telah datang. Mereka langsung memeluk satu dengan yang lainnya dengan sangat kuat. Tangisan bahagia keluar seperti telah seribu tahun menahan kerinduan yang dahsyat.

Keluarga kecil itu akhirnya berkumpul lagi secara utuh. Mereka pulang ke rumah dengan mobil yang masih sama dengan yang dulu. Caramel tidur dengan nyenyak di perjalanan, merasa bahwa pahlawan supernya telah kembali lengkap dan ia aman sekarang. Mobil menjadi hening setelah Caramel terlelap tidur. Kecanggungan muncul di tengah-tengah gelapnya malam. 2 jam perjalanan menuju rumah hanya ada suara radio dengan lagu sedih yang terputar.

Kini, semua orang sudah kembali pulang. Semua terasa baik-baik saja. Atau setidaknya itu yang dirasakan oleh Caramel. Hari-hari berjalan seperti biasa. Mereka menghias pohon natal, membuat cokelat hangat, dan menonton film natal bersama.

"Yah, Bu, Caramel sangat senang. Ayah bisa gak disini aja terus? Gak usah balik ke Amerika lagi," Ucap Caramel.

Ayahnya kemudian membalas dengan senyuman hangat, "Iya, Ayah usahakan ya nak."

Beberapa minggu setelah ayahnya pulang, Caramel merasa ada yang tidak beres. Sering ada teriakan dari kamar orang tuanya. Ayahnya pun juga sudah sulit untuk diajak main.

"Ayah, ayo kita main, sudah lama sekali kita tidak bermain bersama," Ajak Caramel. Namun ayahnya menolak karena masih harus sibuk di depan laptopnya menuntaskan pekerjaan yang harus diselesaikan.

Wajah Caramel menjadi murung seketika sambil marah.

"Ayah berubah semenjak ke Amerika!"

Ia membanting pintu kamar dan kembali ke kesunyian kamarnya yang berisi buku-buku yang berserakan di meja belajar.

Sementara itu, di kamar orang tuanya, mulai muncul pertengkaran-pertengkaran kecil karena perbedaan pandangan. Orang yang dulunya adalah orang yang paling bisa mengerti, kini menjadi orang yang sangat asing.

Sang suami memakai earphone sambil fokus mengerjakan sesuatu di depan laptopnya. Orang yang sekarang sudah ada di depan mata, entah bagimana, masih terasa sangat jauh.

"Bisa gak, tutup dulu laptopnya? Aku ini istri kamu loh, dari kemarin kamu cuma depan laptop terus yang bahkan aku gak tahu kamu ngapain aja."

Suara lantang terdengar dari ujung ruangan, mengarah masuk langsung ke dalam telinga.

"Aku lagi kerja. Sudah aku katakan dari kemarin bahwa di kantor lagi ada banyak masalah. Gak usah kayak anak kecil deh!" Sebuah emosi yang kasar dilontarkan oleh sang suami karena merasa sangat lelah. Kalimat itu tentu sangat menusuk hati istrinya dan membuatnya merasa sangat tidak dihargai.

"Kamu kenapa sih sekarang? Aku sudah benar-benar gak kenal lagi sama kamu. Di pikiran kamu cuma kerja, kerja, kerja. Kapan ada waktu buat keluarga?"

Suaminya langsung menutup laptopnya, menghembuskan napas, dan berkata,

"Oh? Jadi aku salah karena aku kerja? Aku salah karena sudah korbanin semua waktu aku, pikiran aku, fisik aku, untuk menghidupkan keluarga kita? Yang seharusnya aku tanya tuh kamu. Kamu sekarang kenapa? Selalu marah-marah. Selalu ingin dimengerti. Aku juga punya banyak prioritas lain."

Sang istri menjawab, "Seharusnya kamu itu introspeksi diri. Wajar dong aku dekat sama orang lain. Sejak kamu di Amerika, kamu tuh susah banget dihubungi. Kamu gak bolehin aku kerja kan? Harus ngurus anak rumah. Kamu kira aku gak ngerasa bosan dengan hidup yang gini-gini aja? Kalo aku gak kenal sama kamu, seharusnya sekarang aku udah jadi apoteker, mas."

Tak ingin kalah, kata-kata istrinya ia bantah kembali. "Ingat ya, tanpa aku, kamu gak akan bisa lulus kuliah waktu itu, kamu gak akan bisa tinggal di rumah yang kayak sekarang. Tau diri dong."

Ruangan kembali menjadi hening untuk beberapa saat. Kata-kata lantang tadi membangunkan Caramel dan membuatnya berjalan ke arah kamar orang tuanya.

Perbincangan dilanjutkan. "Aku sudah gak sanggup. Keputusanku sudah bulat mas. Kita percepat aja ya prosesnya. Toh kamu datang ke Jakarta juga untuk menyelesaikan perceraian kita kan? Kamu aja yang coba bilang ke Caramel"

Caramel yang mendengarnya langsung terdiam. Seluruh badannya membeku dan tatapannya menjadi sangat kosong. Ia langsung bergegas lari ke kamarnya dan membuka koper. Handphone yang ada di genggamannya langsung ia buka aplikasi ojek online dan memesan ojek ke rumah sahabatnya. Pikiran impulsif Caramel menyuruhnya untuk meletakkan semua pakaian dan barang-barang yang ia miliki ke dalam koper dan tasnya, dengan penuh emosi dan pikiran yang campur aduk. Hatinya menjadi sangat rapuh dan lemas.

Beberapa jam setelah itu, saat jam makan malam, orang tuanya memanggilnya untuk makan malam bersama.

"Car, makan malam sudah siap, ayo turun"

Namun tidak ada satu pun jawaban terdengar atau pun langkah kaki yang turun.

Kemudian orang tuanya mencoba memanggilnya lagi.

"Harus berapa kali dipanggil? Caramel Aurora. Jangan buat Ibu marah ya."

Saat orang tuanya merasakan ada yang janggal, mereka naik ke kamar Caramel dengan mulut yang sudah siap menegur Caramel. Dan ketika mereka membuka pintunya, tidak ada orang di dalamnya. Hanya ada sebuah kertas di atas kasur Caramel yang bertuliskan "Aku gak mau kalian cerai." Mereka langsung panik dan mencoba menelpon Caramel, namun semua panggilan itu tidak ada yang dijawab.

Mereka bergegas menyalakan mesin mobilnya dan mencari Caramel.

Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang