BAGIAN III: AYAH

28 1 0
                                    

Apa aku sudah pergi terlalu jauh? Apa aku sudah kehilangan rumah tanpa aku sadari? Apa aku ini ayah yang buruk? Semua ini kulakukan demi mereka yang kusayang. 1.5 tahun ini, aku merasa bahwa hidup ini tidak ada istirahatnya. Aku terus menerus dikejar dengan ribuan deadlines dan permasalahan bisnis yang tak ada habisnya. Tapi mau bagaimana lagi, ini satu-satunya kesempatan yang bisa membuat karirku menjadi baik. Aku yakin, tak lama lagi aku bisa naik jabatan menjadi seorang direktur.

Apartemenku kini sudah berdebu. Jaring laba-laba telah memenuhi setiap sudut yang ada di kamarku. Sepertinya inilah saatnya bagiku untuk membersihkan tempat tinggal yang selama ini tak kupedulikan. Kalau ada istriku di sini, pasti tempat ini selalu bersih dan rapi. Pembersihan kamar apartemenku aku mulai dengan meletakkan barang-barang ke masing-masing tempatnya. Salah satu laci yang kubuka berisi semua kenanganku dengan istriku saat kami pacaran. Ada beberapa photobooth dan surat-surat yang penuh dengan asmara cinta anak muda. Mukaku memerah dan mulutku tersenyum lebar. Sungguh aku sangat rindu masa itu.

Setelah aku lulus S1 jurusan bisnis di UNK, aku langsung diterima di suatu perusahaan yang menjual banyak jenis perabotan. Karena gaji yang diterima tergantung dari seberapa banyak yang mampu dijual, maka tercetuslah ide untuk membangun kerja sama dengan relasi yang kupunya. Tak lama setelah itu, aku mendengar bahwa kampusku dulu sedang ingin merenovasi gedung beserta isinya. Itu merupakan momen yang sangat pas bagiku! Aku pun langsung dengan antusias menjelaskan mengenai bisnis yang sedang kujalani ke dosen kesayanganku dulu. Dari situ, aku mempunyai tugas untuk memproduksi banyak meja dan kursi yang lebih modern untuk kampusku.

Pihak kampus suka dengan hasil yang dibuat oleh perusahaanku. Lalu aku ditawarkan untuk bekerja sama untuk hal-hal lainnya. Aku menjadi sering ke kampus untuk membicarakan soal bisnis.

Saat aku sedang duduk di kantin, mataku terpanah kepada seorang mahasiswi yang sangat cantik. Ia duduk sendirian sambil membaca buku. Sepertinya buku yang ia baca merupakan materi kuliah. Masih terekam dengan sangat jelas saat itu ia memakai kemeja ungu, rok rumbai-rumbai panjang, dengan pita di belakang rambutnya yang indah. Hatiku sangat tergerak ingin menemuinya, namun pikiran tak sejalan dengan perasaan. Aku tak cukup berani untuk menyapanya, jadi kusimpan perasaan ini sendiri.

Dari situ, aku bertekad untuk mencari tahu tentangnya. Ternyata ia adalah anak jurusan Farmasi, salah satu awardee Beasiswa Sakti Foundation. Aku bertanya kepada beberapa orang yang kukenal tentang perempuan cantik itu, dan mendapatkan informasi bahwa ia menjual kue brownies. Tak berpikir panjang, aku langsung mencoba membeli browniesnya dan menjadi pelanggan tetapnya. Aku memesannya melalui chat online dengan namaku yang anonim. Hal itu membuatku mengenal dia.

Suatu malam saat aku ingin bertemu dengan salah satu dosen, aku tak sengaja melihatnya menangis setelah menemui dosen yang ingin kuhampiri. Rasa penasaranku menjadi tumbuh, lalu aku bertanya kepada dosen itu.

"Pak, ada apa dengan perempuan itu, kok ia menangis?"

"Nilainya menurun, beasiswanya telah dicabut."

Aku lalu berusaha mengejarnya karena khawatir dengannya. Ia berjalan ke gedung sebelah kampus. Ia naik tangga hingga ke rooftop dan bersandar ke ujungnya dan melihat jalan raya yang begitu padat. Aku yang panik langsung berteriak ke arahnya. Ia melihatku dengan kebingungan. Ternyata ia hanya ingin mencari udara segar. Jujur di situ aku sangat malu. Tapi setelah kupikir-pikir, itu adalah saat yang paling pas bagiku untuk bisa berkenalan dengannya.

Sejak malam itu, aku sering mengajaknya bertemu. Dia sangatlah baik dan mendukung segala hal yang aku kerjakan. Kami menyusuri setiap titik yang ada di kota bersama dan menghabiskan waktu di tempat-tempat yang berbeda. Aku tak bisa bayangkan hidupku tanpanya. Hingga pada akhirnya, setelah kami pacaran bertahun-tahun, aku memutuskan untuk melamarnya.

Sebenarnya setelah ia lulus S1, ia berniat untuk melanjutkan pendidikan profesi Apoteker di Jogja, namun ia mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk tinggal bersamaku di Jakarta. Pengorbanannya membuatku berjanji untuk bekerja lebih keras lagi sehingga ia tidak perlu bekerja.

Keluarga kecil yang aku harapkan akhirnya menjadi kenyataan. Aku memiliki 1 anak perempuan yang sangat cantik dan pintar bernama Caramel. Setiap aku pulang dari kantor, aku selalu menyempatkan diri untuk meluangkan waktu bersama istri dan anakku. Aku berasa menjadi manusia paling bahagia di dunia. Semua yang kubutuhkan ada di sekitarku. Kehidupan yang sempurna itu berjalan untuk beberapa belas tahun. Anakku tumbuh menjadi anak yang berprestasi. Mungkin itu juga karena ajaran mamanya yang pintar.

Pada tahun 2021, aku dipindahkan ke Amerika karena urusan pekerjaan. Dari situ, segalanya mulai berantakan. Perbedaan waktu yang begitu besar membuat kami menjadi sulit untuk terhubung. Bukan hanya itu, satu per satu masalah mulai muncul.

Ada 1 masa dimana aku sangat kesal. Hari itu pengeluaran uang perusahaan sangatlah besar. Kinerjaku dianggap buruk dan banyak orang jahat yang berusaha menjatuhkanku. Pikiranku yang sudah sangat lelah ditambah lagi dengan masalah lain. Salah satu temanku yang mempunyai restoran di Jakarta, mengirim sebuah foto padaku yang berisi istriku dengan cowo lain. Di fotonya terlihat bahwa mereka hanya berdua. Tentu aku sangat marah saat itu. Namun karena aku sudah begitu lelah, aku takut terlalu terbawa emosi dan bisa membuat keputusan yang buruk. Akhirnya aku memutuskan untuk memendamnya sendiri.

Kekecewaan menghantui diriku. Seiring berjalannya waktu, perasaanku terhadap istriku perlahan memudar. Dipikiranku hanyalah menganggap istriku sangat egois. Aku menghabiskan seluruh waktuku untuk bekerja, namun dia malah selingkuh dengan cowo lain.

Beberapa bulan dengan komunikasi yang buruk kujalani. Hingga pada akhirnya suatu notifikasi muncul di hpku yang membuat seluruh badanku menjadi lemas.

"Aku ingin cerai, mas."

Begitu dituliskannya. Istriku menyuruhku untuk pulang di akhir tahun ini untuk segera mengurusi surat perceraian. Aku benar-benar tak mengerti sebenarnya apa yang sedang terjadi.

Jendela di kantorku mengarah ke Lincoln Park. Pada siang hari, aku suka melihat ke arah taman dimana banyak pasangan yang sedang menghabiskan waktunya bersama. Perasaanku menjadi begitu campur aduk. Apakah cerai akan jadi keputusan yang terbaik? Atau malah akan jadi keputusan yang buruk?

Jalan PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang