42 | Things Never Change

482 50 5
                                    

42 | Things Never Change

*ೃ

Sesi tiup lilin sudah, potong kue sudah, games sudah. Dan akhirnya bagian yang Thesa tunggu-tunggu adalah sesi pembagian hadiah dan ucapan selamat. Thesa kira akhirnya dia bisa menyapa sepupunya itu, tapi antreannya sangat panjang dan Thesa berada di bagian belakang bersama dengan Bella.

"Pada bawa kado gede isinya apa, ya?" ujar Thesa  bertanya-tanya setelah percakapan terakhirnya dengan Bella usai beberapa menit lalu.

Bella memandangi kado yang dibawanya, lalu membuang napas pelan. "Gue cuma beliin hadiah kecil."

"Gapapa. Rubi pasti senang apapun itu." Thesa mengucapkannya dengan percaya diri. Dia mengenal Rubina dengan baik. Gadis itu sering mendapatkan kesan pertama sebagai anak bungsu kaya raya yang selalu dimanja dan menganggap dunia berputar di dirinya seorang. Tapi, sesungguhnya dia selalu menghargai pemberian orang lain, sekecil apapun itu.

Wajahnya memang terkesan sinis dan rutinitas sehari-harinya adalah pulang malam setelah seharian berjalan-jalan dengan temannya. Tidak hanya sekali dua kali Thesa mendengar cerita dari Hengkara bahwa Rubina dikunci di luar rumah karena lagi-lagi pulang larut. Namun, Rubina hanyalah gadis ceria yang sedang menikmati masa remajanya.

"Gue udah lama gak kontakan bareng Rubi. Tapi, dia masih ingat gue," papar Bella yang bercerita tiba-tiba.

Thesa tersenyum dengan tatapan lurus ke depan panggung. "Rubi selalu begitu. Dia suka cerita apapun termasuk teman-temannya di sekolah. Bahkan teman yang dari SD. Gue suka kagum karena dia masih ingat detail semua orang yang pernah ada sekitarnya."

Bella mendapati tatapan Thesa yang berbinar, lalu menggeleng-geleng. "Lo sekagum itu sama sepupu sendiri?"

"Kenapa? Rubi emang pantas dikagumin kok."

Ada sesuatu yang Bella tahan untuk katakan. Namun, akhirnya gadis itu memendamnya dan melengos ke arah lain. Siapa yang menyangka gadis kasar yang membuat tangan Thesa berdarah oleh cakarannya beberapa waktu lalu bisa terlihat serendah diri saat ini?

"Bella," panggil Thesa ketika menyadari Bella kembali menunduk.

"Apa?"

"Gimana di rumah kakek nenek lo?" tanya Thesa, mengingat topik terakhir yang mereka bicarakan lewat email, yakni membicarakan tempat tinggal Bella sekarang yang sudah tidak serumah dengan kedua orang tuanya. Entah apa alasannya. Namun, Thesa bisa mengerti sedikit mengapa Bella bisa menjadi anak yang kasar dan tidak takut main tangan.

Mungkin dia melihat dan belajar dari orang sekitarnya. Mungkin dari cara orang tuanya membesarkan dirinya. Thesa tidak ingin asal menyimpulkan keadaan, dia akan menunggu sampai Bella benar-benar mau terbuka dengannya.

"Baik. Jauh lebih baik dari sebelumnya," jawab Bella. "Yang lo bilang ke gue emang bener. Gue harus berhenti sejenak mikirin tentang hubungan sama orang tua gue dan fokus sama apa yang ada di depan saat ini. Setiap pagi gue bantu nenek nyiapin kue yang dia jual dan ngumpulin uang dari hasil yang sebagian nenek kasih. Dari situ gue bisa beli kado buat Bella. Dan lagi-lagi ini berkat saran lo."

Thesa mengangguk. "Kadang kita harus egois untuk nemuin sesuatu yang lebih berharga. Hubungan sama orang tua emang penting. Tapi, diambil dari situasi lo, gue rasa lo harus lebih sering mikirin apa yang bisa buat lo tenang. Dibanding mikirin apa yang bisa bikin orang tua lo tenang."

InterweaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang