Memiliki atau tak memiliki, pada dasarnya tak akan ada sempurnanya. ─
"Teman-teman, minggu depan kita memiliki tugas projek." Wali ketua kelas memberi arahan.
"Tolong bawa foto keluarga untuk aksesoris di kelas," jelasnya kemudian.
Murid-murid di kelas Science grade XII hanya mengangguk tanda mengerti.
Pak Zayn melirik jam sembari berkata, "Setelah ini istirahat pertama, ya? Oh iya, hari ini pulang sekolah jadi lebih maju setelah istirahat jam kedua, karena guru-guru ada rapat koordinasi tahunan."
Mencerna informasi tersebut, Bara menggebrak meja. Hal ini membuat seisi kelas terkejut dengan bahu terangkat.
"Ya udah, mending nggak usah sekolah kalau begini terus!" Bara meninggikan nada suaranya.
Sebastian membolak-balikkan bola matanya. "Oh, biasanya juga nggak betah lama-lama belajar, tumben amat sadar mesti belajar, nih?" celetuknya sarkas.
"I don't give a fuck, sorry?" Bara melipat kedua tangannya dan menjadikan tumpuan kepalanya.
Savara sedikit mencuri-curi pandang di sampingnya. "Lo nggak tertarik ikut debat?" tukasnya jahil.
Rajash menggelengkan kepala sekenanya, diikuti dengan deru langkah sepatu pantofel Pak Zayn menuju ke depan pintu.
"Well, I'm sure you're not blind, or still wearing a blindfold," ujarnya lebih memilih untuk meraih earbuds nya di atas tumpukan buku di mejanya.
Savara menghela napas panjang. "Salah gue bercanda sama lo memang," adunya frustasi.
Rajash menggeleng pasrah. "Isn't just my timing," ujarnya mengklarifikasi.
"Ada form data pribadi tolong diisi buat finalisasi akun yang dipakai untuk ujian examination nanti." Wakil ketua kelas itu pun mengkoordinasi soal kertas yang ada di setiap meja.
Teman-teman seisi kelas itu lantas mengangguk dan mengisi form di selembar kertas yang baru saja dibagikan tersebut.
* * *
"Tunggu, ada lima ribuan, enggak? Duit aku kurang tiga ribu, nih." Jessica mengadu. Savara menggelengkan kepalanya.
"Udah lunas, tuh." Savara meng-scan qr-code di salah satu tiang dinding kantin. Setelah itu, ia menarik tangan gadis berbando merah duduk di sampingnya di bangku kantin tersebut.
"Thank you, Savara. Nih, batagor lo mau?" Jessica menyodori bungkus batagornya.
"Dih, makan gitu aja? Tumben enggak ngemis coba, secara lo perempuan." Usai berperangai, Bara merebut batagor di genggaman si gadis berambut ikal itu.
"Ck, masa beli batagor aja lo mesti jadi tukang curi?" Jessica menimpali dengan sibuk menyocoli saus di piringnya.
"Ya, namanya anak gelandangan, biasa lah." Sebastian muncul di belakang punggung Bara.
Anehnya, Bara hanya diam, tak menepis perkataan lelaki dengan kulit tan tersebut.
"Lho, Bar?" Sebatian terkejut atas ritme emosi Bara hari ini. Bara memilih untuk pergi tanpa berbasa-basi apapun lagi.
Rajash merasa heran saat ditubruk oleh Bara lumayan keras. "Kenapa? Lagi tantrum dia?" tanyanya, sambil bertaut alis.
"Enggak tahu, tanya Sebastian lah." Savara menimpali sembari bertopang dagu. Jessica memasukkan paksa batagor di dalam mulut Savara.
"Hmph! Jangan iseng, dong!" Savara memukul pundak gadis di sebelahnya sembari tetap mengunyah.
"Nanti siang jam kosong, enggak ada rencana mau kemana gitu?" Sebastian mengambil duduk di samping Jessica dan Rajash mengikuti di mana Sebastian duduk.
Jessica bergedik bahu. "Savara mau ke toko buku, katanya," usulnya asal.
Savara membelalakkan mata menatap ke arah Jessica lalu bertanya, "Jes, kamu cenayang atau gimana?"
"Hah?" Jessica menganga tak paham. Savara menepuk ringan sebelah pipi Jessica.
Savara berdecih ria. "Heish! Dasar lemot jadi orang!"
Rajash membanting tangannya bertopang dagu. "Ada lagi nggak selain batagor?" tukasnya malas.
"Ayo sini sama gue, lo berdua masih belum beli minum 'kan? Jadi mau sekalian?" Sebatian menawari dirinya untuk memesan di bar kantin.
"Boleh, boleh." Jessica menyambar apa yang ditawarkan Sebastian.
Rajash tolah-toleh ke arah sekeliling, mendapati Bara duduk sendirian di bangku yang berada di ujung sudut kantin.
"Sahabat lo enggak sekalian itu?" Rajash menyikut lengan kiri Sebastian sembari mencondongkan dagunya ke arah firgure Bara.
Sebastian melirik di mana dagu Rajash condong mengarah. "Dih, yang ada justru lo yang jadi sahabatnya kali."
"Ya, tapi nggak jadi pengucilan masal gitu juga kali." Rajash menimpali tak tertarik.
Savara dan Jessica bersitatap dengan tawa menggelegar, entah menertawakan apa ─ mungkin jiwa-jiwa julid mereka semakin bertumbuh.
"Ah, lo! Gue mau pesan jadi kelupaan tadi." Sebastian protes sebal.
Rajash menggelengkan kepala. Demi Tuhan, ia sungguh pasrah atas tuduhan tak tervalidasi itu.
* * *
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐇𝐄𝐋𝐕𝐄: To Everything, Who Still Haunt
Fiksi Remaja❲📑❳ Teen Lit - Drama Romance ❝ Untukmu, yang sulit memaafkan dirimu sendiri, dan memeluk apresiasi atas retakmu. Berbahagialah, cepat sembuh batinmu yang masih terluka. ❞ 𝓁𝓊𝓃𝒹𝒶𝓁𝓇𝒾, 𝚆𝙷𝙴𝙻𝚅𝙴 Bayangan, itulah yang selama ini ada di hari-h...