[ 1. Si Alan Copet ]

5 0 0
                                    

Ku hirup udara segar sebanyak-banyaknya selepas keluar dari sesaknya lautan manusia didalam bis. Aroma tanah yang diguyur hujan masih tercium pekat masuk ke dalam lubang hidungku.

Hah... Salam kenal Jog— crasshh —oh shit. Mataku sudah tertutup dengan sempurna kala gebyuran genangan air yang ditimbulkan oleh pengendara roda empat berhasil membuat seluruh tubuhku menjadi basah.

Woy. Aku berteriak tertahan dalam hati, semua orang yang juga sama berjalan kaki sudah menatap ke arahku dengan tatapan kasihan. Kedua alis tipis yang kumiliki menukik jelas, tatapan ku menjadi tajam, hidungku sudah kembang kempis, tak terelakkan lagi pasti ekspresi geram sudah tercetak jelas diwajah tirusku. Argh... siapa yang harus ku marahi?

Mataku mendelik memandang mobil yang sudah melesat jauh— namun masih bisa tertangkap oleh netraku —yang aku rasa sudah membuat sial hari ini.

Hellow. Aku baru saja datang loh ini, aroma bis juga masih menempel dipakaianku, tubuhku aja masih pegal-pegal karena duduk selama dua jam didalam bis. Masa penyambutanku dikota asing berakhir seperti ini? Tidak lucu kan jika nanti akan ada tersebar berita yang berjudul 'seorang pendatang wanita yang sebatang kara telah mengunjungi Daerah Istimewa Jogjakarta dan disambut meriah oleh cipratan genangan air yang ada dijalan' apa-apan sih. Bisa-bisa aku jadi benci Jogja, tau!

Aku menghela napas, sial! Sampai dimana tadi? Ah, kalimat sapaanku juga belum tuntas. Ampun deh! Dengan perasaan yang bergemuruh didalam dada aku berjalan lagi dengan menyeret koperku yang juga meneteskan air cokelat bekas tadi. Semoga gak tembus ya, koper. Ku cium kedua lenganku secara bergantian. Ewh... bau tanah. Lengket disekujur tubuhku juga terasa menjalar, apalagi pakaianku yang sekarang begitu melekat pada kulit.

Langkahku tertatih-tatih menyusuri jalan trotoar yang juga ramai para pejalan kaki. Omong-omong, ini rumahnya nenek ada disebelah mana? Rasa-rasanya hanya kertas sia-sia yang aku bawa sebagai penunjuk jalan, alamatnya tidak salah kan?

Mataku mengamati intens kertas lusuh nan sedikit lembab yang ada ditanganku karena sudah lecak sebab berada disaku celana. Bibirku komat-kamit merapalkan tulisan tangan halus yang terlihat seperti kaligrafi ala dokter dan terkesan banyak garis lurus diujung akhir kata. Ja-lan Ma-lio-bo-ro, ga-ng ke-ti-ga dengan nomor rumah 013. Napasku lolos keluar melalui mulut berkali-kali setelah kepalaku celingak-celinguk mengetahui fakta bahwa aku belum berada setengah jalan dari jalan yang menjadi tujuan.

Roda koperku kembali bergerak melewati orang-orang yang menatapku dengan heran— 'siang-siang gini ada ya yang tarik-tarik koper, tubuhnya basah pula' lensa cokelat gelapku berkeliling ketika tak sengaja menangkap bisikan itumau tak mau aku menyeretnya tanpa gairah hidup, untungnya aspal yang rata ini tidak mempersulit pergerakanku, jadi tak terlalu membutuhkan tenaga keras untuk hal ini.

Gang kedua sudah berhasil aku lewati, selangkah demi selangkah aku sudah berada didepan gang tiga, dan seketika itu raut wajahku dibuat melongo tak percaya oleh dua hal sekaligus. Gilak. Yang pertama, ini gang para orang kaya apa gimana? Atau— Rumah dengan bentuk yang sama, warna cat yang sama, furnitur luar rumah yang juga sama persis. Ah... berasa kayak jadi squidward beneran.

Dan yang kedua. Saliva ku telan dengan mentah-mentah, selain menahan dahaga karena kerongkongan yang terasa kering nan mencekik apa ini juga ajang uji power ya? Yang benar aja deh. Masa iya aku harus mendaki bukit?— ah terlalu lebay —alias jalanan yang menanjak dengan menggandeng satu koper sedang, juga tas selempang walau hanya ku sampirkan dipundak ini, tapi tetap saja membuatku kerepotan. Mungkin aku tidak akan kerepotan mengurus ini-itu juga tidak bakal diusir dengan tidak hormatnya padahal dirumah aku sendiri— jikalau Ibuk dengan Bapak masih ada.

Elegi AlmairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang