[ 2. Kehilangan ]

4 0 0
                                    

Kayaknya hidup aku emang apes banget deh hari ini. Dari pertama turun bis udah terkena cipratan air dan basah. Berjalan mencari rumah Nenek berakhir tersungkur karena disambar copet, itu yang kedua. Yang ketiga, kejar-kejaran sama si copet yang untungnya membuahkan hasil walau sempat terjatuh.

Ugh... nyebelin banget. Dan untuk yang kesekian, kakiku yang tadinya keseleo tak sengaja menyandung kakiku sendiri dan sekarang posisi ku udah tengkurap pasrah.

Kepalaku mendongak memperlihatkan raut wajah menahan kesal, "hah... sial!" Kedua tanganku mengepal dan memukul aspal dengan sekuat mungkin, "sial-sial-sial! Ini semua gara-gara suami dari Kakak iparnya Ibu! Kenapa gue bisa di usir siih? Kenapa juga gue mau keluar dari rumah gue sendiri dan berakhir kayak gini?" rutukku kepada diri sendiri sambil menjambak-jambak rambut bak orang gila kehilangan arah.

Aku buru-buru beranjak, menarik koperku lagi seraya memperhatikan sekeliling. Area perumahan gang tiga benar-benar kayak udah mati. Perasaan dari tadi aku juga tidak melihat orang-orang, pantas saja si copet menyebalkan itu larinya kesini, tempatnya sepi soalnya.

Setiap nomor angka rumah aku lihat satu-persatu, kini aku menyusuri jalan menurun ini, gak nyangka aku tadi melewati tanjakan yang lumayan tinggi sambil berlari.

Senyuman ku mengembang sempurna kala melihat nomor 13. Tanganku langsung mengelus dada sambil menghela napas lega, syukur banget rumahnya Nenek udah kelihatan. Buru-buru aku menghampiri rumah yang mirip semua dan mengetuk pintunya dengan tidak sabar.

"Assalamualaikum, Nenek! Almaira datang!"

Hening.

"Permisi, apa ada orang dirumah?!"

Tak ada jawaban.

Ini hari menyepi apa gimana sih? Atau jangan-jangan gang tiga emang udah gak dipakai lagi? Tapi masih bagus kok. Manik mata cokelat ku mengedar ke penjuru sudut, menatap sana-sini dan emang tidak ada manusia yang lewat. Apa benar emang udah gak dihuni lagi?

Tanganku mengetuk pintu kembali, kali ini lebih keras dan cepat sembari mengeluarkan longlongan suaraku yang cetar membahana merusak telinga bak raungan singa, "NENEK! ALMAIRA DATANG!"

Spontan aku berteriak kencang sambil menutup mata kala merasakan pundakku dipegang oleh tangan besar.

"WOY!"

Jantungku berdebar, lebih terkejut lagi ketika suara teriakan itu menggaung ditelingaku. Aku melongokkan kepala ke belakang dengan hati-hati, seketika wajah konyol berada tepat dihadapan wajahku. Terkejut. Hingga tubuhku mundur ke belakang beberapa senti.

Aku menatap marah pada lelaki didepanku yang tertawa dengan terbahak-bahak, "hish.. lu ngagetin gue tau gak!" Ku pukuli pundaknya sebentar agar menyalurkan emosiku.

"Lu ngapain?" tanyanya terbata-bata karena masih diiringi dengan tawanya yang kini menular kepadaku.

Aku berhambur melompat memeluk tubuhnya yang sangat tinggi, menempel bak benalu, tubuhnya sempat oleng namun masih bisa ia tahan. Aku hanya terkekeh kecil, "ah... Galih, gue kangen... lo tambah bontot aja!" ujarku sambil menepuk-nepuk punggungnya dan mengusap kepalanya lembut.

"Turun! Lo kira lo masih kecil hah?" paksa Galih yang berusaha melepas cekalan tanganku yang mencekik lehernya.

"Gak mau!" Kepalaku menggeleng keras diatas pundaknya yang kini ku gunakan untuk menopang daguku.

"Badan lo basah, bau juga, elah! Cepetan turun napa!"

Aku tak menghiraukan perintahnya dan tambah mengencangkan pelukanku kepadanya, Galih... lo itu sebenarnya mirip Bapak! Penyayang tapi gengsi. Tak sadar mataku jadi berkaca-kaca, dan mulai menitikkan air mata, aku menggigit bibir bawahku bagian dalam agar tidak mengeluarkan isakan. Tubuh Galih juga tidak lagi memaksaku melepas pelukan, satu tangannya ku rasakan mengelus punggungku yang tadi sempat kotor, lalu satu tangannya lagi ia gunakan untuk menahan tubuhku agar tidak jatuh.

Elegi AlmairaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang