Sembilan hari sebelum aku berada di Jogja ialah hari-hari terburukku sepanjang hidup. Hal itu berawal dari sekolah tempat kedua orang tuaku mengajar, mengadakan kegiatan wajib yang selalu diadakan setiap tahunnya, yaitu study tour.
Para guru diwajibkan ikut guna mendampingi anak didik mereka, termasuk Bapak dan Ibuk, juga diriku yang merupakan murid. Perjalanan kami menggunakan bis pariwisata, awalnya semua berjalan sesuai rencana dan aman-aman saja. Namun, ketika hampir mencapai tujuan, bis yang kami naiki mengalami masalah.
Dari bukti yang sudah diselidiki oleh pihak berwajib, tertuju pada si pengemudi itu sendiri. Diketahui Pak Sopir tidak bisa menjaga kedua matanya agar tetap terbuka. Sedangkan, dirinya tak menyadari bahwa jalan yang sedang ditempuh itu jalanan menanjak yang mengharuskan selalu menginjak pedal gas. Mungkin gara-gara mengantuk, Pak Sopir tidak bisa mengontrol semua kendali dan menyebabkan bis kehilangan tenaga karena tidak bisa mendaki bukit tinggi itu. Perlahan, bis mundur secara bebas lalu melenggok miring keluar jalur hingga bertubrukan dengan batu besar yang menjadi pembatas antara jalan dan jurang. Para penumpang panik tak terkendali. Juga akibat dari benturan keras itu kaca bis mampu pecah dan bis mengalami oleng kemudian ambruk ke sisi yang lain, sedangkan batu besarnya miring dan hampir terjatuh. Beruntungnya, tidak ada kendaraan lain yang terkena imbasnya. Korban merupakan penumpang itu sendiri, sekitar 40 persen orang meninggal, 50 persen mengalami luka serius, 10 persen syok berat. Dan, diriku salah satu dari 10 persen itu.
Kejadian tersebut berhasil merenggut nyawa banyak orang terutama dua pahlawanku yang kini sudah pergi menjemput Sang Pencipta. Keterlaluan. Semesta sedang mencandaiku dengan serius, kenapa aku tidak ikut mereka saja? Kenapa harus menyisakan diriku dan menjadikanku sebatang kara? Huhu...
Takdir Tuhan Semesta Alam yang paling dahsyat dan tidak akan pernah terelakkan yaitu, memanglah kematian dan hari akhir. Tiada makhluk yang mampu menebak kapan terjadinya hal itu. Pengecualian orang yang bunuh diri, itu saja dia beruntung kalau bisa langsung mati, kalau tidak?.
Semua manusia dibumi itu ibarat hanya mampir minum, alias kita itu seperti musafir (orang yang bepergian). Ia melakukan perjalanan panjang sembari mencari bekal sebanyak-banyaknya untuk menemaninya ke tujuan yang ditempuhnya. Dan tujuan akhir kita adalah tempat yang kekal dan abadi, yaitu akhirat.
Haish... helaan napasku terdengar sangat berat, tubuhku ku rebahkan diatas kasur milik Nenek seraya menghirup kuat-kuat aroma Nenek yang masih menempel, padahal sudah hampir dua tahun? Setelah mandi dan sholat tentunya. Ternyata istilah people come and go memanglah fakta. Dan sekarang aku sedang dalam fase ditinggalkan oleh tiga nyawa langsung.
"Al? Sebentar lagi waktu maghrib, gue mau ke musholla. Lo mau ikut nggak?" Suara Galih membuyarkan kenangan ku bersama Nenek. Aku bangkit, melihatnya dari atas ke bawah berulang-ulang. Galih kini seperti ustadz-ustadz, ia sudah rapi dengan menggunakan baju koko warna putih yang dipadukan dengan sarung berwarna hitam bermotif, serta pundaknya yang sudah tersampir oleh sajadah, dan sekarang ia sedang membenahi peci hitamnya, jangan lupakan jam hitam khas cowok yang melingkari tangan kirinya. Wow... gilak. Nih bocah berdamage banget. Wajahnya yang sedikit kebule-bulean itu, bolehlah disamain sama syeikh, cuman ya... hidungnya kurang panjang, padahal sudah mancung jika dibandingkan dengan mayoritas hidung orang Indonesia.
"Heh, malah melamun!" Galih menjentikkan jarinya berkali-kali, menyebabkan bibirku melengkung menghiasi wajahku dengan mata yang masih membengkak. Aku mengangguk antusias, gak nyangka kalau sepupu ku ternyata soleh, hihi.
"Tungguin ya!" pintaku yang langsung mengacir pergi ke kamar mandi tanpa menunggu persetujuannya, aku mengambil air wudhu kemudian mengenakan mukena dengan warna yang senada dengan pakaiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Almaira
RandomKetika takdir merebut semua kebahagiaan yang dimiliki gadis bernama Almaira, apapun yang Almaira punya semua telah diambil oleh yang lebih berhak. Kini Almaira menjadi sebatang kara di kampung halamannya, keadaan telah mengusir paksa dirinya dari ba...