2

40.2K 1.4K 8
                                        

Seorang gadis terduduk lesu di bangku koridor sekolah, menatap kosong ke arah lapangan yang kini lengang. Angin sore berhembus lembut, menyapu rambut panjangnya yang kusut. Tapi pikirannya... justru berkecamuk.

Cassandra Meycita—atau kini, tubuh yang dipanggil Shiren—masih belum bisa mencerna sepenuhnya.

“Sialan... Brengsek... WTF!”

Ia memukul dahinya sendiri pelan.

“Kenapa bisa gue transmigrasi ke tubuh si antagonis? Cuma gara-gara nabrak tiang listrik?!”

Ia mendongak, matanya menatap langit seperti minta kejelasan dari semesta.

“Kenapa harus novel ini?! Kenapa bukan novel romantis yang ending-nya bahagia dan tokohnya disayang semua orang? Kenapa malah Sang Antagonis?”

Air matanya mulai menetes. Ia peluk lututnya, menggigil dalam rasa takut dan marah.

“Hiks... Mama... Papa... Cassandra pengen pulang... Gue gak mau jadi tokoh jahat, gue gak mau hidup dibenci semua orang…”

Tapi di tengah tangisnya, ia terdiam.

“Tunggu… Gue bisa ubah nasib si Shiren, kan? Gue kan Cassandra… Gue bukan si kejam itu.”

Namun detik berikutnya ia teringat sesuatu yang membuat tangisnya kembali pecah.

“Oppa Korea guee… Gue ga terima berpisah sama Oppa Oppa gue… Hiksss...”

Tapi kemudian, senyum tipis mulai muncul di bibirnya.

“Eh, tapi... si Shiren kan anak sultan... Tajir mampus. Gue bisa beli semua foto card, semua album, tiket konser... Oke, hidup mungkin gak sepenuhnya buruk.”

Ia bangkit, menghapus air mata, dan menatap ke depan.

“Gue bakal jadi versi terbaik dari Shiren. Cassandra-style. Cantik, pinter, anggun, dan baik hati. Tapi tetap savage kalau perlu.”

Ia menoleh ke meja tempat novel itu tergeletak. Ia mengambilnya.

Begitu dibuka—matanya membulat.

Kosong. Halaman demi halaman, tanpa tulisan.

“Hah?” Ia balik-balik cepat.

“Ini beneran novel yang tadi gue baca, kan? Kenapa... kosong?”

Ia menutup lalu membuka kembali.

Masih kosong.

“Jangan-jangan... gue masuk ke dalam ceritanya sebelum alur dimulai? Atau... ceritanya berubah karena gue masuk?”

Ia mengingat-ingat.

“Waktu itu, pas baca... si Shiren sempat bully Jiva... Kalau gue bisa tahu kapan itu terjadi, gue bisa mulai kendalikan alurnya.”

Ia pun berdiri, hendak mencari Melda dan Gisa.

Tapi baru beberapa langkah...

Byurr!

Segelas minuman tumpah membasahi bajunya.

“Sialan!” serunya spontan.

“Maaf kak! Aku nggak sengaja!” seorang gadis membungkuk panik.

Shiren melihat name tag-nya.

“Jiva?” gumamnya pelan.

Gadis itu—kecil, polos, dan sekarang ketakutan.

Ini dia orang yang dibully Shiren dalam cerita… Jangan-jangan ini momen awal bullying-nya?’

“Gak apa-apa. Gue juga salah. Santai aja, gak usah nangis gitu,” ucap Shiren lembut, mencoba menetralisir.

Namun suara lantang menginterupsi suasana:

“SHIREN!”

Ia menoleh, mendapati sosok Marchel datang mendekat dengan wajah marah.

“Lo lagi-lagi gangguin Jiva? Lo tuh kenapa sih? Hobi banget bikin dia nangis?!”

“Gue gak salah. Nih liat, baju gue basah. Dia yang nabrak. Gue udah minta maaf, jangan main tuduh,” kata Shiren, mencoba tetap tenang tapi mulai kesal.

“Masalahnya dia nangis!”

“Ya bukan gue yang nyuruh dia nangis, Marchel! Jangan overacting.”

“Bener kak, aku yang salah. Kak Shiren malah minta maaf ke aku tadi,” ucap Jiva dengan suara pelan.

Marchel tampak menahan amarahnya, mengepalkan tangan.

Melihat itu, Shiren malah tersenyum tipis.

“Pukul aja kalau berani. Tapi lo pukul orang yang gak salah, lo yang dosa.”

Tegang. Tapi Marchel mengalihkan tatapannya.

Shiren menang lagi.

“Udah sana, bawa Jiva. Gue udah cukup sabar hari ini.”

“Kalau gue lihat dia nangis lagi karena lo, selesai lo sama gue,” ancam Marchel sebelum pergi.

“Uuu takut,” ejek Shiren pelan.

Ia mendengus kesal.

“Sumpah, dunia ini isinya orang menye semua. Ngotot nuduh tanpa bukti.”

Namun pikirannya kembali teralihkan pada satu hal penting.

“…Kelas gue dimana, anjir?”

Tak lama, ia melihat dua orang yang dikenalnya dari ingatannya—Melda dan Gisa.

“Melda! Gisa!” serunya.

Mereka menoleh.

“Wah, lo semangat banget. Mau ngapain?” tanya Melda.

“Ke kelas bareng dong, sekalian cari suasana.”

“Shiren, ini udah jam pulang. Lo gak denger bel?” Gisa terkekeh.

‘Oh iya... si Shiren suka dijemput nyokapnya atau bawa mobil,’ pikirnya cepat.

“Ah, iya gue dijemput. Gue lupa,” jawab Shiren sambil nyengir.

Mereka bertiga berjalan menuju parkiran.

Sepanjang jalan, Shiren sadar—tatapan orang-orang masih sama. Takut, menghindar, dan penuh ketegangan.

Tatapan mereka tuh kayak gue monster. Tapi… seru juga. Powernya kerasa banget.’

Sampai akhirnya sebuah suara lembut tapi tegas memanggilnya.

“Sayang, ayo masuk. Mama mau bawa kamu ke suatu tempat.”

Shiren menoleh dan melihat seorang wanita elegan, Maya—ibunya.

“Iya, Ma.”

Mereka masuk mobil.

“Ma, kita mau kemana?” tanyanya.

“Salon dulu, lalu ke mall. Mama mau kamu tampil cantik malam ini.”

“Kenapa? Ada acara?”

“Nanti juga kamu tahu,” jawab Maya dengan senyum misterius.

Di kursi penumpang, Shiren menyandarkan kepala.

‘Salon? Mall? Malam ini ada apa?’

Ia coba mengingat, tapi tak menemukan apa-apa dalam ingatannya tentang novel.

‘Cerita ini mulai keluar jalur... atau justru baru dimulai?’

Ia menatap keluar jendela.

Melodi... lo bener-bener bikin gue nyasar ke dunia yang ga jelas. Tapi gue ga akan kalah. Gue bakal bawa cerita ini ke arah yang gue mau.’














*
*
*
*
*

 Istri Untuk Anak Manja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang