Chan selalu berusaha keras untuk meraih mimpinya. Dia sudah melakukan yang terbaik dalam karir musiknya. Dia sudah melakukan yang terbaik dalam mencintai seseorang. Dia sudah melakukan yang terbaik dalam menjadi orang tua bertanggung jawab.
Namun, ada sesuatu yang membuat Chan tidak ingin melakukan yang terbaik selama 46 tahun hidup sejauh ini.
"Felix, belum tidur?" Chan melihat Felix masuk ke kamar sambil membawa secangkir kopi. Chan baru saja kembali dari kantor, tempatnya bekerja sebagai akuntan.
"Ini baru jam dua belas. Minho ngerjakan penelitian, Jisung juga sibuk dengan musiknya. Kenapa aku harus tidur sekarang?"
Chan tersenyum, "Kamu tahu kan, kebiasaan begadang kakak dan ayahmu itu gak baik buat keseharan?."
"Ya sudha. Kalau gak mau kopinya aku kasih ke Jisung aja," Felix hendak berbalik namun Chan lebih cepat meraih cangkir di tangan Felix.
"Terima kasih banyak, Felix!"
"Aku bikin kopi buat Jisung kebanyakan. Aku tidak suka kopi jadi ayah saja ya yang habiskan." Chan terkekeh dengan tindakan konyolnya.
Felix adalah juru masak yang baik, bahkan lebih baik dalam membuat kue daripada putra pertamanya. Namun, ia sering kali ceroboh dengan hal-hal sederhana seperti ini sehingga ia selalu mengingatkan Minho untuk mengawasi Felix di dapur.
"Jisung... begadang karena proyek musiknya, ya?" Chan menyeruput kopi. Hangat dan manis.
"Iya, itu! Aku juga tadi ngobrol itu sama hyung. Katanya, Jisung mirip ayah waktu masih muda."
Itu benar. Chan masih belum bisa menggambarkan bagaimana perasaannya saat anak kembarnya lahir. Bahagia karena kedua putranya lahir dengan selamat. Sedih karena kehilangan orang yang dicintai. Gemetar melihat wajah si kembar yang mirip sekali dengan dirinya dan istrinya.
"He.. yang seperti itu beneran ada ya?"
"Ayah tidak percaya reinkarnasi. Itu juga tidak masuk akal 'kan?"
Chan tertawa untuk meredakan hatinya yang gemetar. Ia dipaksa kehidupan untuk menjadi orang tua tunggal, membesarkan tiga anak tanpa seorang ibu.
Bagi seorang Bang Chan, sesuatu yang ia usahakan dengan keras dan semua itu diambil begitu saja, tentu meninggalkan bekas luka yang mendalam.
"Itu sebabnya ayah berhenti bermain musik?"
"Musik tidak bisa memberikan penghasilan tetap, dan ayah harus memastikan keluarga ayah bisa hidup bahagia."
Satu-satunya yang menjadi motivasi bagi Chan adalah Minho. Dan Jisung. Dan Felix.
"Tapi jangan cerita ke Minho ya? dia bakal geli. Jangan bilang juga ke Jisung, dia bakal godain terus tentang ini. Ehhh tapi kalau cerita ke kamu juga kamu gak akan berhenti menangis nanti..."
"Ayah!" Chan tertawa mendengar omelan Felix. Itu dia. Suara putranya yang begitu ceria dan penuh kehidupan. Putranya yang punya masa depan menanti.
Chan mencintai keluarganya lebih dari apapun. Dia akan melakukan apa pun untuk keluarganya. Tak ada keraguan dalam mencintai mereka.
"Tapi anak bungsuku... dia tumbuh dewasa dan meragukan definisiku tentang cinta" Chan memandang Felix sambil tersenyum sedih. Tangannya menggenggam pipi Felix.
"Felix, kamu tahu kenapa?"
"Karena aku persis seperti ibu saat masih hidup." Felix menatap mata ayahnya yang kosong, seolah menjelajah ke masa yang tidak pernah Felix ketahui.
"Ayah biasa bercanda seperti itu. Ayah juga tidak pernah menyembunyikan album keluarga. Kamu sadar kalau kamu persis dengan ibumu, tapi kenapa tidak pernah bicara tentang itu?"
"...Karena. Karena aku tidak ingin menyakiti ayah." Air mata Chan mengalir.
"Ayah sangat menyayangi kita...keluarga kecil kita...Ibu juga keluarga kita...Aku tidak ingin membicarakan sesuatu yang bisa membuat ayah sedih."
Chan memeluk Felix sambil berbisik, "Ini yang membuatku takut dan khawatir..."
Chan melihat cinta pertamanya di wajah Felix. Namun, dia juga ingin Felix tumbuh menjadi dirinya sendiri tanpa bayangan ibunya. Mekar begitu indah dengan caranya sendiri yang hangat dan manis, seperti kopi yang ia buat.
Chan sudah berani membuat pilihan-pilihan sulit. Chan sudah mengambil semua resiko. Tapi untuk pertama kalinya, Chan tidak tahu harus berbuat apa.
"Ayah..." Dadanya bergetar saat Chan membenamkan diri di dada putranya.
"Ayah melankolis sekali, pasti karena kopinya terlalu manis." Felix berkata dengan wajah serius.
Chan duduk di tempat tidurnya dan mendudukkan Felix di pangkuannya, "Ayah juga bisa menangis dan khawatir kan?," ucapnya menirukan rengekan Felix.
"Tentu saja. Enggak, bukan itu maksudku! Aku mau bilang kalau ayah tidak perlu takut," ucap Felix menggenggam kedua tangan Chan dalam tangan mungilnya.
"Ayah harus bagaimana?"
"Seperti biasa."
"?"
"Seperti biasa, Ayah."
Felix menyela Chan yang hendak mengatakan sesuatu, "Aku sudah bilang sejak lama. Aku tidak ingin menyakiti ayah 'kan?. Aku hanya ingin ayah bahagia."
Chan menatap tangannya yang bertaut dengan tangan mungil Felix, "Ayah sayang Felix 'kan? Felix juga sayang ayah. Aku bisa menjadi siapa pun yang ayah inginkan. Cinta pertama. Anak yang baik hati. Orang yang berharga. Aku hanya ingin disayangi ayah."
Mata Felix hangat dan manis. Wajahnya yang cantik dan familier. Senyumnya membutakan Chan dari ketakutan dan keraguan. Chan memeluk Felix dengan lembut.
"Aku hanya ingin kamu menjadi kebahagiaanku, Felix. Selamanya."
Mereka mungkin ayah dan anak, tapi Felix akan selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi Chan.
![](https://img.wattpad.com/cover/366731170-288-k618781.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD THINGS COME TO FAMILY THAT LAUGH • chanminsunglix ✔
FanfictionTerlahir di keluarga yang hangat adalah sesuatu yang tidak semua orang bisa miliki. Felix bersyukur sekali tiga orang begitu menyayangi nya hingga membuatnya ingin mengembalikan cinta itu sepuluh ribu kali lipat. Apa pun bisa dilakukan, bahkan jika...