2. Rumah Falisha

19 0 0
                                    

"Sha, kamu itu dari dulu disekolahkan bukan untuk pacaran dan galau seperti ini. Percuma dong Bapak susah payah ngebiayain kamu" ucap Bapak saat mendapati Falisha mengurung diri di kamar setiap malam dalam tiga hari berturut-turut.

"Anakmu itu emang gitu pak dari dulu. Suka semaunya sendiri. Sudah dibilang dulu, Abyasa itu agak mencurigakan. Masih saja dipertahankan. Nggak manut sih sama orang tua" sambung Ibu yang ikut masuk ke kamarku sambil membawakan semangkuk sup.

Falisha yang sudah tidak bertenaga hanya diam seribu bahasa. Sambil meraih tangan Ibunya yang membantu ia pindah ke posisi duduk, pandangan matanya beralih ke arah Bapak yang berlalu pergi dari kamarnya. Dilihatnya kilatan kekesalan di mata Bapak. Tapi Falisha mencoba mengabaikannya. Kemudian matanya beralih kepada sop yang diletakan ibu dimeja, harum gurih sop itu membuat perutnya berbunyi. Ternyata tubuhnya sudah memberi sinyal lapar. Setelah nafsu makan itu hilang sejak peristiwa hari itu.

Seusai Falisha bertemu dengan Abyasa dan Bunga, ia pun mengajaknya bertemu di pagi selanjutnya. Karena emosi yang meluap-luap, Falisha sengaja memilih Gacoan sebagai tempat pertemuannya. Sejak malam itu perasaan gelisah dan mempertanyakan esensi dirinya dalam hubungan itu membuatnya lelah dan butuh sebuah pelampiasan. Makanan pedas selalu jadi opsi pelampiasan terbaik. Mungkin mereka tercipta untuk hal semacam ini.

Siang itu Gacoan sedang ramai-ramainya. Entah kenapa banyak sekali mahasiswa dengan menenteng tas jinjing dalam antrian, mereka bersenda gurau dengan bahagia disana menunggu gilirannya tiba dimeja pemesanan. Kasir Gacoan yang jadi sosok yang dituju itu untungnya sigap menerima pesanan dan menyampaikannya lewat mikrofon. Saat Falisha sedang sibuk melihat pegawai Gacoan yang terlihat bolak balik, disaat yang sama ada suara yang menyahut dari sebelahnya.

Rupanya Aby.

"Hei"
"Eh.. Halo."
"Udah lama ya?"

Menyadari pertanyaan tersebut, Falisha melihat arlojinya dan benar saja sudah tiga puluh menit berlalu dari waktu perjanjian yang seharusnya. Dalam hati ia berbisik ternyata memang sudah banyak tanda-tandanya. Selalu terlambat, menunda, bahkan hilang tanpa kabar. Aku yang terlalu keras kepala selama ini.

"Santai aja. Baru aja ko" ucap Falisha dengan santai. Ia mencoba dengan sekuat tenaganya agar terdengar tidak emosional.
"Okelah kalo gitu. Kamu udah mesen buat aku juga?"
"Udah"
"Oke sip. So, kemarin kamu sampai di rumah Tantemu jam bera...?"–Permisi ka ini pesanannya. Sudah datang semua ya. Nomor saya ambil. Selamat menikmati.

Percakapan mereka terputus karena tiba-tiba pesanan mereka sudah datang. Sambil menikmati mie gacoan level delapan ini, Falisha tetap berdiri tegak dengan intonasi suara yang tetap stabil, padahal lidahnya sudah terasa sangat terbakar. Tapi ia tetap fokus untuk menyampaikan apa yang sudah direncanakan semalam. – Putus dengan Aby– 

Padahal kedatangan Falisha yang sesungguhnya ke Semarang adalah untuk quality time dengan Aby. Tapi peristiwa kemarin sungguh membuat memori tidak enak dalam hubungannya semakin menyergapinya. Terutama saat ia menyadari, banyak nama Bunga tersebut setiap kali ia sedang menelepon Aby belakangan ini. Bahkan di dalam chat, Falisha menemukan hampir 100 kata "Bunga" ditemukan di kolom pencarian chat Whatsappnya.

Ia tidak mengira, waktu yang ia luangkan disela hiruk pikuk kuliahnya justru mengantarkannya pada akhir lembaran cerita dengan Aby.  Sosok yang selama masa SMA hingga awal perkuliahan selalu menemaninya. Mungkin aku cuma kesepian dan haus kasih sayang selama ini. Bahkan pikiran itu sempat terlintas dibenaknya.

Beberapa bulan terakhir Falisha sibuk dan rasanya butuh quality time dengan Aby. Tapi perasaan meminta minta membuatnya tidak nyaman karena jarang direspon cepat. Semakin banyak kecurigaan tertanam dihatinya dengan tingkah Aby belakangan ini. Rupanya dugaannya benar. Bunga. Meski ia tahu  Aby akan menolak permintaan putus itu. Falisha sudah membulatkan tekad. Ia sekali lagi melirik arlojinya  dan kemudian menyampaikan maksud kedatangannya.

"Kita udahan ya." ucapnya dengan dingin.
"Pasti karena Bunga kan? Dengerin Fal, Bunga itu kan emang suka nempel sama aku dari dulu. Kamu tau itu"
"Iya tau.Tapi bukan itu masalahnya By."
"Terus apa lagi Fal, apa karena aku telat jemput kamu? Apa karena aku nggak balik Jogja bulan ini? Kamu tau sendiri aku banyak kegiatan di kampus." Aby menjelaskan panjang lebar dengan alis mengkerut dan raut muka yang sungguh menjengkelkan. Dan sungguh, Falisha sudah tidak peduli.

"Iya tau. Aku ngertiin ko. Makanya sekarang kamu bisa fokus aja"
"Nggak mau. Jelasin ke aku kenapa kamu mau udahan!" Falisha membelalakan matanya, terkejut dengan suara Aby meninggi. Ia malu karena menyadari beberapa pasang mata di meja sekitarnya mengalihkan perhatiannya padanya.

Falisha yang menyadari hal tersebut, seketika ikut emosi karena merasa dibentak. Ia menandaskan es gobak sodor pesanannya dan meletakkannya dengan sedikit kasar.

"Eh.. Bisa nggak sih ngomongnya biasa aja"
"Nggak bisalah. Kamu seenaknya mengakhiri hubungan. Padahal aku udah banyak usahain kamu dari sejak aku pindah Semarang. Enak aja. Kamu kira aku nggak ngeluarin banyak duit buat ketemu kamu? Kamu kira gampang buat ngeluangin waktu buat balik Jogja ketika aku banyak kegiatan? Mikir dikitlah. Jangan egois kamu"

Falisha tidak habis pikir kalau ternyata selama ini Aby cukup perhitungan dengan apa yang sudah ia lakukan padanya. Ia mengira Aby adalah sosok yang sayang padanya dan rela melakukan apapun untuknya. Bukannya semua yang dilakukannya itu sebuah upaya untuk menunjukkan rasa sayangnya pada Falisha? Ternyata ia salah. Aby Pamrih. Aby yang ada dipikirannya bukan Aby yang sesungguhnya.

"Loh.. By.. aku egois gimana coba?" ada jeda disana. 
"Egois lah selalu minta ketemuan, minta ditelpon, dan minta ini itu."
"By.. bukannya orang pacaran itu saling ya..? Aku.. seegois itukah dimatamu? Pernah nggak sih.. kamu ngaca?"
"Dasar, manusia egois. Dibilang egois malah balik bilang egois" Egois. Salah satu kata yang paling Falisha benci. 
"Mana ada pasangan yang perhatian aja harus minta. Ketemuan harus minta dan mohon-mohon. Mikir dikit juga kamu lah"
"Kan kan.. Emang batu kamu."

Obrolan itu terus memanas dan membuat orang sekitar mereka mulai banyak yang berbisik. Falisha yang mendengar orang-orang tersebut berbisik ih mau putus nih pasti. Kasian banget mbaknya kalah debat. Akhirnya Falisha beranjak dari tempat duduknya.

"Nggak butuh persetujuanmu. Kita putus"

Hatinya lega. Tapi di sudut hatinya dia merasa kehilangan tempat berteduhnya. Abyasa yang selalu jadi tempatnya berkeluh kesah selama ini pun harus ia relakan.

...

"Sha, ayo makan lagi."

Ibunya menggoyang-goyangkan bahunya. Menyadarkan Falisha dari lamunannya. Mengingat perasaan setelah mendengar perkataan Aby tempo hari membuat hatinya pedih. Bagaimana bisa seseorang yang selama ini dengan manis memperlakukannya justru mengatakan hal semacam itu. Bagaimana bisa dia lupa usaha yang sudah ia lakukan untuknya juga. Bagaimana bisa ia mengecapnya egois.

Sembari mencoba menenangkan pikirannya, Ia melahap suap demi suap nasi sop yang diberikan Ibu, Falisha merasakan pikirannya justru semakin berisik. Banyak pikiran berlalu lalang di kepala, ditambah lagi telinganya mendengar Ibu terus menasehati panjang lebar. Tapi Falisha tetap mencoba hanya fokus mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Sebab ia baru saja patah hati, siapa juga yang senang dinasehati saat hatinya baru saja patah karena seseorang yang ia percaya.

Mengusahakan untuk tetap menjalani rutinitas saja rasanya sudah berat. Tapi menghabiskan waktu malam dikamar justru mengundang banyak komentar tidak enak. Lucunya ini dirumah sendiri. Untuk orang lain, rumah mungkin adalah tempat ternyaman. Tapi bagaimana jika rumah satu-satunya tempat ia berteduh, justru bukan kenyamanan yang didapat, kemana lagi ia harus pergi?

"Percuma dong Bapak susah payah ngebiayain kamu"

Kalimat itu berputar-putar di kepalanya. Pertanyaan itu muncul lagi. Merontokkan sisa-sisa tenaganya. Pasangan, Keluarga, Lingkungannya. Semua membuat kepercayaan dirinya hilang. Tapi ia sudah bertekad untuk menyudahi semuanya. Besok aku harus lupa! 

Ditariknya selimut di kakinya itu sambil menutupi semua tubuhnya sampai kepala. Ibu yang masih memegang piring sop itu mengomel karena masakannya tidak dihabiskan. "Masih banyak malah nggak dihabisin. Udah dimasakin susah payah. Mubazir gini". Falisha mengabaikannya. Tubuhnya meringkuk, matanya memejam, ia ingin lari dari kenyataannya saat ini secepat mungkin. Pikirannya melayang kembali, Masih adakah tempat yang nyaman untukku berteduh dari lelahnya kehidupan?

Sudut MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang