Prolog

460 14 7
                                    

Bandung, Mei 2015.

Seharusnya memasuki bulan Mei musim kemarau telah tiba, tapi kali ini sepertinya musim penghujan masih saja enggan berganti shift dengan temannya. Awan kelabu masih saja menggantung manja, menghalau sinaran hangat cahaya sang mentari di atas sana.
Semua ini mungkin karena dari Global Warming yang semakin parah sehingga musim di kota kembang telah berubah tak seperti beberapa dasawarsa yang lalu.

Entah benar atau tidak semua isu itu, yang jelas seorang pemuda tengah merasakan dinginnya udara kota kembang di pagi hari begitu ia keluar dari sebuah mobil tua buatan Jerman berwarna biru langit. Dengan tergesa ia melangkahkan kakinya menuju sebuah gedung, meninggalkan Volkswagen warisan kakeknya yang terawat dengan baik di area parkir yang sudah cukup ramai.

Langkah kakinya terhenti ketika ia akan memasuki bangunan besar berwarna putih. Berpuluh lembar skripsi hampir saja terjatuh dari tangan pemuda itu ketika angin tiba-tiba berhembus kencang, beberapa daun kering dari pohon Akasia yang ditanam sepanjang area kampus perlahan terjatuh tertiup angin yang baru saja berhembus kembali.

Setelah merapihkan skripsi yang berbundel di tangan nya, pemuda itu kembali melangkahkan kakinya, memasuki bangunan yang ia tuju.
Sesaat ia mengarahkan pandangan nya kearah sebuah bangku yang berada di sudut taman yang tak jauh letaknya dari tempat ia berdiri. Sesosok gadis terlihat sedang duduk disana, membaca sebuah buku yang halaman nya kini tersibak angin, rambut hitamnya yang sebahu pun turut bergoyang manja, di iringi beberapa daun akasia yang menari dan perlahan jatuh ke bumi. Gadis itu membenarkan poni rambutnya yang berantakan, pun begitu dengan helaian rambut yang menjuntai di samping ia sematkan tepat di telinga sebelah kanannya. Di balik frame kacamata, dua buah bola mata coklat memandang ke arah pemuda itu, dan lantas tersenyum.

Simpul yang terbentuk di bibir gadis itu terlihat sangat manis, siapapun yang melihatnya pasti setuju jikalau itu adalah senyuman yang indah. Namun, bagi pemuda itu berbeda. Senyuman itu seperti membuka luka lama yang telah ia coba untuk sembuhkan. Seiring dengan berjalan nya waktu rasa sakit dari luka itu memang menghilang namun tetap saja membekas.

Pemuda itu menghela nafas, ia mengalihkan pandangannya dari bangku tersebut. Kembali ia melangkah ke depan, mencoba meninggalkan tempatnya termenung tadi. Gemuruh di atas langit terdengar seiring langkah kaki pemuda tersebut, pertanda bahwa hujan akan segera turun. Angin kembali berhembus, meniup kembali dedaunan kering dari atas tanah, debu-debu yang ada di bangku berwarna putih itu tertiup angin, terbang lalu menghilang bersamaan dengan sosok gadis tadi yang perlahan memudar...

===============

"Jun!" sebuah suara cempreng yang tak asing lagi terdengar di telinga pemuda yang baru saja masuk ke dalam kampus. Dengan perlahan ia membalikkan badan, dan menengok ke asal suara.

"Eh... Apa kabar?" sapa pemuda itu dengan kikuk saat ia melihat gadis imut yang berkaca mata sedang berdiri di hadapannya tersenyum lebar memamerkan gigi kelinci yang di pagari behel.

"Baik Jun, Kamu sendiri gimana?" balas gadis itu, masih dengan senyuman yang lebar di bibir mungilnya.

"Ya gini pokoknya, sibuk pendadaran hehe," pemuda itu menjawab di iringi senyuman yang di buat-buat, bundelan skripsi yang terasa berat ia angkat di tangan nya.

"Oh..." Gadis bersuara cempreng menjawab singkat, bola mata coklat di balik frame itu melihat skripsi yang sedang di angkat pemuda itu. "Cepet nyusul Jun! tinggal kamu yang belum lulus, Haha." lanjut Gadis itu di iringi tawa.

"Kampret, ngga usah ngeledek juga kali," dengus si pemuda kesal. Sedangkan si gadis hanya tersenyum, melihat lawan bicaranya naik pitam.

"Eh iya, Kamu ngapain kesini?" Tanya si pemuda itu.

"Kenapa emangnya? kamu kangen aku ya Jun? Haha..." jawab gadis dengan penuh percaya diri.

"Eh, enggak, bukan gitu..."

"Haha, ngga usah salting gitu Jun, aku kesini cuma mau ketemu dekan sekaligus legalisir ijazah aja kok."

"Ooh," jawab pemuda yang berambut gondrong itu singkat.

"Mhh... Udah bisa move on ya?" Tiba-tiba gadis tadi bertanya, sebuah pertanyaan singkat yang tepat menusuk hati si pemuda.

"Haha," pemuda itu tersenyum getir. "Kamu sendiri gimana?" Bukan menjawab, pemuda tadi malah balik bertanya.

"Complicated Jun," rona ceria si gadis yang sedari tadi terpancar perlahan meredup. "Semoga di Aussie nanti ketemu bule ganteng yang mirip pangeran Harry, Hihi." Jawab si gadis dengan tersenyum lebar memperlihatkan kembali gigi kelincinya. "Yaudah aku duluan ya, bye Juni!" gadis itu mulai beranjak dari tempat nya berdiri.

"Sukses ya April!" Ucap pemuda tadi ketika gadis imut bersuara cempreng dengan kacamata dan berbehel yang bernama April berjalan menjauhinya.

"Iyaa Jun, kamu juga, semoga sukses move on ya!" Dari kejauhan teriakan cempreng April terdengar jelas oleh Juni.

Juni hanya tersenyum getir, tangan nya membalas lambaian tangan April yang mulai tenggelam di antara kerumunan mahasiswa-mahasiswa baru yang berlalu lalang. Langit akhirnya murka, dengan gagahnya gelegar petir terdengar begitu mencekam menghambur bumi. Rintik air hujan mulai menitik, membasahi bumi yang dingin.

Bayang gadis tadi telah sepenuhnya menghilang, namun aroma tubuhnya masih tercium dengan jelas oleh juni. "Its Hard To Forget Someone Who Gave You So Much To Remember..." Lirih Juni singkat.

Prolog End.

Kotak NostalgiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang