Prolog

126 68 82
                                    

"Oek, oek, oek!" Sayup-sayup suara tangisan bayi terdengar memenuhi seluruh penjuru ruangan bercat putih bersih yang menjadi saksi bisu hadirnya anugerah titipan Allah yang mulia dan belum sama sekali berlumur dosa.

Seorang wanita baru saja melahirkan normal seorang bayi perempuan yang cantik, sehat dan sempurna, yang mempunyai mata bulat menggemaskan seperti boneka.

"Alhamdulillah do'a kita akhirnya terkabul sayang. Anak kita beneran lahir perempuan. Cantik seperti kamu, Liana." ucap laki-laki yang tak lain tak bukan adalah suaminya, laki-laki yang sangat setia mendampingi istrinya dari awal berlangsungnya persalinan hingga berjalan dengan lancar seperti harapannya. Akhirnya penantiannya selama ini tidak berujung sia-sia.

Perempuan yang bernama Liana itu hanya mengangguk, lalu perlahan menatap putrinya yang sudah selesai dimandikan oleh bidan, dan diberikan padanya agar langsung diberikan ASI olehnya.

Sementara sang suami diminta pergi sebentar untuk segera mengurus biaya administrasi diluar.

"Bagaimana mas? Total biayanya berapa?" tanya Liana dengan cemas, saat melihat suaminya kembali masuk ke ruangan menghampirinya.

Restu terdiam, dengan tatapan wajahnya yang terlihat bingung. Hal itu semakin membuat Liana takut. Takut uang persiapannya kurang dan tidak bisa membayar biaya persalinannya.

"Mas, jawab dong!" desak Liana tak sabaran.

Restu akhirnya menyebutkan nominal tak sedikit yang membuat jantung Liana berpacu cepat. Benar, uang persiapannya kurang.

Disitulah kebahagiaan Liana harus terbagi. Ada goresan kesedihan mendalam yang tak bisa ia ungkapkan ditengah kebahagiaan yang hadir menyelimutinya.

"Terus gimana, mas? Tabungan di bank kita udah habis buat belanja keperluan bayi kemarin. Celengan aku juga udah dipecah buat biaya pengobatan kamu waktu sakit kamu kambuh kemarin," ungkap Liana sambil berusaha membendung air matanya yang sudah hendak jatuh.

Sungguh, bernasib menjadi orang tak punya memang sulit. 

Menjadi orang miskin sangatlah sakit.

Kesana-sini dihina, direndahkan, diremehkan. Bahkan untuk sekedar meminjam uang saja pasti tidak akan dipercaya.

"Terus kita mau pinjam uang ke siapa, mas? Ke orangtua? Nggak mungkin, kita udah terlalu banyak nyusahin mereka," ucap Liana mengingat kedua orangtuanya sudah beberapa kali ikut andil menafkahi rumah tangganya, saat suaminya itu tidak bisa bekerja karena sakit-sakitan.

Restu menggeleng lemah. "Maafin aku. Kalau saja aku nggak sakit—"

"Mas, udahlah cukup! Lebih baik sekarang kamu pikirin bagaimana caranya kita membayar administrasi itu!" tegas Liana memotong ucapan suaminya yang terus-menerus menyalahkan penyakitnya itu.

Restu mengangguk. "Akan aku pikirkan dan usahakan."

***

Sudah dua hari semalam Liana menginap di rumah sakit semenjak bersalin. Dan selama itu juga Restu terus berusaha mencari pinjaman uang sana-sini untuk membayar biaya persalinan yang sampai sekarang belum bisa ia bayar.

Restu bingung. Ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi untuk dimintai tolong. Seluruh teman-temannya sudah ia tanyai uang untuk ia pinjam sementara, namun tak ada yang berbaik hati meminjaminya. Sementara orangtua? Restu sudah tidak punya. Orangtuanya sudah meninggal sewaktu dirinya kecil. Dan sekarang Restu benar-benar putus asa.

"Bapak Restu Prajaka, bisa saya bicara sebentar dengan anda!"

Tiba-tiba Restu dipanggil oleh bidan agar menemuinya di ruangan pribadinya. Pasti hendak membahas soal administrasi. Restu benar-benar belum punya uang dan belum bisa melunasi segala biaya persalinan istrinya. Bagaimana ini?

LAVENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang