Lavena menangis histeris dikamarnya, usai para tamunya itu pulang. Lavena tanpa berkata sepatah katapun langsung berlari menuju kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Hingga Mamanya begitu kesulitan ingin masuk dan terus menggedor-gedor pintu kamarnya dari luar. Tapi tak sama sekali dihiraukan oleh Lavena.
Lavena kesal. Ia sedih, marah, kacau, galau dan kecewa.
Bisa-bisanya Mamanya itu membohonginya, jika teman Papanya ingin bertemu dengannya karena ada maksud tertentu?
Bisa-bisanya orangtuanya selama ini diam-diam ikut merencanakan perjodohan itu?
Dan bisa-bisanya orangtuanya hendak menjodohkannya dengan cowok yang tak sama sekali Lavena kenal?
Gila, gila, gila!
Lavena tidak ingin gila sendirian!
"Arrrrgggghhh!!" Lavena membanting berulangkali gulingnya ke atas kasur, sambil terus menangis tak henti-hentinya.
"Vena, buka pintunya! Atau Mama dobrak nih?!" ancam Mamanya dari luar, tapi Lavena tak menggubris.
"Vena, dengerin Mama dulu! Mama mohon, buka dulu pintunya!"
"Apasih, Ma? Gaada yang perlu Mama jelasin lagi, pertunangannya juga udah terlanjur!" teriak Lavena kesal, ingin rasanya memaki-maki Mamanya itu, tapi ia masih ingat dosa. Takut dikata durhaka.
Lavena mengamati sebuah cincin emas berkilau cantik yang bertengger di jari manisnya. Ingin rasanya ia mencabut, lalu membuangnya. Tapi bagaimana? Lavena sudah terlanjur dipaksa bilang 'iya' waktu acara pertunangannya berlangsung tadi.
Dan Lavena ingin menyalahkan siapa? Orangtuanya, atau kebodohannya sendiri?
"Hiks, hiks, Shakara maafin aku," Lavena terus menggumamkan nama Shakara ditengah-tengah tangisannya.
Bagaimanapun juga ia tak terima. Lavena sudah punya Shakara. Lavena itu milik Shakara. Mereka harus paham!
"Gue harus cari cara, sebelum perjodohan ini berlanjut!" gumam Lavena meremat kuat-kuat tangan yang terdapat cincin tak diinginkannya itu.
***
"Vena, kamu harus dengerin Papa. Perjodohan ini bukan sebuah hal tanpa sebab dan alasan, nak!"
Cting!
Lavena membanting garpu di atas piringnya, ketika sarapan pagi itu berlangsung.
Sebenarnya sejak tadi Lavena sudah tidak mood turun untuk melaksanakan sarapan pagi, kalau saja Mamanya tidak memaksa.
Bahkan kini kedua matanya masih terasa bengkak seperti tersengat tawon, akibat menangis tanpa henti semalaman.
"Kalian kenapa sih?! Mutusin ini secara sepihak? Kenapa kalian nggak bilang ke Vena dulu? Kalian mau jodohin aku diam-diam? Kalian pikir itu lucu?!" Lavena tertawa miris sambil menatap nyalang Papa dan Mamanya secara bergantian.
"Papa cuman mau yang terbaik buat kamu, Vena," ujar Papanya dengan sabar.
"Terbaik? Dengan cara maksa aku nerima cowok yang nggak aku kenal?" balas Lavena ngotot.
"Kalian akan segera kenal setelah menikah."
"Sayangnya itu nggak akan pernah terjadi!" tegas Lavena menggebu-gebu. Sulit sekali mengontrol emosi, saat suasana hatinya sedang kacau begini.
"Vena, pelanin suara kamu!" tegur Mamanya yang tak diindahkan olehnya.
"Coba kalo emang ada alesannya. Apa alasan kalian mau jodohin aku? Aku mau tau dan berhak tau!" tekan Lavena dengan nada dingin.

KAMU SEDANG MEMBACA
LAVENA
Teen FictionJodoh itu di tangan Tuhan. Tapi, tidak bisakah manusia merayu Tuhan untuk mengajukan pilihan? Dengan siapa harusnya ia dijodohkan, dengan siapa harusnya ia ditakdirkan. ••• Kisah ini tentang seorang gadis bernama Lavena Mikhaela yang dipaksa dijodoh...