5. Dua minggu lagi?

31 5 1
                                    

Plak.

Satu tamparan mendarat keras di pipi kanan Lavena.

Lavena tidak percaya ini. Dan Lavena tambah tak percaya saat menatap siapa pelaku yang melayangkan kekerasan padanya.

Mamanya.

Wanita yang selama ini sangat menyayanginya, baru pertama kali ini menampar wajahnya. Tanpa Lavena ketahui dimana letak kesalahannya.

Lavena memegangi pipinya yang tertoleh ke kiri, yang kini menjalar terasa panas. Kemudian perlahan mendongak, menatap wajah Mamanya yang tampak buram di bawah temaram cahaya lampu jalan.

Mereka berdua kini berada di depan gerbang rumah. Lavena baru saja pulang diantar oleh Shakara, dan Mamanya tiba-tiba saja keluar dari rumah berjalan menghampirinya, lalu menamparnya seusai kepergian Shakara.

Dan kini Lavena menatap nyalang Mamanya yang tega melakukan itu. Lavena ingin menuntut penjelasan. "Mama kenapa lakuin ini?" tanyanya parau setelah kurang lebih beberapa detik dirinya terdiam.

Bahkan Lavena sudah menahan mati-matian air matanya yang sudah ingin meleleh dari pelupuk matanya.

"Mama nggak akan ngelakuin hal itu jika kamu bermasalah," balas Mamanya dengan raut tenang. Seolah tak merasa bersalah sedikitpun dengan apa yang telah diperbuatnya.

Sungguh, ini bukan Mamanya yang Lavena kenal.

Sekeras-kerasnya perilaku sang Mama, sepedas-pedasnya ucapan sang Mama, tidak akan pernah sampai Mamanya itu berbuat sejauh ini. Bolehkah Lavena merasa janggal?

"Maksud Mama?"

"Sudah Mama perhatikan berulangkali, sudah Mama diamkan berulangkali, tapi kamu tetap mengulang hal yang sama berkali-kali Lavena!" ujar Mamanya dingin.

"Aku nggak ngerti apa yang Mama omongin!" balas Lavena tak kalah dingin.

"Coba lihat jam di hp-mu!" Lavena menuruti ucapan Mamanya, menatap layar ponselnya sebentar, lalu memasukannya ke dalam tasnya.

"Jam berapa?" desak Mamanya.

"Jam sepuluh."

Mamanya mengangguk membenarkan. "Kamu tau kenapa Mama marah? Kamu tau kenapa Mama tega nampar kamu? Kamu pasti nggak akan tau betapa khawatirnya hati seorang Ibu saat putri kesayangan satu-satunya yang masih perawan menjadi urakan dan pulang larut malam. Apalagi dengan seorang laki-laki yang belum mahram!"

Gleg.

Bagai tertampar sebuah kenyataan. Sungguh, yang ini jauh lebih sakit daripada tamparan tadi.

"Ini salah satu alasan Mama ikut menyetujui keputusan Papa kamu yang mau menjodohkan kamu!"

"Selama ini Mama hanya diam saja menontoni kalian. Tapi semakin kesini, Mama semakin nggak cocok sama gaya pacaran kalian," ungkap Mamanya membuat Lavena mengerutkan kening.

"Maksud Mama apa ngomong kayak gitu?"

"Laki-laki itu semakin terlihat nggak baik buat kamu, Vena. Apa kamu nggak sadar, hah?" bentak Mamanya sambil menggoyang-goyangkan pundak Lavena.

"Maksud Mama Shakara?" tanya Lavena mendongak memastikan.

"Siapa lagi memangnya? Bukankah cuman dia yang selalu memulangkan kamu larut-larut begini? Sementara kalian sudah keluar sejak pagi. Sebenarnya tau batasan waktu atau enggak? Kalau laki-laki baik pasti akan menjaga perempuannya, bukan malah merusak!" ucap Mamanya sambil menghela napas panjang.

"Stop, Ma! Mama kenapasih?! Kenapa malah nyalahin Shakara? Dan, merusak? Maksud Mama merusak apa? Vena dari dulu sampai sekarang masih utuh kok. Selama pacaran dua tahun Shakara juga nggak pernah aneh-aneh sama aku!" tegas Lavena jujur. Shakara memang tidak pernah menyentuh Lavena lebih, paling hanya memeluk, menggenggam, merangkul dan mencium, itu sudah mentok, tidak sampai ke hal-hal lain lagi.

LAVENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang