Layaknya rutinitas hari libur biasanya, pukul delapan pagi Lavena masih terlelap nyenyak dibawah selimut tebal yang melilit tubuhnya dari leher hingga ujung kaki, nyaris seperti kepompong.
"Astaghfirullah anak gadis! Udah siang kok masih tidur. Bangun, bangun hei! Banguuunn!" Dengan teramat tidak santai seseorang masuk ke kamar Lavena, lalu membangunkan gadis itu dari tidur ternyamannya. Menyibak kasar selimut tebalnya, hingga Lavena terusik karena kehangatan yang membungkusnya serasa terhempas.
"Hoaammm... selimutkuu... dingin... " racau Lavena masih dengan mata terpejam. Tubuhnya menggeliat mencari kehangatan lain pada guling yang dirangkulnya erat.
"Malah tidur lagi, ck, ck, ck."
"LAVENA MIKHAELA, BANGUN ATAU MAMA POTONG JATAH UANG KAMU?!"
Dengan kedua mata yang melebar, Lavena langsung bangun terduduk. Meski kesadaran belum mengambil alih nyawanya secara sempurna, Lavena memaksa mengucek-ucek kedua matanya.
Mendengar ancaman yang menyangkut soal uang Lavena langsung melek.
Bukan karena apa-apa, tapi karena Lavena memang mata duitan. Ya, Lavena akui itu.
Baginya, tidak ada uang, maka tidak bisa jajan.
"Udah mau jadi istri orang bukannya latihan bangun pagi, malah bangun makin siang kamu ini, huh?" omel Mamanya sambil melipat selimutnya di atas kasur.
Lavena mendelik ke arah Mamanya. Baru bangun dirinya sudah diingatkan oleh pernyataan pahit. Akan jadi apa hari-hari Lavena jika sampai pernyataan itu menjadi sebuah kenyataan?
"Apaansih, Ma?! Istri-istri!" cibir Lavena sambil memonyongkan bibirnya menye-menye. Siapa coba yang mau jadi istri orang?
Lavena maunya jadi istri malaikat aja.
Malaikat tak bersayap maksudnya. Shakara contohnya.
"Ya kan bener, bentar lagi kamu itu jadi istri orang! Latihan bangun pagi, sholat, masakin suami, siapin keperluan suami, beres-beres rumah! Nggak selamanya kamu itu bergantung sama Mama! Kamu itu udah besar, udah dewasa!"
Lavena melongo mendengar wejangan dari sang Mama. Pagi-pagi sudah dikasih sarapan wejangan, bagaimana menurut kalian?
"Nih, ambil!" Usai membereskan selimut dan merapihkan seprei kasurnya, Mamanya tiba-tiba mengambil sapu ijuk di pojok kamar, lalu menyerahkannya ke Lavena yang masih plonga-plongo.
"Hah?"
"Beresin sendiri kamar kamu yang berantakan ini. Lihat! Sampah tisu dibuang sembarangan, udah kayak kapal pecah ini kamar. Ck, ck, ck," decak Mamanya sambil menunjuk ke arah beberapa sampah tisu yang bertebaran di lantai.
Lavena meringis ikut melihat. Ulahnya sendiri memang. Itu tisu bekas lap air mata sama lap ingus waktu menangis kemarin malam yang tidak sengaja Lavena buang asal-asalan.
"Terus ini maksudnya aku yang disuruh nyapu?" tanya Lavena memastikan, sembari menatap sapu di tangannya tanpa minat.
Tanpa ragu, Mamanya mengangguk mantap. "Iya. Memangnya mau siapa lagi?"
Lavena mendengus. "Kan ada Bi Iyem," protesnya menyebut nama pembantunya.
"No! Latihan ngerjain tugas rumah sendiri. Mulai sekarang beberes kamar sama nyuci baju kamu itu ya kamu sendiri! Bi Iyem khusus bersih-bersih lantai bawah," putus Mamanya mutlak.
WTF?
"Itung-itung latihan jadi istri yang baik!"
"Maaaaaa..." rengek Lavena sambil memukul-mukulkan sapunya ke atas lantai. "Vena baru bangun loh! Belum cuci muka," ucapnya beralasan.

KAMU SEDANG MEMBACA
LAVENA
Teen FictionJodoh itu di tangan Tuhan. Tapi, tidak bisakah manusia merayu Tuhan untuk mengajukan pilihan? Dengan siapa harusnya ia dijodohkan, dengan siapa harusnya ia ditakdirkan. ••• Kisah ini tentang seorang gadis bernama Lavena Mikhaela yang dipaksa dijodoh...