Di ujung jalan yang sunyi, terhampar sebuah rumah megah dengan nuansa tradisional Jawa yang kental. Arsitektur rumah itu dipenuhi oleh detail-detail ukiran halus dan ornamen klasik yang menghiasi setiap jengkal dindingnya.
Sebuah gerbang besar menjulang tinggi, menyambut langkah beratku saat memasuki rumah tersebut. Namun, meskipun terlihat megah dari luar, bagiku rumah itu hanya seperti istana yang ditinggalkan, terabaikan dan terasingkan oleh waktu.
Aku membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah. Aroma sepi langsung menusuk hidung saat melewati meja makan yang terlupakan, dengan kursi-kursi kosong yang kehilangan hangatnya. Di setiap langkah yang kuambil, kesendirian yang menyelimuti rumah ini semakin terasa nyata.
Hingga pada akhirnya, langkah ini membawaku ke depan pintu kamarku sendiri. Perlahan, ku buka pintu itu dan masuk ke dalamnya. Ku nyalakan lampu, lalu berjalan ke tepi ranjang.
Aku duduk sendirian di pinggir ranjang kamar ku yang redup, di mana cahaya lampu yang remang hanya menyoroti sebagian kecil dari ruangan yang berantakan ini. Di atas meja, ada sebuah kue lengkap dengan lilin-lilin yang menyala. Tepat di sebelah kue itu, ada selembar kertas.
"Selamat ulang tahun, Frinza ...," lirihku membaca surat tersebut, terbesit senyum tipis di bibirku. Sejenak aku tenggelam di dalam lamunan, lalu menghela napas. "Yaaa ... seenggaknya gua masih punya diri gua sendiri, kan?"
Ruangan ini hanya diisi oleh gelak sunyi yang terasa menyakitkan, dan hening yang merupakan bentuk ilustrasi dari kekosongan. Aku menatap ke dalam kegelapan di pojok ruangan, mencari jawaban yang tidak kunjung datang itu. Dalam kesendirian yang mengeroyok, aku merasakan dingin yang semakin mengoyak. Meskipun aku mencoba menutupinya dengan senyum, kekosongan di dalam hatiku terasa semakin dalam. Rasanya seperti kehilangan dan tidak punya kesempatan untuk menemukan.
Pada satu titik, aku berdiri dari pinggir ranjang dan melangkah ke jendela, menyaksikan kota yang sibuk di luar sana, di mana kehidupan terus berjalan tanpa peduli akan kesendirianku.
Bagiku ... kesepian adalah bukti bahwa hati manusia masih merindukan sesuatu yang tak tergantikan. Ia menjadi pengingat akan ruang-ruang kosong dalam jiwa yang tak bisa diisi hanya dengan kehadiran belaka. Lebih dari itu, kesepian adalah bukti bahwa kita pernah memiliki sesuatu yang berharga, yang mungkin kini tinggal kenangan. Mengingatkan kita akan kebahagiaan yang pernah ada, mengajarkan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk yang selalu mencari, dan tak pernah puas dalam keterasingan.
Di saat sedang memikirkan banyak hal, tiba-tiba terdengar gerombolan suara knalpot motor sember di luar rumah, tepatnya dari arah halaman depan.
Aku terkekeh. "Mikir apa sih."
Ku tiup lilin-lilin di atas kue, lalu berjalan ke arah pintu, mengambil jaket varsity Burn Wheeler yang tergantung di sana. Segera, kedua kakiku melangkah keluar dari istana yang hampa ini, pergi ke tempat di mana kesepian tak pernah merajai.
.
.
.
Ciao, Readers!
Sajian Frinza ini adalah series Tetralogi kedua dari Martawangsa Brotherhood setelah judul Dirga.
Entah ya, minat di dunia tulis ini agak memudar, jadi butuh something yang fresh dan moody aja, sebelum lanjut ke series-series yang terbengkalai cukup lama. Ibarat kata pemanasan lagi. Nyari ritme biar bisa konsisten lagi. Semoga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Frinza
Teen FictionMencari perhatian agar diperhatikan, ialah Frinza, anak kedua dari keluarga Martawangsa. Setelah kematian Ibu dan menghilangnya kedua adik kembarnya membuat keseharian Frinza berubah. Menceritakan kehidupan Frinza Martawangsa ketika duduk di bangku...