1 : Perkenalan

71 14 4
                                    

Jakarta, 2005.

"Ibu!"

Anak lelaki usia SMA itu terbangun dari mimpi buruknya. Kini ia terduduk di ranjang dengan napas terengah-engah.

Kejadian tahun lalu masih terbayang-bayang di dasar pikirannya, ketika ibunya meninggal dunia dan kedua adik kecilnya pergi dari rumah, hilang entah ke mana. Kini semua tak lagi sama. Keseharian yang manis itu telah berakhir, menjelma pahit yang teramat pekat.

Frinza beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah baru setelah pindah. Begitu keluar dari kamar, ruang tengah yang sepi menyambutnya dengan keheningan. Pemuda itu berjalan ke meja makan yang menyatu dengan dapur, setidaknya di tempat itu ada satu orang.

"Mandi sana, habis itu sarapan," ucap seorang pria kurus yang sedang membalik telur ceplok dengan satu tangan, sementara satu tangannya memegang rokok.

"Ayah mana?" tanya Frinza.

"Semalem udah berangkat ke luar kota," jawab pria itu.

"Gemma?"

"Udah berangkat ke kampus lima belas menit lalu."

Frinza memicing. "Lah, pagi banget?"

"Ada urusan katanya."

Pria itu berjalan ke meja makan, menghampiri Frinza membawa sepiring nasi goreng telur.

"Nasi goreng lagi, Win?" tanya Frinza.

Edwin merupakan tangan kanan Broto, ayah Frinza, yang ditugaskan untuk menjadi guru bela diri anak-anaknya. Namun, setelah kematian Dinda, ibunda Frinza, Edwin mengambil tugas mengurus anak-anak dari keluarga Martawangsa.

Pria itu terdiam sejenak. "Sewa koki restoran kalo mau makan steak."

Frinza menghela napas, lalu meraih piring tersebut dan dengan lahap menghabiskan nasi goreng buatan Edwin.

***

Mobil Toyota Fortuner hitam itu kini berada di tengah hiruk-pikuk Jakarta, terperangkap dalam kemacetan. Edwin melirik Frinza dari kaca depan mobil.

"Et, lama bener," keluh Frinza.

"Makanya, besok siap lebih pagi lagi kalo enggak mau kena macet," ucap Edwin.

Frinza tiba-tiba membuka sabuk pengaman, sambil melirik kaca spion kiri. Ia membuka pintu dan turun dari mobil.

"Woy! Mau ke mana?" tanya Edwin.

"Males dicap anak mami, gua jalan aja. Lama juga abisan, cepetan jalan kaki!" balas Frinza.

Jarak antara rumah dan sekolah barunya sebenarnya relatif dekat, Frinza bukan anak lemah yang bergantung pada orang lain. Ia pun lebih suka menyendiri semenjak kematian ibunya, jadi daripada diantar Edwin, ia lebih suka berangkat dan pulang sendiri sebenarnya.

Kini anak lelaki berseragam SMA itu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di trotoar pinggir jalan, membaur dengan anak-anak lainnya. Frinza mengenakan seragam putih dengan kancing kerah tertutup sempurna, seragamnya masuk ke dalam celana abu-abu yang ia kenakan, dibelenggu ikat pinggang hitam yang rapi. Ia terlihat culun dengan rambut hitam dicukur pendek rapi, ditambah senyum ramah yang menyapa semua orang di jalan. Namun, bukannya terkesan ramah, ia justru seolah memancing untuk dipalak anak-anak berandalan.

Di kakinya, Frinza mengenakan sepatu sekolah model loafers berwarna hitam yang populer di kalangan pelajar. Sepatu tersebut bersih dan mengkilap.

"Selamat pagi, Pak, mau tanya kelas sebelas IPS tiga itu di mana, ya?" tanya Frinza pada satpam sekolah yang berdiri di pos, samping gerbang.

FrinzaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang