Puja yang menggambarkan kekaguman tak jarang ia dengar, ungkapan yang menyatakan mereka iri akan kehidupannya sudah menjadi makanan sehari-hari pemuda dengan manik safir itu.
'Aku iri sekali padamu Fan, aku juga ingin punya saudara seperti saudara-saudara mu itu'
'Hubungan persaudaraan mereka memang tak diragukan lagi'
'Fan ayo bertukar saudara!'
Omong kosong!
Andai mereka tau suasana rumahnya, mungkin tak akan ada setitik niat pun bagi mereka untuk menjadi bagian dari rumah itu.Tak ada kehangatan dalam rumah itu, semuanya dingin. Persaudaraan yang digadang-gadang itu sama sekali tak ada artinya.
Dingin yang menusuk kulitnya tak ia hiraukan, malam ini angin memang bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya, mungkin hujan akan segera turun. Meski begitu, Taufan tak ada niatan untuk masuk ke dalam kamarnya, ia masih setia berdiri di balkon kamarnya sambil memandangi langit malam yang polos tak bertabur bintang.
"Ayah, bunda...Taufan rindu, Taufan harap ayah dan bunda tak kecewa melihat kita kayak gini" Bibirnya tersenyum getir, memang orang tua mana yang tak kecewa kalau melihat anak-anaknya bahkan membenci satu sama lain?.
Manik safir itu terlihat berkilau, entah memang karena cahaya malam atau karena air mata yang siap membasahi pipinya.
Braak!
Taufan tersentak, bunyi pintu yang dibanting tadi sepertinya berasal dari sebelah kamarnya, kamar milik sang sulung Halilintar.
"Kak Hali sadar nggak sih sama peran kakak? Kak Hali itu sulung, setidaknya kasih contoh yang baik buat adek-adek!" Suara Gempa yang setengah berteriak terdengar.
"Hah...mulai lagi" Taufan segera menghampiri mereka, ia harus melerai saudaranya atau mereka akan adu mulut sampai mentari kembali terbit.
"Aku males debat sama kamu Gem, minggir aku mau istirahat"
"Sampai kapan kak Hali mau begini? Pulang larut malem nggak jelas!"
"Diam kamu Gem, kamu nggak tau apa-apa!"
"Gimana aku mau diem, kak Hali seolah lepas tanggung jawab, kak Hali seolah nggak mau urus adek-adek!"
"KALIAN UDAH GEDE, KALAU MEMANG AKU LEPAS TANGGUNG JAWAB UDAH LAMA AKU PERGI TINGGALIN KALIAN"
Napas Halilintar memburu, maniknya jelas menyimpan beribu emosi yang siap meledak saat ini juga.
"Kak Hali emang egois"
"Egois? Apa bedanya sama kamu Gem, kamu pikir kamu udah ngelakuin yang terbaik buat adek-adek?. Kamu cuma manusia yang haus validasi Gem, kamu nggak pernah benar-benar peduli sama mereka kan? kamu cuma mau dapat tittle 'Saudara idaman' dari orang-orang–
Kamu bahkan iri sama solar yang digadang-gadang sebagai murid jenius, makanya kamu berusaha buat kalahin dia diakademik kan?"
Raut wajah Gempa mengeras, tak terima dengan segala pernyataan yang Halilintar lontarkan, tapi sayangnya Gempa sendiri mengakui kalau semua itu adalah fakta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ambang Karam [end]
Fiksi PenggemarMereka renggang, tenggelam dalam keegoisan.