Hai semuanyaa, ini cerita ketiga dari aku dan aku berharap sekali cerita ini bisa kalian sukai. Selamat membaca semuanya!
.
.
.
Bandung, 17 Desember 2022 di aula Sma Dharmawangsa pukul 12.45 WIB.Hanin terkesiap.
Namanya baru saja dipanggil oleh pembawa acara pembagian rapot hari ini dalam kategori ranking paralel 3. Dia menghela napas panjang, lagi-lagi Hanin harus dihantam rasa kecewa yang begitu dalam. Lalu gadis itu lantas maju ke panggung aula diiringi dengan suara riuh tepukan tangan dan sorakan.
Ya Tuhan! Hanin mau nangis. Liat aja tuh matanya yang udah berkaca-kaca, siapapun tolong cegah Hanin nangis karena kalau tidak dicegah tuh airmata bisa dipake buat ngepel seluruh lantai SMA Dharmawangsa.
Dan bala bantuan itu datang. Persis seperti adegan di film-film saat tokoh utama memerlukan bantuan disitulah muncul pahlawan bertopeng yang rela bertaruh nyawa untuk menolong tokoh utama. Tapi bedanya pahlawan yang satu ini tidak memakai topeng.
Nama Sancaka Yudhistiro—teman terbaik Hanin, dipanggil di kategori ranking paralel 1. Dengan wajah berseri-seri Sancaka maju ke podium dan berdiri tepat disamping Hanin karena tipe podiumnya memang ranking 1 yang berdiri ditengah ranking 2 dan ranking 3.
Sancaka menyenggol lengan Hanin dan membuat gadis itu menoleh saat pembawa acara masih asik berceloteh bersama Bapak Kepsek.
"Gapapa, Hanin," ucap Sancaka tanpa suara lalu beralih menggamit jari jemari Hanin. Berusaha menenangkan dan Hanin pun membalas gamitan tangan Sancaka. Baginya itu terasa nyaman.
Sancaka memang begitu orangnya. Dia benci sekali jika harus melihat Hanin kecewa. Bukan apa, Sancaka hanya tidak mau Hanin merasakan rasa sedih itu sendirian. Bahkan, untuk sekarang pun Sancaka tak peduli dengan tatapan mata penonton yang memberi atensi penuh pada genggaman tangan mereka.
Setelah sesi pembagian hadiah dan sesi foto berakhir para penerima ranking bubar jalan, apalagi Hanin yang buru-buru lari meninggalkan podium dan pergi entah kemana.
Sancaka yang tadi tengah diajak berswafoto bersama Bapak Kepsek dan para petinggi SMA Dharmawangsa kini kehilangan jejak. Matanya menyoroti setiap sudut aula berharap menemukan orang yang dicarinya. Nihil. Lalu karena tak kunjung menemukan Hanin dia bergegas mencari Bella yang merupakan teman terdekat Hanin, mencoba bertanya mana tau dia tau dimana Hanin sekarang.
"Lo ada liat Hanin gak, Bel?" tanya Sancaka.
"Oh tadi dia bilang mau ke kamar mandi, nih piala dia gue yang pegang," jawab Bella sambil mengangkat piala yang dimaksud lebih tinggi. Memutus percakapan mereka berdua siang itu.
Setengah berlari Sancaka menuju kamar mandi perempuan berharap Hanin masih ada disana. Tapi karena Sancaka gak mungkin masuk kedalam jadinya dia cuma nunggu dipintu keluar sambil menirukan gaya yang konon adalah gaya terkeren kaum adam. Memasukkan tangan kedalam kantong.
Lima menit kemudian akhirnya Hanin pun keluar dari kamar mandi setelah menenangkan dirinya beberapa saat dan langkahnya terpaksa terhenti ketika Sancaka mencegatnya didepan pintu keluar.
"Mau apa lo?" tanya Hanin. Suaranya terdengar parau. Dia sedih sekali.
Tanpa mengatakan sepatah apapun tangan Sancaka terulur menarik tubuh Hanin kedalam pelukannya. Membuat Hanin sedikit terkejut.
"Gue gak suka liat lo begini, Nin," kata Sancaka disertai dengan elusan lembut dikepala.
Hening. Air mata yang sedari tadi sudah berhenti kini harus tumpah lagi. Untuk kesekian kalinya Hanin harus menangis lagi dalam pelukan Sancaka.
"Nangis itu manusiawi, Nin. Nangis sepuas lo didepan gue."
Mendengar perkataan barusan membuat Hanin melepaskan pelukan Sancaka karena 1.) Hanin gengsi banget buat nunjukin semuanya ke Sancaka 2.) Ini masih jam sekolah, bisa gawat kalau ada guru yang liat.
"Loh, kenapa, Nin?" Sancaka bertanya dengan kening berkerut usai Hanin melepas pelukannya.
Hanin memutar bola matanya malas lantas memukul lengan Sancaka menggunakan rapot yang sejak tadi dia pegang dan membuat si empu mengaduh kesakitan.
Halah, gak.mungkin gitu doang sakit. Sancaka emang dramaking banget, ya?
"Itu mah akal-akalan lo doang supaya bisa liat muka jelek gue, yakan?" gerutu Hanin.
"Dih kepedean lo! Gue gak demen liat muka jelek lo!" sanggah Sancaka sambil menarik rambut Hanin. Usil.
"Masa sih? Karena orang kayak lo kan hobi banget liat orang lain sengsara," ucap Hanin sambil menepis tangan Sancaka dari rambutnya.
Tapi Sancaka hanya diam dan tersenyum kecil. Membiarkan Hanin tenggelam dalam opininya sendiri selama gadis itu merasa senang. Sancaka membiarkannya.
Begitulah, Hanin yang selalu saja menangis saat apa yang diharapkannya tidak terjadi. Memang Hanin tak pernah sedikitpun terpikir untuk menyalip posisi Sancaka karena ranking 1 itu sudah menjadi jatah seumur hidup Sancaka di Sma Dharmawangsa. Yang menjadi puncak masalahnya sekarang adalah Hanin yang selalu gagal untuk menyalip si ranking 2 dari kelas XI MIA 1 yang membuat Hanin merasa begitu kecewa disetiap semesternya.
Sisi baiknya, Sancaka selalu bersama Hanin. Setidaknya bisa mengobati rasa sedih Hanin rasakan. Apapun yang Sancaka lakukan seolah menjadi alat penenang bagi Hanin dan Sancaka berharap bisa selamanya menjadi teman dan salah satu bagian penting dari hidup seorang Hanindya Danurdara.
Aamiin.
.
.
.
.Hello hello helloo! Gimana nih prolognya? pada suka gak ya?? Ya, aku berharap banget kalian suka sama ini. See you in next chapter ya!
Jangan lupa untuk memberi vote, komen dan follow. Baca juga cerita-cerita menarik lainnya dari Adiwarna Jiva (Jerkharian : Hingga Akhir Waktu) dan (Tetangga Masa Pacaran?!)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bandung Kala Itu
Novela JuvenilBandung melihat segalanya. Bandung menjadi saksi bisu dari kisah Sancaka dan Hanindya. ❝Seburuk apapun kenangannya jangan pernah lupakan Bandung. Kita sudah melewati banyak hal disini.❞ - Sancaka Yudhistiro Novel yang mengisahkan tentang masa puti...