Chapter 1

2.4K 199 4
                                    

Mahendra Sanjaya
Bin
Dirman Sanjaya
Lahir: 2 Agustus 1996
Wafat: 27 Desember 2023

Angga menaruh sebuket bunga lily di atas gundukan pasir yang ditumbuhi rerumputan hijau segar. Ia tersenyum simpul, mengusap bagian ujung atas batu nisan bertuliskan nama dari mantan tunangannya yang telah lama berpulang.

Dalam satu tarikan napas, Angga berusaha untuk tidak menitikkan air mata. Selalunya begitu. Setiap berkunjung ke makam mendiang sang tunangan, Angga senantiasa tak kuasa menahan tangis. Lara di lubuk hatinya masih membekas perih, sampai-sampai Angga pernah masuk rumah sakit beberapa kali lantaran terlalu banyak pikiran, ditambah lagi menangis setiap waktu, hingga jam tidurnya yang kacau.

Papa Jay dan Daddy Johan tidak bisa berbuat gegabah untuk memaksa Angga untuk melupakan Mahen. Kehilangan orang terpenting dalam hidup adalah sesuatu yang paling menyakitkan, apalagi kalau untuk selama-lamanya.

"Aku ngikutin jejak mas Mahen, lho. Jadi dosen bahasa dan sastra inggris, walau agak telat lulusnya, hehe." Angga menggigit bibir bawahnya dengan kuat merasakan gejolak kesedihannya akan datang.

"Sepi, Mas, nggak kayak dulu. Aku kangen banget sama mas Mahen, kangen suaranya mas Mahen, kangen afeksinya mas Mahen, pengen bisa peluk terus kayak dulu. Waktu badmood selalu ada mas Mahen yang dengan sabar ngehadepin sikap aku, tapi sekarang aku bikin Daddy Jo dan Papa Jay yang stres, sampai-sampai aku mau coret dari kartu keluarga."

"Percaya nggak sih, Mas, kalau aku sampai sekarang belum sejago niatku dulu waktu masih jadi tunangannya Mas Mahen karena kepengen bisa jago masak? Tapi aku bisa banyak hal kok."

"Iya, banyak hal buat ngerusuhin Papa Jay lagi masak," sahut seseorang dari belakang Angga. Pemuda manis itu lantas menoleh dengan ekspresi sinis.

"Apaan sih, kamu itu nggak diajak!" protesnya kembali menghadap ke arah nisan mantan tunangannya.

Haikal, pemuda yang merupakan sepupu Angga tersebut menghela napas. Tanpa aba-aba Ia menarik pergelangan Angga hingga membuat empunya berdiri.

"Buruan berangkat, nanti kamu telat, Anggara! First time mengajar, kasih harapan yang bagus, senyum gitu misalnya. Jangan nangis-nangis mulu sambil ngurung diri di kamar!" ucap Haikal menasehati.

Angga berdehem cuek. Ia kemudian menoleh ke belakang, bersitatap lagi pada makam mendiang sang tunangan. "Yaudah, ayo, berangkat," ucap Angga memutuskan. Dia berjalan duluan, mendahului Haikal yang sedang mengelus dadanya sabar.

"Orang ganteng harus sabar biar tambah ganteng," gumamnya narsis. Haikal pun menyusul Angga yang sudah jauh berada di depannya.


Setibanya, Angga pun keluar dari dalam mobil diikuti oleh Haikal. Angga memandangi kampus tempatnya menuntut ilmu dulu dan tempat di mana Ia bertemu pertama kali dengan Mahen. Rasanya sudah begitu lama sejak Ia tidak kembali, meski hanya beberapa bulan selepas Angga keluar dari rumah sakit karena kesehatan tubuhnya drop lagi.

"Makasih, Kal. Titipin salam aku buat Raihan dan Natan, bilang kalau aku kangen. Nggak asyik kalo terus-terusan chat di grup tapi nggak bisa ketemu secara langsung."

"Hm, iya-iya. Yaudah, semangat buat hari pertama, kamu harus bangkit dari keterpurukan. Kalau ada apa-apa, segera telepon aku secepatnya. Aku pulang dulu." Haikal menepuk bahu Angga sekali sebelum akhirnya masuk ke dalam mobilnya. Meninggalkan area kampus bersama dengan Jeno yang berusaha tegar dan kuat.

Pak AnggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang