"Maaf, Pak, Bu, ini ada apa ya ramai-ramai?" Tanya Bu Kanti
Seorang anak laki-laki tergeletak tak berdaya di tengah jalan. Sungguh malang nasib anak itu. Sepertinya anak itu dibuang dari dalam mobil tak dikenal setelah disiksa. Badannya dipenuhi banyak darah. Bu Kanti tidak tega melihat anak itu, dan berinisiatif untuk menelpon ambulans dan membawa anak tersebut ke rumah sakit.
"Bagaimana kondisinya Dok?" Tanya bu Kanti gelisah.
Dokter hanya diam.
**Hari Jumat di kelas F**
Sudah 3 hari berlalu, kelas F hanya belajar secara mandiri.
Budi: Guys, apa gunanya kita masih datang ke sekolah kalau gini terus, nggak ada guru yang ngajar?
Hence: Udahlah, Budi, ngapain ko ribut terus tentang guru yang tra datang. Toh Lagian, nggak cuma di sini saja guru sering bolos.
Siska: Betul juga sih. Kan yang penting, kita tetep ada di sini, udah cukup buat nunjukin kalo kita mau belajar.
Budi: Tapi kan... Gak ada yang curiga gitu?
Hence: Sudah, jang bahas aneh-aneh trus. Lagian, kalo nggak ada guru, kita bisa main game atau ngobrol-ngobrol kayak gini, nggak pusing mikirin pelajaran.
Drian: ...
Siska: Lihat, Drian aja kayaknya setuju sama ideku.
Cyntia: Kayaknya kita semua gak ada yang keberatan, nggak ada yang ngeluh lagi kan?
Budi: Ya, mungkin kalian ada benernya juga sih. Daripada pusing mikirin guru, mending kita nikmatin aja waktu di sini.
Hence: Sioo akhirnya, Budi paham juga! Sudahlah, mari kitorang nikmati hari di kelas tanpa pikiran negatif.
Saat Hence selesai bicara, tiba-tiba pot bunga di meja guru jatuh ke lantai. Semuanya terkejut, karena tidak ada siapa-siapa di depan (meja guru).
Drian bergegas ke depan melihat sekitar tempat pot bunga tersebut terjatuh. Saat ingin membersihkan pecahan pot bunga yang terbuat dari kaca, Cyntia menghampiri Drian untuk membantunya.
Cyntia dan Drian berdiri di depan meja guru, tangan mereka berdua bergerak bersama-sama untuk mengambil pecahan kaca pot bunga yang berserakan. Saat tangan mereka menyentuh, mata mereka saling menatap satu sama lain dalam sekejap, terperangah dengan momen yang membuat keduanya menjadi canggung.
Drian dan Cyntia merasa canggung saat tangan mereka bersentuhan, namun mereka mencoba untuk tetap tenang. Cyntia dengan lembut berkata, "Biarkan aku membantu membersihkan pecahan kaca ini, Drian."
Drian mengangguk, sembari mengingatkan, "Pastikan kau hati-hati, Cyntia. Pecahan kacanya bisa..."
Sebelum Drian sempat menyelesaikan kalimatnya, salah satu pecahan kaca itu jatuh dari tangannya saat Cyntia mencoba mengambilnya dengan tergesa-gesa. "Ahh!" serunya pelan, sambil merenggangkan jari tangannya yang terluka.
Dengan cepat, Drian menjangkau tangannya untuk ihat tangan Cyntia yang terluka. Mata mereka bertemu lagi, dan dalam sekejap itu, Cyntia seperti terdampar pada kenangan masa lalu. Dia mendadak teringat saat mengantar almarhumah ibunya mengantar seorang anak laki-laki yang terluka ke rumah sakit.
"Kamu baik-baik saja, Cyntia?" tanya Drian, menyadari perubahan ekspresi di wajah Cyntia.
Cyntia tersadar dari lamunan kilatnya, lalu mengangguk dengan cepat. "Iya, Drian. Terima kasih, aku baik-baik saja," jawabnya, mencoba menyembunyikan keraguannya.
Drian merasa bersalah melihat tangan Cyntia yang terluka, merasa bertanggung jawab atas kejadian itu. "Maafkan aku, Cyntia. Seharusnya aku yang membersihkan pecahan kaca itu," ucapnya dengan nada menyesal.
Cyntia tersenyum lembut, mencoba menenangkan Drian. "Tidak apa-apa, Drian. Ini hanya sedikit tergores pada jariku, tidak perlu khawatir," jawabnya sambil mencoba menyembunyikan rasa sakitnya.
Tiba-tiba, jam berbunyi, menandakan bahwa sudah pukul 6 magrib dan kelas F berhak untuk beristirahat. Drian bersikeras, "Biarkan aku saja yang membersihkan pecahan pot tersebut, Cyntia. Aku yang tidak hati-hati."
Suasana menjadi agak tenang, dan Siska tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda. "Nampaknya ada yang saling memandang dengan penuh cinta di antara kita," godanya, membuat Cyntia tersipu malu.
"Iya... iya... hanya kalian berdua aja yang boleh berbicara, kita bertiga (bersama Budi dan Hence) hanya jadi penonton," sambungnya sambil tertawa kecil, menciptakan sedikit kelegaan dalam keheningan kelas.
Drian yang biasa menutup diri kini mulai terbuka ke teman-teman kelasnya, tetapi ekspresinya tiba-tiba serius. "Tapi, Cyntia, kamu harus tahu bahwa ketika waktu sudah menunjukkan jam 6 magrib, kelas F akan berubah. Itu adalah waktu ketika roh jahat suka muncul di sekitar kelas ini," katanya dengan suara serius.
Cyntia terkejut mendengarnya, matanya memperbesar. "Roh jahat?" gumamnya, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan Drian.
Drian mengangguk, wajahnya masih serius. "Ya, roh jahat. Jadi, lebih baik kita semua tetap waspada dan jangan tinggal sendirian atau melamun di sini saat waktu sudah menjelang magrib," tambahnya dengan nada berat.
Cyntia memperhatikan Drian dengan tatapan bingung. "Tapi bagaimana kamu tahu tentang roh jahat itu, Drian?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba memahami apa yang baru saja dia dengar.
Drian melihat ke arah Cyntia dengan ekspresi serius. "Aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang pada umumnya, Cyntia," katanya perlahan, seolah-olah merasa perlu menjelaskan.
"Kamu punya kemampuan khusus? Kamu Indigo?" tanya Cyntia dengan rasa ingin tahu yang terpantul di matanya.
Drian mengangguk. "Entahlah, sesuatu yang seperti itu. Aku tidak tahu pasti bagaimana atau mengapa, tapi aku bisa merasakan kehadiran mereka," ujarnya sambil menatap ke arah langit-langit kelas, seakan-akan mencoba menyelami ingatannya.
Cyntia memperhatikan Drian dengan penuh rasa ingin tahu. "Apakah kamu tidak takut?" katanya dengan nada penuh perhatian.
Dengan senyum tipis, Drian mengangguk. "Ya, kadang-kadang aku biasa saja. Tapi terkadang juga cukup menakutkan," tambahnya dengan serius.
Saat mereka berdua sedang terlibat dalam percakapan yang serius, Siska tiba-tiba menyela dengan riang. "Hei, kalian berdua, jangan berduaan terus! Nanti kalian membuat yang lain merasa cemburu," godanya sambil tertawa.
Cyntia tersenyum malu. Namun, percakapan mereka tadi masih menggantung di pikiran Cyntia, membuatnya semakin penasaran dengan dunia yang mungkin bisa dilihat oleh Drian. Saat ini, hanya Cyntia seorang yang mengetahui kemampuan Drian tersebut.
Siska berinisiatif mengambil perban dari tasnya untuk mengobati luka di tangan Cyntia, tanpa menyadari bahwa luka itu sudah diobati. "Nah, biar aku bantu perbanin lukamu, Cyntia," ucapnya sambil tersenyum ramah.
Namun, sebelum Siska melanjutkan, Cyntia memperhatikan bahwa luka di tangannya sudah tertutup dengan plester. Dia sedikit terkejut dan memperlihatkan ekspresi heran. "Eh, ini... sepertinya sudah diobati," ucap Cyntia dengan bingung.
Siska yang mendengarnya, langsung memperlihatkan rasa penasaran. "Oh, benarkah? Tapi, siapa yang melakukan ini?" tanyanya sambil merenung.
Sementara itu, Cyntia memperhatikan Drian yang duduk di sudut kelas dengan ekspresi serius, melihat keluar jendela. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa terjadi, tapi dia belum bisa memahaminya sepenuhnya. Yang pasti, kehadiran Drian di sana memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak dalam benaknya.
YOU ARE READING
Kelas F
HorrorDi sebuah sekolah menengah terkenal dengan reputasi kelas F-nya yang dipenuhi dengan siswa bermasalah, hadir murid misterius bernama Drian, si hantu yang merasa dirinya masih hidup dan memiliki kemampuan melihat makhlus halus (indigo). Aura aneh yan...