3. Gaara

72 13 7
                                    

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu yang tidak santai itu membuat acara rebahan Hinata terganggu. Sambil berdecak ia segera menyimpan buku bacaannya lalu membuka pintu utama. Hinata langsung mendelik begitu tau orang yang ada di balik pintu.

"Ngapain?" tanya Hinata saat Naruto masuk dengan begitu banyak barang belanjaan di tangannya.

Setelah menaruh semuanya di meja dapur. Naruto berbalik pada Hinata dan langsung memeluknya. "Mau dinner dong, Cantik."

Hinata meronta dalam pelukan ketika teringat gosip Naruto dengan Shion. Setelah mendengar itu kemarin, kepalanya terus saja dilanda overthinking. "Dinner aja sono sama lawan mainmu."

Naruto tak melepaskan pelukan, ia malah semakin erat memeluk. "Dih, cemburu. Nggak usah cemburu gitu, Yang. Kamu tetep pemenangnya kok."

Hinata sontak berhenti meronta. Itu membuat Naruto mendekatkan wajah mereka sambil tersenyum. "You're my everything, Hinata," ujarnya sambil menggesek-gesekkan hidung mereka.

Merasa wajahnya terbakar, Hinata segera melepaskan diri. Naruto dan segala tingkah romantisnya benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantung Hinata.

"Jadi kita bakal dinner di sini aja?" tanya Hinata memastikan setelah mereka membongkar belanjaan yang Naruto bawa. Meski hanya untuk makan dua orang, belanjaan itu Hinata rasa cukup untuk ia makan satu minggu ke depan saking banyaknya.

"Kamu pengennya di mana emang, hem?"

"Ya, nggak di rumah pokoknya. Bosen juga." Bukan tanpa alasan Hinata meminta makan di luar, sebenarnya ia berharap saat mereka jalan bersama ada paparazi yang memotret mereka. Itu karena ia ingin mengetahui respon Naruto jika terciduk berjalan berdua dengannya. Apa ia akan mengatakan pada media jika mereka hanya teman? Atau bungkam saja seperti rumornya kini dengan Shion? Hinata tentu ingin sekali mengklaim Naruto itu miliknya. Selama ini ia hanya mampu melakukan itu dalam hati. Dan itu cukup melelahkan memang!

"Yang, maaf tapi aku nggak nyaman kalo-"

"Lo nggak nyaman kalo dapet skandal sama gue. Tapi lu nyaman-nyaman aja saat digosipin sama lawan main lu itu. Lo malu punya pacar kaya gue, iya?" teriak Hinata frustasi.

Ia sangat berharap Naruto menjelaskan padanya dan bilang jika itu hanya bohong. Mereka tak sedekat itu. Tapi yang dilakukan Naruto malah menghilang, tak memberi kabar seharian dan membuat Hinata merasa bodoh karena menunggunya. Ia tahu itu konyol, tapi ia memang ingin diakui. Dilibatkan dalam segala hal yang menyangkut kegiatan Naruto, lelaki itu terlalu banyak menyimpan rahasia. Dan Hinata mulai merasa muak.

"Yang, nggak gitu-"

"Keluar lo!" Hinata menunjuk Naruto untuk segera pergi.

"Yang-"

"Keluar gue bilang!" Hinata menyeret Naruto menuju pintu, menulikan telinga saat lelaki itu terus berusaha menjelaskan. Ia membanting pintu lalu mengunci pintu di depan wajah Naruto.

"Oke, aku bakal biarin kamu tenang dulu," ujar Naruto di balik pintu yang masih bisa didengar Hinata. "I'm really sorry, Yang. Aku pulang ya, love you."

Hinata merosot di balik pintu. Sambil berjongkok ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Kenapa Naruto masih bersikap selembut ini? Apa dia memang memperlakukan semua wanita seperti ini?

***

"Muka lo kusut banget kek baju gue yang belom di londri." Ino mendudukkan dirinya di samping Hinata yang sedang bertopang dagu sendirian. "Kenapa lo? Mikiran kakak yang lo tunggu-tunggu itu?"

Hinata hanya mendengkus, malas menanggapi. Memang banyak dari teman-teman Hinata yang mengetahui cerita tentang si kakak ini, tapi ya tidak detail. Mereka malah bilang konyol jika Hinata masih menunggunya.

"Ntar malem ikut, kuy?" Ino menaik turunkan alis sambil menyedot kopi espresso miliknya dengan kuat.

"Kemana?"

"Nongkrong sama anak-anak jurusan laen. Mau makan-makan sambil cuci mata juga, sih," ujar Ino. "Dijamin pada ganteng kok. Gimana?"

Hinata hanya menghela napas. Pikirannya sedang kalut sekarang. "Liat ntar ajalah. Gue duluan, ya." Ia segera membereskan barang bawaan lalu beranjak dari sana.

Berjalan dengan cepat sudah menjadi kebiasaan Hinata. Namun karena kurang fokus dan sambil menunduk ia malah menabrak seseorang di persimpangan koridor.

"Sorry, sorry ... Gue nggak liat jalan," ujar orang itu lalu membantu memunguti buku Hinata yang jauh akibat tabrakan mereka.

"Iya, gue juga salah. Nggak papa" sahut Hinata.

"Eh, lo Hinata, kan? Temennya Ino?"

Hinata yang masih sibuk membenahi bukunya segera mendongak. Ia mengernyit begitu melihat lelaki yang mengaku mengenalnya ini.

"Gue Gaara," tambahnya. "Anak teknik." Lelaki itu mengulurkan tangan kanan.

Hinata menyambut uluran tangan itu sambil tersenyum. "Hinata."

"Gue harap lo mau ikut acara ntar malem. Beberapa fakultas gabung mau ngadain acara makan-makan."

Hinata kembali tersenyum menanggapinya. Dia bingung harus berekspresi seperti apa. Dia juga tidak kenal Gaara. Bahkan tak mengenal anak jurusan lain selain Naruto. Dan yang miris malah pura-pura tidak kenal.

"Gue nggak janji," jawab Hinata. "Oh iya. Gue duluan, ya. Buru-buru, nih!"

Gaara mengangguk sambil tersenyum. Ia hanya mampu menatap kepergian Hinata lalu menghela napas. Tak bisa menahan juga. Ternyata benar, Hinata bukan tipe yang mudah diajak bicara malah terkesan sangat kaku. Ia jadi semakin penasaran saja, ternyata masih ada tipe yang seperti itu.

***

Malamnya, Ino mengetuk kost Hinata sedikit keras. Bermaksud menarik paksa temannya itu agar ikut bergabung untuk acara yang ia infokan siang tadi. Jika tidak jemput paksa, Hinata tak akan mau. Tipe introvert sepertinya hanya akan betah berlama-lama di dalam rumah. Mengurung diri dengan semua perkakas yang mendukung seperti laptop dan camilan misalnya.

Ino sedikit berteriak. "Nat, woy. Buka pintunya! Ini gue."

Tak lama Hinata muncul dengan handuk di kepalanya, kentara sekali baru selesai mandi lalu bergegas berpakaian dan membuka pintu dengan tergesa. "Nggak usah teriak-teriak, ntar tetangga ngira gue lagi ditagih utang lagi."

"Hehehe, sorry." Ino tersenyum lebar. "Udah siap berangkat, 'kan? Kuylah, si Sakura nungguin di mobil."

"Berangkat ke mana?" Hinata malah mendudukkan dirinya di sofa.

"Dih, udah pikun lo?" sarkas Ino. "Acara yang gue bilang tadi siang."

Hinata berdecak sambil mengambil pengering rambut di dekat meja kecil samping sofa. "Mager, No."

"Lo cuma makan doang di sana, Mimin. Gue jemput juga kan enih, make alesan mager segala lo."

Hinata merengut. Baginya makan di rumah sambil menonton televisi jauh menggiurkan daripada makan gratis tapi harus bertemu banyak orang.

"Elah cepetan mikirnya, keburu laper nih gue."

"Iya, iya. Gue siap-siap dulu," ujarnya seraya bangkit lalu masuk ke kamarnya.

Tak enak menolak ajakan Ino yang sudah repot-repot menjemputnya. Lagi pula sesekali tak masalah mencari teman baru bukan. Pikir Hinata.




















To be continued....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PROMISE (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang