Bab 1: Seorang Anak Dari Jalanan.

37 2 0
                                    

Jakarta, Indonesia, 1992

Sinar matahari pagi bersemburat di langit, menciptakan siluet-siluet dari bangunan dan serta tidak ketinggalan, Monumen Nasional yang menjulang tinggi.

Jalanan yang penuh dengan kendaraan saling melewati, sementara para pejalan kaki berjalan melintasi trotoar. Bau asap sesekali dapat tercium di udara, menambah kesan kota yang sudah memulai paginya dengan kesibukan.

Para pedagang dari yang menetap maupun yang berkeliling, menawarkan berbagai macam dagangan kepada para pejalan kaki yang sekedar lewat. Para pengamen dengan alat musik sederhana mereka, mencoba menghasilkan sedikit uang dari keramahan para penduduk yang lewat. Dan di sudut-sudut gelap, terdapat anak-anak jalanan yang hidup di bawah ketidakpastian.

Di antara keramaian jalanan, seorang anak laki-laki berusia 9 tahun melangkah dengan langkah-langkah kecilnya di atas trotoar. Wajahnya terlihat lelah dan kusam, matanya yang sedikit agak sipit dengan penuh ketidakpastian memperhatikan setiap gerakan di sekitarnya. Pakaian lusuh yang melekat di tubuh kecilnya menandakan bahwa dia telah lama hidup di jalanan ini.

Jika ada yang cukup peduli untuk memperhatikan lebih seksama, nampak ada ciri-ciri keturunan Tionghoa-Indonesia dari dirinya, tapi mungkin dia sendiri tidak peduli.

Anak itu tidak tahu siapa dia, dari mana asalnya, atau bahkan apa namanya. Dia adalah anak jalanan yang sebatang kara, terbuang di dunia tanpa tempat yang bisa disebut rumah, tanpa kasih sayang seorang ibu atau ayah. Hidupnya hanya tentang bertahan hidup di tengah ketidakpastian, mencari makna dalam kehampaan yang menyelimuti dirinya.

Duduk di tepi trotoar, anak itu memandangi pemandangan di seberang jalan. Gerbang sekolah yang terbuka lebar, menyambut para pelajar muda yang datang bersama orang tua mereka. Suara riuh terdengar dari mereka, sementara langkah-langkah ringan mereka menghiasi trotoar dengan keceriaan.

Anak itu tidak dapat menahan rasa iri, melihat anak-anak seusianya mengenakan seragam sekolah yang rapi, membawa tas di punggung mereka, dan tersenyum ceria kepada teman-teman mereka. Dia mencoba membayangkan bagaimana rasanya berada di antara mereka, belajar di dalam ruang kelas yang penuh dengan cahaya matahari pagi.

Namun, bayangan itu segera ditepis oleh realita pahit. Dia sadar bahwa dia bukan siapa-siapa, bahwa dia tidak memiliki apa pun yang bisa dianggap sebagai miliknya. Dengan hati yang berat, dia akhirnya berdiri dari tempat duduknya dan melanjutkan langkahnya di jalanan yang ramai.

Siang hari...

Anak itu terus melangkah, melewati sebuah rumah makan yang ramai oleh pelanggan. Aroma nasi hangat dan lauk pauk yang menggoda membuat perutnya yang kosong sejak pagi menggila dengan rasa lapar. Namun, dia tidak memiliki sedikitpun uang untuk membeli, ataupun keberanian untuk memohon sedekah tanpa dicaci maki.

Matanya tidak bisa berhenti menatap makanan yang menggoda tersaji di atas meja, terutama di meja yang dihuni oleh satu keluarga lengkap yang sedang makan bersama. Mereka bercengkrama dengan riang, menikmati makanan mereka dengan penuh kenikmatan. Namun, dia sadar bahwa dia bukan siapa-siapa, hanya dapat menatap dengan penuh rasa iri.

"Hei, gelandangan, pergi kamu!" bentak seorang pelayan dengan kasar, membuatnya tersentak dari lamunan dan kembali ke dunia yang kejam dan tidak berbelas kasihan.

Dengan hati yang teriris dan sedikit amarah yang dipendam, anak itu hanya dapat menunduk dengan berat hati dan melanjutkan langkahnya kembali di jalanan.

Berjam-jam dia berjalan tak tentu arah di jalanan, dari pagi menjadi siang, siang pun kini menjadi sore. Anak itu kini berdiri di dekat sebuah warung kecil, sambil memegangi perutnya yang terasa perih memandangi makanan ringan yang dijual semakin menarik rasa laparnya yang tidak tertahankan.

Mothra: The KnightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang