•••
“Lagek bali, Ngger?” (Baru pulang, Nak?)
Kedatangan Noureen dan Suryatmaja di rumah disambut oleh Utari yang sedang menyiapkan makan malam di ruang makan. Wanita itu tampak menghidangkan punten yang baru matang di dalam bakul dari rotan.
Terdapat dua piring berisi mentimun yang diiris dadu, daun bayam, kacang panjang, serta tauge yang telah dikukus. Tidak lupa satu mangkuk penuh sambal berbahan dasar kacang tanah dengan beberapa rempah lain. Satu piring terpisah berisi telur yang digoreng bersama dengan beberapa potong tempe goreng.Suryatmaja mengangguk. Pemuda itu lantas menduduki salah satu kursi dari kayu jati dan rotan. “Ibu damel pecel punten?” Ia tampak berbinar-binar. (Ibu masak pecel punten?)
“Iya, Ngger. Ibu eling yen kowe seneng banget karo pecel punten. Mangkane ibu masak iki kanggo kowe. Kapan maneh kowe bisa mulih ing omah.” (Iya, Nak. Ibu ingat jika kamu suka sekali dengan pecel punten. Itu sebabnya ibu masak ini untukmu. Kapan lagi kamu bisa pulang ke rumah.)
Utari beralih menatap Noureen. “Mangga, Ndhuk, lungguh. Ayo dhahar bebarengan,” ujarnya mempersilakan. (Silakan, Nak, duduk. Ayo makan bareng-bareng.)
Noureen tersentak. Gadis itu mengangguk kecil lantas duduk di kursi sebelah Suryatmaja. “Panjenengan damel pecel mboten sanjang kula. Ngenten-ngenten kula inggih saget menawi panjenengan utus ngrencangi,” tuturnya. (Anda memasak pecel tidak bilang saya. Begini-begini saya juga bisa jika Anda minta membantu.)
Suryatmaja yang mendengar perkataannya hanya melirik sekilas, memilih untuk tidak memedulikan. Pemuda itu bahkan sudah meletakkan tiga buah punten ke piring, disertai sayuran, sambal, dan sebuah telur.
Utari tersenyum ramah. “Ora masalah, Ndhuk. Ibu ora penak yen ngerepoti kowe. Ora trep rasane yen ngutus tamu masak.” (Tidak masalah, Nak. Ibu tidak enak jika merepotkan kamu. Tidak baik rasanya jika meminta tamu memasak.)
“Mboten punapa-napa, Bu. Mbok menawi panjenengan butuh bantuan, kula saget mbiyantu. Kula inggih mboten penak menawi namung dados beban kangge panjenengan kaliyan kaluwarga. Kula saget mbiyantu beres-beres griya punika.” (Tidak apa-apa, Bu. Jika Anda butuh bantuan, saya bisa bantu. Saya juga tidak enak jika hanya jadi beban untuk Anda dan keluarga. Saya bisa membantu bersih-bersih rumah.) Nada bicara Noureen terdengar tulus. Ia terlihat tidak enak hati mendapat bantuan secara cuma-cuma.
“Wis ora usah dipikirke, Ndhuk. Ing omah iki wis ana sing bagean resik-resik. Kowe mung prelu ngancani ibu lan Suryatmaja yen dheweke bali saka asrama,” tolak Utari halus. (Tidak usah dipikirkan, Nak. Di rumah ini sudah ada yang bagian bersih-bersih. Kamu hanya perlu menemani ibu dan Suryatmaja ketika dia kembali dari asrama.) “Wis, saiki dhahara. Selak punten lan iwake adhem,” sambung wanita itu dengan keibuan. (Sudah, sekarang makanlah. Keburu punten dan lauknya dingin.)
KAMU SEDANG MEMBACA
RE-CLANDESTINE: EST. 1945
Historical Fiction"Sejarah ditulis oleh pemenang." Kiranya kutipan itu yang membuat Noureen Alfa Emira-siswi XII IPA 3 SMA Anumerta-untuk membuktikan kebenaran dari setiap sejarah bangsa, utamanya mengenai pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 1945. Saking tertarik...