EMPAT hari berlalu sejak Suryatmaja kembali ke asrama PETA, kehidupan Noureen masih berjalan seperti biasa. Gadis itu disibukkan dengan membantu Utari dalam memasak, sekaligus belajar banyak resep baru darinya. Meskipun di rumah ini sudah ada Bi Asma' yang bertugas untuk beres-beres rumah, tetap saja Utarilah yang memilih untuk mengurus makanan di rumah ini sendiri.
Kini, Noureen tengah berada di teras rumah Suryatmaja sembari memandangi lalu lalang orang yang beraktivitas di pagi hari. "Hari ini udah 7 September 1944, harusnya berita tentang janji kemerdekaan Jepang udah disampaikan," gumam Noureen. "Kira-kira nanti beritanya disampaikan lewat radio, apa lewat surat kabar, ya? Televisi 'kan belum ada di zaman ini," sambungnya kemudian.
Belum lima menit Noureen memikirkan jawaban atas pertanyaannya sendiri, gadis itu dikejutkan dengan gemuruh suara anak-anak dari arah jalan depan rumah. Ia sontak bangkit dari tempat duduk, lalu melangkahkan kaki melewati pekarangan rumah yang luas menuju ke arah jalan berpasir. Begitu ia menolehkan kepala ke arah selatan, terdapat banyak anak sekolah rakyat tengah berlarian sambil membawa kain berwarna merah dan putih--persis seperti bendera nasional Indonesia.
"Indonesia akan merdeka! Indonesia akan merdeka!" seru anak-anak itu berulang-ulang.
Alis Noureen saling bertautan. Ia tampak mencoba mencerna apa yang terjadi. Tampak beberapa anak menuju ke rumah penduduk. Salah satu dari mereka terlihat berbincang dengan seorang wanita paruh baya yang terlihat menjemur potongan-potongan singkong di depan rumah.
"Kowe ngomong apa, Ngger? Aja sembrana. Aja nganthi ana mata-mata Nippon sing weruh apa sing kokomongke," ujar wanita itu dengan logat Jawa. Ia terlihat khawatir.
"Mboten punapa-napa, Bu. Nippon sampun maringi janji kamardikan damel Indonesia. Indonesia sekedhap malih merdeka, Bu!" tutur anak laki-laki itu. Tidak ada rasa takut sedikitpun pada nada bicaranya.
"Nippon menehi janji kamardikan?" ulang sang ibu. Dari kejauhan, Noureen dapat mendengar perkataan anak laki-laki itu yang masih menegaskan tentang janji kemerdekaan Jepang. Saat Noureen hendak menghampiri, seorang pemuda penjual koran melintas di hadapannya.
"Surat kabar Soeara Asia! Ada berita Nippon menyerah kepada Sekutu! Surat kabar Soeara Asia!"
"Mas-mas! Korannya satu dong!” Noureen langsung berlari menghampiri penjual koran itu.
Si penjual koran itu berhenti. Diberikannya satu koran yang terlipat. “Harganya 2 sen saja Nona,” ujarnya.
Noureen mengangguk. Ia memberikan sebuah uang koin nominal 5 rupiah kepada penjual koran. “Ambil saja kembaliannya, Mas,” tuturnya.
“Wah, terima kasih banyak, Nona. Selain memiliki wajah rupawan, Nona juga baik sekali,” papar si penjual koran membuat Noureen terkekeh.
“Masnya bisa aja.” Noureen langsung membaca bagian utama dari surat kabar. Gadis itu terbelalak membaca judul artikel yang memiliki isi seperti perkataan anak-anak sekolah rakyat tadi. “Beneran kasih janji dong si Koiso,” gumamnya lirih.
“Kau percaya dengan janji mereka, Nona? Kalau aku sih tidak mempercayainya sama sekali.”
Noureen terlonjak kaget mendengar suara seseorang. Begitu ia mendongak, terdapat wajah seseorang yang begitu familiar di otaknya.
“Kaiden?!”
•••
Kondisi asrama daidan PETA Blitar menjadi sedikit dipenuhi senyuman begitu mereka mendengarkan pidato dari Kolonel Katagiri beberapa saat lalu. Namun, Suryatmaja yang kini menemani sang komandan peleton sama sekali tidak bisa merasakan kebahagiaan itu, sejalan dengan wajah sang komandan yang merah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
RE-CLANDESTINE: EST. 1945
Ficción histórica"Sejarah ditulis oleh pemenang." Kiranya kutipan itu yang membuat Noureen Alfa Emira-siswi XII IPA 3 SMA Anumerta-untuk membuktikan kebenaran dari setiap sejarah bangsa, utamanya mengenai pemberontakan PETA Blitar, 14 Februari 1945. Saking tertarik...