Jatuh

112 65 16
                                    

29 Juli 2023.

Nesta Pov

"Kak, kalau berangkat pintunya kunci!" Teriak adik perempuan gue dari depan rumah.

"Iya bawel!" Gue menyahutinya dari dalam kamar. Kedua adik gue telah berangkat sekolah lebih dulu, adik kedua gue yang laki-laki bernama Gale, berangkat sendiri menggunakan motornya. Sedangkan adik bungsu gue yang bernama Gressi berangkat diantar oleh ayah gue sekalian ayah gue berangkat kerja.

Dan gue? Berangkat paling akhir dengan sepeda gunung kesayangan gue. Terkadang juga gue yang paling awal, namun hari ini adalah hari yang sangat memusingkan, pagi-pagi gue sudah dibuat pusing mencari buku diary gue yang tidak ada dalam tas selempang kesempitan gue kemarin.

"Ah, harusnya gue cek isi tasnya dari kemarin!" Gue menjatuhkan isi dari tas selempang itu ke lantai. Namun gue juga belum menemukannya. Dan gue juga baru sadar jika buku diary gue hilang, sebab kemarin sepulang dari perpustakaan gue gak membuka tas itu lagi, dan mengambil buku pinjaman gue yang baru.

"Gimana dong? Mana isinya alay banget lagi." Gue semakin frustasi, bahkan gue lupa harusnya gue bersiap untuk sekolah, bukan memberantaki kamar untuk mencari buku diary itu.

"Yaudahlah, nanti di jalan juga ketemu." Gue melanjutkan kegiatan yang harus gue lakukan. Sepulang sekolah, gue memutuskan untuk langsung ke perpustakaan sebelum pulang ke rumah, siapa tahu ada disana.

"Ah, kaki gue.. " Gue sedikit meringis ketika berjalan dengan cepat. Ternyata rasa sakit akibat terkilir dan ketiban buku-buku tebal itu masih ada.

Dengan kaki terpincang-pincang gue berjalan keluar rumah, mengunci pintu, lalu menggoes sepeda secepat mungkin. Tak peduli jika kaki gue masih sakit, daripada gue harus ketinggalan upacara dan kena hukuman.

Dan ternyata sudah secepat apapun gue mengayuh sepeda, gue tetap telat. Gue melihat jam yang melingkar di tangan kiri gue menunjukkan pukul 07:17 WIB. Hanya telat dua menit, tetapi gue pasti akan tetap dianggap telat. Gue berlarian menaruh tas di kelas terlebih dahulu, lalu bergegas menuju lapangan untuk upacara, ikut barisan di bagian belakang.

Tak lama kemudian, upacara selesai. Semua siswa maupun siswi mulai berhamburan ke dalam kelasnya masing-masing, melanjutkan kegiatan belajar mengajar. Gue diam-diam mengikuti gerombolan tersebut, naas gue tetap ketahuan. Gue sangat heran sejeli apa mata si Ketua Osis hingga selalu tahu semua siswa siswi yang terlambat.

"Ernesta, sini dulu!" Teriak Raynor, si Ketua Osis tampan, favorit para siswi SMA Endraexa, kecuali gue.

Gue membalikkan tubuh malas, berjalan ke arahnya dengan pelan.

"Cepat jalannya!" Suaranya naik satu oktaf, gue semakin sungut dibuatnya. Di sampingnya juga ada si Waketos, namanya Cheryl, dia siswi favorit para siswa SMA Endraexa. Bisa dibilang, dia juga teman dekat gue.

"Pilih lari puterin lapangan tiga kali, atau hormat ke bendera dengan posisi tegak?" Tanya Raynor dengan nada yang lebih rendah, tetapi tetap saja terdengar menyebalkan.

"Kaki lo kenapa, Nes?" Tanya Cheryl menyadari pergelangan kaki gue yang terlihat memerah.

"Abis terkilir kemarin."

"Pantesan telat, lo naik sepeda ya berangkatnya? Kenapa gak bareng adek lo aja? Lagi sakit begitu dipaksain." Untungnya Cheryl sangat peka dengan kondisi gue, tidak seperti pria di sampingnya yang tetap berdiri tanpa terlihat merasa bersalah sedikitpun.

"Adek gue udah berangkat duluan." Gue mengalihkan tatapan gue pada Raynor, dia malah pergi memerhatikan siswa siswi lain yang berlari mengitari lapangan.

"Istirahat aja sana, mau gue temenin ke UKS?" Tawar Cheryl.

"Gak usah lah, gak-"

"Obatin dulu kaki lo, jangan dipaksain." Suara Raynor mulai lebih pelan dan lembut. Ini baru Raynor yang gue kenal, Raynor yang gue kagumi sejak awal bertemu dia, namun rasa kagum itu sudah gue paksa berhenti sejak gue duduk di kelas 12.

"Ryl perhatiin siswa siswi lain, gue aja yang anter Nesta ke UKS." Raynor langsung menarik tangan gue tanpa aba-aba.

"Siap, paketos!" Sahut Cheryl disertai tawa kecilnya.

"Kenapa emang bisa sampai terkilir? Lo abis main sepeda keliling Jakarta?" Tanya Raynor ketika kami melewati lorong-lorong kelas yang sepi, sebab pelajaran sudah dimulai.

Gue senang setiap dia bertanya tentang keadaan gue, dibumbui dengan candaan garingnya, tetapi gue pasti tertawa kecil menghargai. Namun, entah mengapa sekarang rasanya gue tidak sepenuhnya senang. Seharusnya gue melupakan perasaan ini, gue sudah melewati batas, gue seharusnya tidak jatuh padanya.

Salah gue jatuh hati kepada seseorang yang hatinya sudah lebih dulu jatuh untuk orang lain.

"Nes, kok bengong?" Raynor menepuk pundak gue membuat tatapan mata gue langsung tertuju ke arahnya. Dia juga sedang menatap gue, dengan kedua mata tajamnya yang sangat dalam, membuat benteng pertahanan gue semakin hancur dibuatnya.

"Lo tanya apa?" Gue sebenarnya ingat, hanya saja pura-pura lupa karena gue tidak mau menceritakannya. Gue harus sadar untuk membatasi diri gue berinteraksi padanya sekarang. Karena jika tidak, perasaan lama itu akan muncul kembali dan gagal untuk dilupakan.

"Gak jadi lah, malas malas." Ucapnya dengan nada kecewa. Gue hanya terkekeh kecil.

"Gue cari dulu obatnya." Sesampainya di UKS, dia segera mencarikan kotak P3K untuk gue, dan membiarkan gue duduk menunggu di atas bankar.

"Nah, ketemu." Raynor langsung berjongkok di depan gue, membuka kotak p3K tersebut, tanpa memerintahkan gue untuk bergerak sedikitpun.

Hati perempuan mana yang tidak jatuh jika diperlakukan seperti ini?

Dengan hati-hati, dia mengobati luka gue, bahkan membalutnya dengan gulungan perban padahal tidak ada darahnya sedikitpun.

"Kenapa diperban? Kan gak ada darahnya juga."

"Biar lo ngerasa gak nyaman kalau kakinya dipaksain pijak lantai, hahaha." Tawanya puas.

"Dih, bisa gitu?"

"Bisa lah, udah pake tongkat aja tuh biar lebih gampang jalannya."

"Gue cuma terkilir bukan patah tulang." Gue tersenyum paksa, dia semakin ngakak melihat ekspresi gue.

"Makasih." Kami berdua langsung keluar dari UKS setelah luka gue selesai diobati olehnya. Raynor tetap berada di samping gue, seharusnya dia pergi ke lapangan bukan? Mengawasi para siswa siswi lain yang sedang menjalankan hukumannya.

"Lo gak nemenin Cheryl ngawasin yang lagi dihukum?"

"Gue juga lagi ngawasin yang lagi dihukum kok."

Gue hanya mengerutkan kening bingung mendengar jawavannya.

"Nih, ngawasin lo. Lo juga lagi dihukum kalau lupa. "

Gue mendengus kesal, jawabannya selalu diluar dugaan.

"Gue antar lo ke kelas, baru nanti samperin Cheryl." Jawabnya memperjelas sebab melihat wajah cemberut gue.

"Pulangnya bareng gue aja." Ajaknya tiba-tiba.

"Enggak! Gue gak mau ninggalin sepeda gue!" Tolak gue dengan tegas.

"Entar gue balik lagi ke sekolah ngambil sepeda lo, mau ya?" Dia semakin memohon, entah apa maksud tujuannya.

"Gak, gue mau melakukan hal yang lebih penting sepulang sekolah!"

"Makasih tawarannya."

Gue masuk ke dalam kelas, meninggalkan dirinya yang masih mematung diluar. Seisi kelas mengintip ke arah luar untuk melihat seseorang yang tadi mengantar gue.

• ───── ࣪ ⬪ ꕤ⬪ ࣪ ───── •

Jangan lupa vote dan comment nya, terima kasih!

Retisalya ; 𝐇𝐚𝐞𝐫𝐲𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang