CHAPTER 2: OPPORTUNITY

549 193 794
                                    

Setiap berangkat dan pulang sekolah, aku selalu memperhatikan toko-toko dan restoran yang kulalui. Bahkan selama dua hari ini aku mengeksplor jalan-jalan tikus menuju rumah untuk menemukan rute tercepat. Bukan apa-apa, aku sedang memperhitungkan waktu supaya tidak kesiangan ke tempat kerja nantinya. Kerja? Iya, akhirnya aku tetap bandel diam-diam mencari kerja meskipun tanpa seizin Mama.

Sepulang sekolah, aku meminta izin pada Mama untuk kerja kelompok dengan Yelena. Padahal boro-boro, rumah Yelena saja aku tidak tahu. Target lamaranku ialah restoran-restoran dan supermarket. Sebagai anak SMA, profesi yang kupilih masih terbatas. Sebenarnya paling aman kalau aku memilih menekuni media sosial, jadi konten kreator misalnya. Atau menulis novel. Namun, pekerjaan-pekerjaan itu membutuhkan waktu lama sebelum menghasilkan uang. Aku, kan, butuhnya gaji bulanan.

Aku tahu mencari kerja tidak mudah, tetapi ternyata lebih sulit dari bayanganku. Aku sudah keliling-keliling sampai kakiku rasanya mau patah. Kalau dihitung-hitung, sepertinya aku sudah mengelilingi stadion sepak bola beberapa kali. Panas matahari membuat butiran-butiran keringat membasahi dahi dan rambutku. Sampai-sampai rambutku jadi lepek. Terus terang, aku hampir frustrasi. Penghuni baru yang belum mengerti bahasa Jawa, anak sekolah pula, kombinasi sempurna sebagai kandidat pekerja yang langsung ditolak pada detik pertama. Orang-orang yang kutemui hanya melirik sekilas surat lamaran dan CV yang kuberi, kemudian menyimpannya di tumpukan pelamar lain yang mungkin tak akan pernah dipanggil.

Langit sudah senja ketika aku memasuki sebuah gedung supermarket untuk ke... ke... keentah berapa kali saking banyaknya tempat yang kudatangi hari ini. Pokoknya, dari setumpuk surat lamaran yang kusiapkan, ini adalah yang terakhir. Aku mendekati kasir dengan langkah lesu.

"Siang, Kak," sapaku berusaha tampak seramah mungkin.

Kasir itu tersenyum. "Siang juga, Kak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya mau melamar kerja paruh waktu, Kak. Mungkin di sini ada lowongan?" ujarku penuh harap.

Kening kasir itu mengernyit. "Hmm... sebenernya kami-"

"Ada apa?" potong seorang bapak sambil mendekati si kasir.

"Ini, Pak, anak ini mau ngelamar kerja. Kayaknya kita enggak nerima freelance deh," jelas si kasir.

Mendengar itu lututku langsung lemas. Aku harus ke mana lagi? Sementara aku mesti segera pulang.

Bapak itu menatapku penuh selidik. "Saya Toni, pemilik toko ini. Mana surat lamaran kamu?" tanyanya sambil menjulurkan tangan meminta map yang kupegang.

Aku menyodorkan map yang langsung diambil Pak Toni. Dia kemudian membacanya beberapa saat.

Si pemilik toko menatapku tajam, seperti sedang menimbang-nimbang. "Kamu ikut ke ruangan saya," tukasnya, kemudian berbalik dan berjalan ke suatu ruangan.

Hah? Seriusan? Aku sempat terdiam beberapa saat saking tak percaya, lalu bergegas mengikuti Pak Toni.

Badanku gemetar bukan karena dinginnya AC, tetapi saking gugupnya memikirkan jawaban setiap pertanyaan Pak Toni. Maklumlah, ini wawancara pertamaku. Meskipun aku sudah membaca buku persiapan wawancara, tapi tetap saja ketika mengalaminya sendiri rasanya berbeda. Rasanya aku ingin menenggelamkan diri ke dasar laut tiap kali bicara terbata-bata. Kenapa otak dan mulutku tidak bisa singkron, sih? Tambah lagi tanganku tak bisa diam, terus saja membetulkan letak gagang kacamataku. Entah apa yang dipikirkan Pak Toni, karena dia hanya menanggapi setiap jawabanku dengan 'Ham-hem' saja. Mungkin dia berpikir, Hm... dari jawabannya saja anak ini sangat jelas tidak berpengalaman. Lebih baik langsung aku usir saja dari sini!

Aku sudah pasrah saja dengan hasilnya. Namun, sesuatu terjadi di luar perkiraanku!

Pak Toni menyipitkan mata, seperti sedang berpikir keras. "Oke, setelah saya pertimbangkan, Adik bisa kerja di sini."

Love Business / Unfinished Business (versi terbitan Elex Media Komputindo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang