PROLOGUE

661 203 641
                                    


Seumur hidup, aku selalu mengira bahwa Papa merupakan musuh terbesarku. Sosok monster yang harus aku kalahkan lewat pertempuran di dunia bisnis. Semuanya berawal dari satu malam mengerikan yang lebih mencekam dari mimpi buruk.

Malam itu, bunyi pecahan kaca membuatku tersentak dari dunia imajinasi. Refleks tanganku menutup buku yang sedang kubaca. Aku berjalan ragu-ragu menuju pintu kamar. Intuisiku mengatakan bahwa aku sebaiknya mengintip dari balik pintu, bukan langsung menghambur keluar. Apa yang kulihat membuatku ternganga. Papa mencengkeram baju Mama hingga perempuan yang telah melahirkanku itu mengap-mengap kehabisan napas.

“Dasar perempuan tolol! Bisanya cuma cuci piring! Bantu aku cari duit kalau kamu bisa!” cecar Papa dengan wajah memerah penuh emosi.
Papa kemudian menampar pipi Mama hingga bunyinya berdenging di telingaku. Saking kerasnya tamparan itu, sampai tubuh Mama terpelanting lalu jatuh mengenai pecahan kaca yang berserakan. Darah mengalir dari kaki Mama yang terluka.

Spontan aku menjerit panik, “Mama!” Cepat-cepat aku menekap mulut hingga buku yang kupegang jatuh ke lantai.

Menyadari kehadiranku, Papa melotot sangar ke arahku. “Sini kamu! Bisanya cuma baca buku!” bentaknya.

Tubuhku terasa beku. Rasanya aku tak mampu menggerakan tubuh sama sekali.

Papa yang berang, berjalan tergesa ke arahku. Tangannya menjenggut rambutku sampai kepalaku tersentak ke belakang. “Tuh liat,” tukasnya sambil menunjuk ke arah Mama yang tengah terisak-isak. “Jangan jadi orang lemah nggak guna seperti mamamu!” Papa mendekatkan mukanya ke wajahku, dia berucap dengan menekankan kata per kata, “Orang miskin seperti kita akan selalu dipandang sebelah mata dan ditindas! Makanya kita harus sukses dan banyak uang. Mengerti?” Beliau lalu menyentakku hingga menabrak pintu.

Tepat di hari ulang tahunku yang keempat belas, Papa menancapkan ‘pedang iblis’ ke hatiku. Lukanya terus membekas hingga aku tak yakin apakah waktu bisa membantu menyembuhkannya. Namun yang pasti, kejadian itu telah mengubahku menjadi pribadi yang berbeda: seseorang yang berambisi pada kekayaan.

Lelaki yang dulu kupanggil ‘Papa’ itu kemudian meninggalkan kami dengan menikahi seorang perempuan kaya demi modal usaha. Muak hidup miskin bersama ‘para pencundang’ seperti kami. 

Pada momen itulah aku bersumpah, “Pa, aku juga bisa sukses dan kaya raya. Aku akan membuktikannya! Papa akan menyesal sudah tega meninggalkan kami. Ketika hari itu datang, pintu rumah ini sudah tertutup selamanya untuk Papa.”

Namun, siapa pun akan mengira ketika jalan terang mewujudkan ambisi itu tiba, aku akan bahagia. Salah besar! Aku justru dihadapkan pada pilihan sulit. Mengorbankan prinsip yang kupegang demi meraih impian dan balas dendam. Atau, tetap membela prinsip hidupku tetapi harus kehilangan kesempatan besar dan orang yang kucintai. 

Saat itulah aku menyadari, aku bukan sedang berperang dengan Papa. Namun, aku sedang bertarung dengan diriku sendiri yang telah menjadi monster yang jauh lebih mengerikan dari siapa pun.

Love Business / Unfinished Business (versi terbitan Elex Media Komputindo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang