7] Narusea Lelah

39 8 0
                                    

Narusea tersenyum hangat ketika semua murid berhasil ia ajar dengan tertib. Rata-rata semua murid di bimbel ini kelas 3, 4, 5, dan 6 SD. Ia mengajar materi Bahasa, Matematika, dan IPA. Ifaz duduk anteng di kursi dekat papan tulis. Terkadang anak didik yang Narusea ajar gemas pada Ifaz.

"Kak Naru! Aku enggak paham bagian ini," ucap seorang bocah kecil pada Narusea. Narusea tersenyum menghampiri. "Sini kakak ajarin. Kamu harus liatin ya?"

Narusea sangat lembut dalam mengajar, memang pada dasarnya Narusea itu sangat menyukai anak kecil. Dengan seluruh kelembutan dan ketegasannya dalam mengajar bimbel, semua anak didiknya sangat senang. Merasa tak bosan ketika bimbel.

Ifaz hanya tertawa kecil kala Narusea membuat semua anak didiknya tertawa. Waktu malam Narusea habiskan dengan mengajar bimbel. Tak terasa waktu mengajar sudah habis, Narusea pinta untuk mereka berdoa dulu lalu pulang.

Narusea melihat gawainya, foto transaksi membuatnya tersenyum. Itu dari Haski- ibu Najid- yang sudah membayar hasil kerja Narusea cepat. Wanita bernama pangjang Haski Primakana sangat baik hati. Tak perlu diragukan lagi, Haski sudah percaya dengan Narusea yang bisa mengajar.

Di sana, Najid memperhatikan sang ibu yang sibuk dengan ponselnya. "Mami ngapain?"

Haski memandang anaknya sekilas, mengembangkan senyum seketika. "Lagi transfer Naru. Apa sih kamu? Kepo aja!"

"Heleh,"

Narusea menyadari jika ini sudah malam, namun ia masih ada satu pekerjaan lagi. Bengkel, Ifaz bertepuk tangan girang. Narusea mengusap pipi Ifaz yang dingin itu. "Kita ke bengkel, temani mas Naru bekerja lagi ya?"

Dengan semangat bocah laki-laki itu mengangguk, memeluk leher Narusea erat. Lagi-lagi Ifaz hanya diam tak membuat kekacauan di tempat kerja Narusea. Menuruti semua perkataan masnya. Bocah kecil itu selalu menurut, tak membantah.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan saat itu Narusea baru saja sampai di rumahnya. Di gendongannya, Ifaz sudah mengantuk, namun masih ingin membuka matanya. Narusea melepas jaket yang membalut tubuh Ifaz, menidurkan bocah itu dengan tepukan pelannya.

"Maafin mas, mas harus ajak kamu,"

Setelahnya, Narusea memilih untuk membersihkan dirinya, setelah tiga pekerjaan paruh waktunya itu. Narusea dudum di kursi meja belajarnya, membuka laci mengeluarkan suatu benda dari sana. Narusea mengulas senyum tipisnya.

"Anemia... Tolong jangan berulah. Gue capek kalo lo gini terus," gumam Narusea membuka tutup botol obat. Meminumnya dengan bantuan air putih. Obat anemia yang selama ini menemaninya, anemianya memang tak sering datang, namun itu membuat Narusea ucap syukur.

Narusea sekarang sedikit merasa akan kesehatan tubuhnya, mungkin anemianya kembali datang sesering dulu. Ia harus hati-hati akan kesehatannya. Jika kesehatannya menurun, ia tidak bisa kerja dan akhirnya tidak mendapatkan uang untuk hidup.

¤¤¤¤¤¤¤

Dosen mengabarkan jika ada kelas hari ini, ketika Narusea sudah tiba di kampus dosennya berkata bahwa diganti besok saja. Narusea menghembuskan napasnya lelah, dirinya sudah jauh-jauh pergi dari rumah ke kampus yang menghabiskan waktu tiga puluh menit lamanya bersama Ifaz.

"Gila tuh dosen, dikira ke kampus kagak pake bensin ape?! Dikencingin?! Kalo bisa!" Nero mengomel terus dalam perjalanan ke parkiran. Narusea hanya diam sembari berjalan santai di belakang ke tiga sahabatnya.

"Tau tuh, diPHP kita. Untung tuh dosen baik kalo ngasih nilai. Lagi gue tuh males tau keluar!" Najid mengelus dadanya sabar. Berusaha mengontrol emosinya yang sudah diujung tanduk.

"Udah lah. Perkara bensin anjir. Nih loh liat, Naru diem-diem ae yang pake motor. Pa lagi sama Ifaz. Bersyukur gile," Zamar menoyor kepala ke dua sahabatnya itu.

Nero mengusap kepalanya yang ditoyor, menyengir lebar memperlihatkan giginya. "Ehehe, iya deng. Sabar ye, Na. Peace!" Nero mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya untuk tanda permohonan maaf.

Narusea hanya mengangguk saja, lagipula tidak ada yang harus dikesalkan kan pada sahabatnya itu? "Gue pulang duluan. Gue ijin, band nanti gue enggak bisa ikut, dan untuk bimbelnya juga, Jid."

Ke tiga sahabatnya mengernyitkan dahi. "Kenapa lo? Tumben banget?" Zamar membuka suaranya setelah beberapa saat lenggang.

"Tau tuh, nanti anak bimbel pada nyariin lo, Na. Tumbennya," timpal Najid. Narusea menganggukan kepalanya pelan. "Hari ini gue ijin dulu semua pekerjaan part time. Istirahatin tubuh,"

Nero menyentuh bahu Narusea. "Lo sakit? Biasanya lo enggak mikirin tubuh lo kalo lagi kerja, Na. Anemia lo kambuh?"

"Hm, makanya gue ijin dulu hari ini." Bibir Narusea memang terlihat pucat di mata Zamar, Nero, dan Najid. Kulitnya yang pucat menambah kesan bahwa ia memang terlihat sedang sakit.

"Bisa bawa motor lo nya? Lo pucet, asli deh, Na," Nero berucap khawatir pada sahabatnya itu. Ifaz menggerakkan bibirnya ingin berbicara. "Mas Nalu anas! Mas Nalu akit ayanya! Lehelnya anas,"

Mata Narusea langsung melihat Ifaz, bocah itu mengangguk-anggukan kepalanya tanda ucapannya itu benar. Zamar membulatkan matanya. "Tuh si adek bilang kalo lo sakit. Kuat enggak pulangnya?"

Narusea membalas tatapan khawatir ke tiga sahabatnya. "Kuat. Gua pulang dulu." Najid menyugar rambutnya ke belakang. "Kita kawal aja ya? Biar Ifaz ada di mobil gue,"

Zamar memang datang bersama dengan Najid, dia nebeng. "Nah iya tuh. Khawatir gue tuh," Narusea menghembuskan napas lelah. "Terserah deh."

Terlalu lelah jika Narusea mengurusi ke tiga sahabatnya yang keras kepala itu. Ifaz berada dalam pangkuan Zamar kala di mobil milik Najid. Dua mobil milik Nero dan Najid mengawal dari belakang.

"Sekhawatir itu kita sama lo, Na. Ya, sekhawatir itu."

¤¤¤¤¤¤¤

"Thanks, kalian bisa pulang sekarang." Ucap Narusea mengambil alih Ifaz dari gendongan Zamar. Wajahnya semakin pucat. "Lo ngusir nih ceritanya? Enggak ah, nolak gue. Mau di sini dulu," Nero malah duduk di sofa, bersandar pada sofa.

"Tuan Narusea yang paling ganteng, kita mau di sini bentar boleh ya?" Pinta Najid juga mengikuti Nero.

"Tap-"

Tok tok tok

Perkataan Narusea sudah disela lebih dulu dengan suara ketukan pintu rumahnya. Abimana datang. Narusea mengalihkan tatapannya. Zamar yang masih berdiri hanya diam.

"Akna," panggil Abimana sembari tersenyum. Narusea menduduki Ifaz di sebelah Nero dan Najid. Melangkahkan kakinya mendekati Abimana.

Wajah pucat Narusea adalah yang pertama kali Abimana lihat. "Bisa bapak pergi?" Tekan Narusea berusaha sabar akan kedatangan Abimana.

Abimana masih mengulas senyumnya, ingin menyentuh pundak Narusea namun lebih dulu ditepis.

"Saya sedang lelah menghadapai bapak. Silahkan bapak pergi." Lagi-lagi Narusea mengusir kedatangan Abimana di rumahnya. Zamar, Nero, dan Najid hanya diam memperhatikan di belakang.

Ifaz juga diam ketakutan melihat Narusea seperti itu. Tangannya berusaha menutupi wajahnya yang kecil.

"Ak-" 

"Cukup! Saya sudah bilang kan? Saya lelah! Tidak ada yang mengundang bapak ke sini, silahkan pergi menjauhi rumah ini."

¤¤¤¤¤¤

SACRIFIER || ON GOINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang