"Kamu sakit? Iya nak?" tanya Haski. Di seberang, Narusea tersenyum kala diperhatikan oleh ibu dari sahabatnya itu.
"Naru baik, tante. Tapi maaf ya, Naru ijin enggak ngajar bimbel malam ini, padahal Naru baru kerja kemarin,"
Haski tersenyum manis walau Narusea tidak melihatnya. "Iya sayang. Enggak papa, sehatin dulu, ya?"
"Iya tan, makasih,"
"Iya sayang. Omong-omong, tante mau bicara sama kamu, tentang orang tua kamu,"
Sempat hening sebentar, Haski takut-takut akan Narusea yang menolak membicarakan ini. Namun ia salah, nyatanya Narusea mau berbicara.
"Tentang berita itu ya? Tes DNA?"
"Iya, nak. Kamu sudah bertemu dengan mereka? Melakukan DNA juga?"
Di seberang sana, Narusea memandang kosong semua alat musiknya.
"Iya tan. Itu kalau mereka benar orang tua Naru. T-tapi Naru heran, kenapa mereka baru datang ke sini? Naru sudah terlanjur benci, tante. Itu... Tidak salah kan?"
Haski memejamkan matanya, mengangguk serta tersenyum tipis. "Iya nak. Kamu berhak untuk benci mereka. Tante enggak ngelarang,"
Narusea tahu, sangat tahu jika membenci orang tua adalah perbuatan anak durhaka. Namun apakah ada, memang ada? Orang tua yang baik tidak meninggalkan anaknya yang berumur 4 tahun dirumah sendirian, pergi sejauh mungkin, bercerai tanpa alasan apapun, itu bullshit.
"Naru tau kalo Naru salah tante. Tapi... Luka Naru udah terlanjur dalam. Benci Naru sudah merambat. Kecewa Naru sudah besar,"
"Iya sayang. Tante tau, sekarang kamu tinggal nunggu hasilnya aja kan?"
"Iya tan. Katanya sih 2-4 mingguan setelah hari pengambilan sampel,"
"Ya sudah. Kamu istirahat lagi ya? Sembuhin badannya. Oh iya nak, besok papinya Najid ngundang kamu buat ke rumah,"
"Ada acara apa tan?"
"Tante juga enggak tau. Tapi, tante harap besok kamu datang ya, sayang?"
"Pasti tante. Ya udah ya tan, Naru matiin dulu teleponnya. Adek Naru nangis nih,"
"Iya sayang,"
Tuttututut
Haski memeluk ponselnya. Menghembuskan napasnya pelan. "Nak, entah harus bagaimana tante ucapin bahwa kamu adalah anak yang sabarnya seluas lautan."
●○●○●○●
"Ifaz kenapa nangis? Ada apa dek? Hm?" Narusea mendudukan Ifaz di sofa, sedangkan ia jongkok di hadapan Ifaz. Ibu jarinya bergerak mengusap lelehan air mata Ifaz. Ifaz menangis tersedu-sedu, ia tak berhenti menangis. Tak menjawab pertanyaan masnya.
"Ifaz kenapa? Hm? Mas tanya loh ini,"
"I-ipaz a-akut," Narusea membawa Ifaz ke dalam pelukannya. Entah mengapa beberapa hari ini Ifaz selalu menangis tiba-tiba, dan selalu menggumamkan kata 'takut'.
"Tenang, dek. Apa yang ditakutin, hm? Kan mas Naru di sini loh, Ifaz tenangin diri dulu ya?" Suara pelan Narusea terdengar di telinga Ifaz, namun bocah itu malah tambah menangis kencang.
Tangan besar Narusea mengusap punggung kecil Ifaz, belah bibirnya mengucapkan kata 'cup'. Sudah sejam lebih Ifaz menangis, sekarang bocah itu telah duduk tenang di pangkuan Narusea, bersanda pada dada bidangnya.
"Mas, mas Nalu ndak au ninggal Ipaz kan? Mas Nalu ajak mana aja Ipaz kan? Ipaz akut diinggal, Ipaz akut mas elgi, Ipaz akut mas diambil olang kemalin," bibir bocah itu terus berceloteh. Narusea menggeleng. Menangkup wajah bulat dan kecil Ifaz.
"Mas kan udah janji sama Ifaz, enggak akan ninggalin Ifaz. Ifaz akan mas ajak terus kemana pun itu. Dan orang kemarin itu, enggak berhak nyuruh mas Naru buat ninggalin kamu, percaya sama mas Naru?"
Ifaz mengangguk lemas, ia kembali memeluk Narusea dan bersandar pada dada Narusea. Memejamkan matanya, memeluk erat Narusea. "Sekarang Ifaz tidur. Ini sudah malam. Besok mas ajak Ifaz buat ke rumah mas Najid,"
"Benelan?"
"Iya dek,"
¤¤¤¤¤¤
Abimana mengusap matanya pelan. Ia ingin segera mengajak anaknya untuk tinggal bersamanya. Lagi-lagi lelehan air mata turun tanpa ia suruh.
"Saya ingin cerai denganmu." Abimana menatap isterinya itu, di tangannya sudah ada surat gugatan cerai dirinya. Ambra mengangguk cepat. "Baiklah. Ayo, mana kertasnya. Tidak sabar untuk menandatanganinya."
Dari jauh, tepatnya di ambang pintu kamarnya Narusea memandang orang tuanya dengan diam. Di tangannya sebuah mobil-mobilan murah. Namun, tatapannya jatih melihat koper orang tuanya di depan.
"Saya tidak mau membawa anak itu. Karir saya bisa hancur nantinya," ucap Ambra menarik kopernya keluar rumah.
"Saya juga. Biarkan anak itu tinggal sendiri di sini. T-tapi jika nanti karir saya sudah naik daun, saya akan membawa anak itu." Abimana berucap.
"Ayah! Bunda! Au ana? Itut!" Narusea berlari mengejar Abimana dan Ambra yang sudah jauh berjalan. Narusea menarik baju yang dikenakan Abimana saat itu. Abimana menghepasnya kesal.
"Kamu tidak usah ikut. Saya dan bundamu hanya pergi sebentar. Masuklah ke rumah dan berdiam diri di sana." Abimana dan Ambra pergi meninggalkan Narusea yang terduduk di aspal. Mobil-mobilan yang ia pegang tadi telah terlempar ke mana.
"Ayah! Bunda! Akna au itut! Hiks, kaian ahat!"
Abimana menarik-narik rambutnya kuat. Menyesal melakukan itu, jika saja, jika saja ia tak pernah seperti itu. "Maafkan ayah, Akna. Andai saja ayah mengajak mu untuk ikut dengan ayah. Andaikan ayah tidak bercerai dengan bundamu. Andaikan ayah tidak memikirkan karir ayah semata. Andaikan ayah tidak meninggalkan anak berusia 4 tahun di rumah itu sendiri. Mungkin, kamu tidak akan membenci ayah, nak."
Tok tok tok
Suara ketukan pintu ruang kerjanya mengalihkan atensi Abimana. Ia menyuruh masuk orang yang di depan. Seorang laki-laki paruh baya seumuran dengan dirinya datang dengan senyum tipisnya yang khas.
"Kok ke sini?" tanya Abimana pada orang itu. Laki-laki paruh baya itu mendudukan dirinya di kursi. "Mampir ae lah. Kusut amat mukanya, mikirin Akna?" Tebak orang itu yang tak lain adalah papi Najid- Kaleno Ajidan.
"Bi, mau tau enggak lo nya? Akna itu adalah anak laki-laki yang kuat. Lo ninggal dia dulu itu bener-bener pilihan yang salah. Lo tau? Dari kecil anak gue Najid udah temenan sama dia, karena lo temen gue juga. Akna kerja nyari duit dari umur dia masih belia,"
Abimana diam, maniknya menyendu. Kaleno masih bercerita. "Gue udah tau di mana Akna, karena gue juga selalu sama dia. Tapi gue enggak mau ngomong sama lo, biar lo berusaha cari anak lo dengan cara lo sendiri,"
"Dia kerja paruh waktu sampai umurnya 22 ini, buat kuliah, buat makan dia, dia enggak mau terima bantuan gue dan Haski, atau pun bantuan orang tua sahabatnya yang lain. Dan kemarin gue denger dari bini gue, katanya Akna kerja di bimbel bini, kata Najid juga kerja bengkel sama ngeband,"
Abimana tetap diam, diam-diam air matanya meluruh dengan deras. Kaleno tersenyum penuh arti. "Lo tau, Bi? Akna benci, benci sama lo, juga benci sama Ambra. Gue dan Haski deket banget sama Akna, dan tak jarang Akna berbagi ceritanya sama gue. Dan yang harus lo tau, anak lo itu udah nganggap orang tuanya mati, dia benci sama orang tuanya. Benci, Abimana."
¤¤¤¤¤¤¤
KAMU SEDANG MEMBACA
SACRIFIER || ON GOING
Teen FictionSemakin gelap langit malam, semakin terang bintang-bintangnya. Semakin berat ujian manusia menghantam, semakin kuat juga hati dan jiwanya. Dan ketika habis jalan keluar yang tersedia, semakin dekat keajaiban yang akan datang padanya. Akna Narusea Ab...