AKSARA BHUMI RAHAGI
Selalu ada pisah dalam rangkaian temu yang terjalin. Setiap manusia harus mempercayai bahwa takkan ada yang abadi bersamamu selamanya, setiap yang datang pasti akan pergi.
Rasa takut ditinggalkan.
Rasa takut kesepian.
Rasa takut melepaskan.
Pada akhirnya hanyalah rasa takut belaka. Tak ada rasa takut yang akhirnya bisa menahan apapun untuk tetap menjadi milikmu atau berada di sisimu. Rasa takut yang pada hakikatnya secara perlahan akan menjadi sebuah penerimaan, penerimaan yang entah ikhlas atau tidak.
Segala ketidakikhlasan akan menjelma menjadi sebuah penerimaan yang sulit. Perlahan mengikis ingatan walau tak sepenuhnya akan hilang. Setiap titik kehidupan baru tak akan pernah bisa menutup coretan yang telah usang pada catatan masa lalu.
Hidup terus berjalan...
Memulai langkah setapak demi setapak dan menata sedikit luka yang tak kunjung sembuh.
Pun kecamuk di kepala tiada pernah ada habisnya. Meminta orang lain untuk memahami lukamu bukanlah sesuatu yang akan menyembuhkan karena dunia ini bukan hanya tentang aku, kamu, dan kita.
Dunia ini diisi banyak manusia dengan segala problematikanya.
Jika hidupmu berantakan jangan bebani manusia lain dengan dalih meminta dikasihani, dimengerti dan difahami.
Peluklah dirimu sendiri. Tata hatimu untuk lebih ikhlas, gunakan otakmu untuk berpikir lebih logis. Bukankah kita makhluk sempurna yang dibekali akal dan pikiran, kewarasan adalah kunci agar kita selalu terlihat baik-baik saja dengan segala kecamuk yang riuh di kepala.
"Bhumi, apa kamu yakin sayang?" Suara perempuan yang dari tadi menggenggam tangannya sekali lagi bertanya seolah meyakinkan diri atas keputusan Bhumi meninggalkan rumahnya dan memilih tinggal bersama kakek dan neneknya di Surabaya.
Perempuan itu sedang memeluk erat Langit, adiknya. Sedari awal Bhumi menyampaikan maksudnya terus saja mencecarnya pertanyaan siang dan malam. Kekhawatiran jelas tergambar dari wajahnya.
Dialah Karin. Perempuan yang melahirkannya dan memilih tak menikah hingga hari ini. Setelah mengambil keputusan ini, dia menjadi orang pertama yang sebenarnya menentang keputusannya untuk tinggal jauh darinya sekalipun secara fisik mereka tak pernah benar-benar tinggal serumah selama ini.
"Apa ibuk tidak bosan bertanya itu terus?"
"Ibuk cuma memastikan kembali, nak"
"Ibuk, kita sudah di bandara sebentar lagi kami akan berangkat lalu kenapa masih terus saja bertanya hal yang jawabannya sama..."
"Tapi nak, bagaimana adikmu?"
"Dan apa kamu akan meninggalkan kami semua?"
"Kamu tak kasian sama ibuk?"
"Atau sama Bunda?"
"Sama Tante Vania dan om Dandi?"
"Sama Tante Yon?"
Bhumi menghembuskan nafas kasar, menatap satu per satu wajah mereka. Mereka adalah orang-orang yang selalu memberinya cinta, melimpahinya kasih sayang tanpa balasan sedikit pun. Peran mereka bahkan setara dengan peran kedua orangtuanya apalagi setelah ayahnya meninggal dunia.
"Kamu mau misahin kita sama Langit yah?" Vania yang dari tadi menangis mengelus kepala Langit yang memeluk erat tubuh Karin. Yono bahkan tak bersuara sejak masuk ke dalam bandara dan sibuk menyuapi Langit dengan roti.
"Kami tidak pergi selamanya, setiap ada waktu kami akan mengunjungi Mama dan Papa juga kalian."
"Lagi pula aku sudah lulus kuliah, Langit juga sebentar lagi naik kelas 2 dan aku diterima kerja disana lalu apa salahnya kami mencoba suasana baru" jawab Bhumi mencoba sekali lagi meyakinkan mereka. Setelah kepergian ayahnya hampir dua tahun ini, Bhumi hanya sibuk kuliah menyelesaikan pendidikannya dengan cepat.