Denting sendok beradu dengan piring penanda bahwa pagi ini penghuni rumah sedang menikmati sarapannya. Meja makan yang biasanya sepi kini dihiasi dengan banyak cerita Langit dan juga sesekali tawa saat anak itu bertingkah lucu.
Selalu ada saja hal aneh yang keluar dari mulutnya.
"Abang jadi satpam nek..." Kalimat itu berulang kali keluar dari bibirnya untuk menggoda kakaknya.
"Kunyah dulu makannya baru ngomong"
"Tapi Abang beneran jadi satpam?"
"Cyber security expert, Alin...bukan satpam"
"Ah sama aja, satpam dan security kan artinya sama petugas pengamanan cuma namanya aja dibuat keren" hari pertama Bhumi masuk kerja justru mendapat ejekan dari Langit. Mulutnya terus berceloteh tiada henti sehingga kakek dan neneknya tersenyum karena tingkah cucunya.
Bibirnya boleh tersenyum dengan godaan Langit pada Bhumi, tapi tangan neneknya mengelus pelan lengan Bhumi seolah mengatakan "maklumi tingkah adikmu".
Bhumi memang diterima salah satu perusahaan swasta yang membutuhkan seorang cyber security. Pekerjaan yang cukup unik dan langka, tapi memang keahlian Bhumi yang lebih mahir dalam bidang tekhnologi yang elektronika, server, dan komputer. Bukan hanya itu keahliannya juga ditunjang dengan pendidikan yang ditempuhnya sehingga semuanya menjadi linier dan lebih mudah Bhumi jalani.
Gaji bekerja di sebuah perusahaan memang tak lebih banyak dari penghasilan bengkel ayahnya yang kini berubah menjadi sebuah showroom besar. Tapi keinginannya untuk menggeluti pekerjaan yang dia sukai adalah cita-citanya. Rasanya bekerja tanpa harus dikejar nominal penghasilan menjadi keuntungan baginya. Pemasukan dari beberapa showroom peninggalan ayahnya rasanya sudah lebih dari cukup jika harus memenuhi kebutuhannya dan Langit.
Biarlah urusan showroom ayahnya menjadi urusan Dandi, pamannya. Yang penting pendapatan dari showroom itu bisa menjadi tabungan untuk adiknya, Langit.
Bhumi ingin menikmati hidupnya. Menghabiskan semua waktunya untuk kesenangan dan kebahagiaannya bersama Langit.
"Bhumi, kamu yakin mau pakai motor nak?" Bhumi meneguk air dalam gelasnya, lalu mengangguk pada pertanyaan kakeknya.
"Apa tidak kepanasan nanti?"
"Udah biasa aku mah, tinggal nih bocah aja kek yang harus dibujuk"
"Alin mau ikut Abang naik motor"
"JANGAN!!!" kompak kakek dan neneknya berseru tak mengizinkan. Hari ini bukan hanya hari pertama Bhumi kerja tapi juga hari pertama Langit masuk sekolah barunya.
"Kenapa jangan, biasanya juga Abang yang antar ke sekolah"
"Nak, kan Abangnya sudah kerja lagipula ada kakek yang bisa antar lagipula kalau naik motor bahaya atuh sayang"
"Ya udah Alin berangkat sendiri kalau gitu"
"Alin..." Teguran Bhumi membuat Langit terdiam, mengaduk nasi goreng di piringnya lalu mendorongnya pelan.
"Habisin sarapannya, Lin. Katanya mau nurut apa kata Abang"
"Ini nurut kok...tapi"
"Jadi Abang sudah gak bisa antar Alin ke sekolah?"
"Kakek yang antar sayang"
"Oke, tapi hari ini Alin mau Abang ikut antar aku ke sekolah kan hari pertama sekolah" Kini tatapan semua orang tertuju pada Bhumi. Permintaan Langit selalu jadi hal yang sulit dirinya tolak. Ini bukan soal memanjakannya tapi rasanya melepas Langit sendirian di lingkungan baru terasa lebih menakutkan bagi semua orang.