"Musim dingin adalah saat ketika memeluk dinginnya hari, menerima keindahan kristal dari embun es yang menghiasi rimbunan pohon, serta merenungkan tentang bagaimana masa lalu telah membentuk jejak hidup. Seperti salju yang menutupi bumi dan menyamarkan jejak kaki, musim dingin adalah waktu untuk menemukan kedamaian dalam kesendirian dan mengubah diri kita dengan penuh kesadaran, terlepas dari segala belenggu dan beban yang ada di dalamnya."
"Ah, John Geofrey?" Silencia keluar ruangan dengan malu-malu, sementara Ares merapalkan karya seorang filsuf terkenal di Selatan. Silencia entah bagaimana tahu siapa nama orang yang menulis karya tersebut. Itu datang begitu saja dari dalam bagian kepalanya.
Ares berdiri, tubuh tingginya menghadap ke halaman di teras samping. Matanya memandang jauh seakan mengenang sesuatu. Ia kemudian menoleh sambil mengangguk, mendatangi Silencia dan menggenggam tangannya.
"Kemarilah," ujar Ares tersenyum sambil menuntun wanita berambut putih-silver itu berjalan menaiki tangga besar menuju lantai dua.
"Ke mana kau akan membawaku?" Tanya Silencia. Meskipun begitu, ia tetap mengikuti ke mana Ares membawanya. Mereka melewati koridor panjang dan deretan pintu serta ruangan besar. Silencia belum pernah ke bagian ini sebelumnya, jadi ia tidak dapat menahan rasa kagum akan luas kastil Utara yang disebut-sebut lebih besar dari Istana Kekaisaran di Selatan itu.
"Ke suatu tempat dimana Ayah dan ibuku pernah bersama," jawab Ares singkat. Tangannya hangat dan besar.
Silencia berpikir apakah mereka akan ke kamar tidur ayah dan ibu Ares? Jika iya, apa yang akan mereka lakukan di sana? Apa yang ingin Ares tunjukkan, terlebih setelah ia masuk dan memeluk tubuh Silencia yang hanya mengenakan pakaian dalam di bagian atasnya.
Pada akhirnya beragam pikiran Silencia memenuhi isi kepala. Tak terasa, mereka tiba di suatu ruangan di lantai dua kastil. Pintunya terlihat usang dan seperti sudah lama tidak dibuka.
Thorne yang entah dari mana muncul dari belakang Silencia dan Ares. Silencia terperanjat, bahunya terangkat karena kaget.
"Permisi, Yang Mulia," izinnya. Tangannya dengan sigap menarik gagang pintu dan memutar kunci.
Pintu terbuka dengan pelan, mengeluarkan suara berdecit.
Ruangan itu relatif kecil, tapi cukup terang karena sinar matahari yang masuk melalui jendela besar. Di tengah ruangan, terdapat sebuah sofa tua. Sekeliling ruangan penuh dengan deretan gaun-gaun dan pakaian resmi.Ares mengambil langkah maju dan tatapannya terpaku pada gaun berwarna putih yang tampak begitu indah. Silencia diam-diam memperhatikan Ares dalam suasana senyap itu. Ia melihat ekspresi wajah Ares, mulai dari tatapan kosong hingga sang Duke Utara itu berbicara.
Gaun putih itu jatuh di sudut ruangan, Ares dengan cepat memungutnya. Ia melipatnya dengan begitu rapi seakan ia sangat menyayangi gaun tersebut.
"Gaun ini milik ibuku," ucap Ares dengan wajah sedih.
Silencia merasa sedikit terharu. Ia merasakan emosional dan kecemasan dari Ares saat mendekati gaun itu. "Apa ada cerita di balik gaun ini?" tanya Silencia memutuskan kesunyian.
Ares mengangguk, kembali menarik tangan Silencia dan mengajaknya duduk di sofa tua yang ada di tengah ruangan.
Ia merenung sejenak dan mulai bercerita, "Ibuku meninggal saat aku masih kecil karena greyscale. Aku tidak terlalu banyak mengenal dirinya. Ayahku selalu mencoba mengajarkan ku bagaimana menjadi lelaki yang tangguh, jadi aku tidak banyak mengeluh bahwa aku merindukan ibu. Ketika ibu tiada, aku yang masih kecil sering bermain di sini. Mencium aroma tubuh ibu yang tersisa dan menangis sendirian. Kau tahu, setiap aku melakukannya, semakin aku merasa seolah mengenalnya sedikit lebih banyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Duke's Adopted Daughter (REVISI)
RomanceSuatu hari Hasegawa Aya, seorang wanita berusia 30 tahun mengalami kecelakaan sepulang kerja, dan ketika bangun, ia mendapati dirinya berada di dalam sebuah novel online yang terakhir dibacanya sebelum tewas. Berawal dari rasa simpatinya semasa hidu...