Duka

9 0 0
                                    

Mengerikan. Amat mengerikan.

Sungguh mencengangkan sejauh apa batas-batas nurani dapat diterabas, terutama apabila punggung sudah terlalu nyaman dan kepala kehilangan kebijaksanaan. Ketika Sang Presiden melarang orang miskin memiliki anak, aku turut berduka untuk mereka, tetapi masih ada sedikit, sekelumit prasangka baik tersisa. Aku pikir, Sang Presiden bermaksud baik, dan waktu yang bergulir akan memaksanya berpikir kemudian menganulir; mencari jalan yang lebih cendikia. Pada akhirnya, tentu itu jadi legenda belaka; sesuatu yang seharusnya sejak awal dapat kuterka.

Negara memutuskan untuk melarang para janin dengan cacat genetik untuk lahir.

Aku tidak lagi sekadar berduka. Ada suatu lain yang lahir dalam diri, suatu asing yang tak pernah kukenali. Suatu yang berkecamuk dan melolong, meski saat ini masih terlalu lirih untuk terdengar.

Kemudian para polisi itu menumpas para orang baik yang berpanas-panas dengan tongkat besi yang dilayangkan ke tendas. Perkumpulan kebaikan itu kocar-kacir diporak-poranda aparat, sementara di dalam gedung parlemen, Kusumawijaya sedang membacakan vonis mati kepada ribuan anak tak berdosa.

Aku melihat semuanya di XXXXX *, juga Forum Nusantara **; rekaman demi rekaman tentang perlawanan dari orang-orang asing yang kuanggap kawan. Sebagian sengaja dikaburkan, namun bahkan piksel-piksel itu tidak dapat menyembunyikan merah yang demikian pekat. Merah-merah itu bukan merah yang terpuji, melainkan merah-merah tercela, yang hanya hadir untuk mengabarkan petaka.

Mbak Daphine pulang terlambat hari ini dan aku harus menemani anak-anak hingga matahari telah cukup lama terbenam. Mas Rumi telah tiga kali menelepon, semuanya dengan ketidaksabaran yang berlipat. Namun aku tak terlalu risau, sebab pikiranku telah teralih pada apa yang tergambar di layar ponsel. Peristiwa itu lebih mengerikan dibanding serapah apapun yang mampu keluar dari mulut Mas Rumi.

Aku meninggalkan ponselku, tak sanggup lagi menyaksikan. Seperti ada yang layu di dalam hatiku, bunga yang ikut mati karena bersimpati. Sejak wacana UU KIA muncul ke publik tahun lalu, aku selalu ingin ikut bergabung ke dalam barisan pemberani yang berdiri tegak di hadapan kesewenang-wenangan. Mas Rumi tidak pernah memberi izin karena khawatir terhadap keselamatanku. Kalau memaksakan diri, sepertinya aku pun hanya akan terkapar seperti yang terjadi di Kebun Anggrek. Tapi aku pun bertanya-tanya, apakah mungkin pula kalau aku hanya menjadikannya sebuah dalih? Apakah alasan sesungguhnya aku tak pernah turun ke jalanan adalah karena aku tak dihinggapi nyali? Apakah aku tak bisa seperti Seraphine, yang acap menerjang bahkan ketika ia tahu ia tak akan menang?

Aku mengedarkan pandangan secara acak, segala yang dibutuhkan untuk mengalihkan pikiran. Akhirnya yang kulakukan adalah memerhatikan foto-foto yang terpajang. Aku sedang berada di ruang tengah, ruang terluas di rumah Mbak Daphine. Di sini biasanya menjadi ruang kami berkumpul dan berembuk, ataupun menjadi ruang Seraphine dan Josephine untuk saling bertumbuk. Foto-foto yang terpajang di sana mencerminkan pertumbuhan Seraphine dan Josephine, sejak mereka berpopok hingga saat ini, ketika sudah sanggup saling mengolok. Yang paling mencolok adalah ketiadaan foto Mas Gil—suami Mbak Daphine. Mereka berpisah sekitar lima tahun lalu dan perlahan—bahkan nyaris tanpa kusadari—Mbak Daphine menyingkirkan semua barang Mas Gil dari rumahnya, termasuk foto-fotonya. Sebagai gantinya, foto-fotoku yang berdampingan dengan anak-anaknya yang turut menghiasi ruangan itu.

Di dekat foto-foto itu ada koleksi gawai antik milik Mbak Daphine. Ia tergila-gila pada pada teknologi dan memutuskan untuk membuat semacam museum mini yang merekam gawai sepanjang zaman. Ada komputer retro, pemutar piringan hitam, kamera analog, atau ponsel-ponsel langka semacam Blackberry dan Nokia. Aku tidak pernah berani menyentuhnya, sebab harganya puluhan juta. Mbak Daphine adalah seorang manajer regional di perusahaan produsen alat keamanan paling besar di republik ini, jadi uang bukan masalah besar, bahkan tanpa sokongan suami. Aku juga belum melihat tanda-tanda dia berminat untuk mencari pasangan lagi. Waktunya belakangan ini hanya untuk anak-anaknya dan perusahaan.

KRISALISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang