Mengapa aku bahkan menginginkannya?
Saat itu aku terhuyung. Bisa saja perasaanku semata, tapi bisa juga memang lututku yang tak lagi mampu menopang berat sebab terlampau berduka. Tidak ada yang mati di sini, kecuali kita menghitung pula yang belum berjiwa dan berjasmani. Tanganku bersandar ke dinding, membantuku tetap berdiri. Aku menatap ke arah Putri tanpa bisa berbuat apa-apa.
Aku mulai berjalan. Di sepanjang koridor itu, tepat di luar ruangan poli kandungan, dipenuhi ibu-ibu mengandung seperti sudah sepantasnya. Beberapa ditemani anak yang sudah beranjak besar. Para ibu memerhatikanku, namun cukup logis untuk menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Tidak untuk para anak itu. Mereka menunjuk-nunjuk, ke arah wajahku dan ke arah Putri.
"Ma, itu mukanya kenapa?"
"Bu, takut."
"Mom, tante itu melahirkan boneka."
Langkah kupercepat. Kudekap Putri semakin erat, sekaligus menutupi telinganya agar ia tidak terpengaruh ucapan-ucapan jahat.
"Jangan dengarkan, Sayang. Mama di sini," bisikku.
Aku menunggu di ruang tunggu apotek. Segala di sekitarku bergerak dengan kecepatan meriam, sementara di tempatku berpijak, waktu terdiam. Tanpa kusadari, tangan kananku sedari tadi mengelus perut dengan tersaruk. Perut yang rahimnya tiada guna, selain menjadi kantong-kantong hampa. Perut sepi yang selamanya takkan berpenghuni.
Seolah tengah menyendiri, aku tak kuasa selain termenung lama, memikirkan kembali vonis yang kuterima. Sungguh sebuah tragedi. Tapi di sisi lain, aku merasa mungkin tuhan telah melakukan introspeksi. Sebagai yang paling bertanggung jawab atas tiap penderitaan di dunia, mungkin ia akhirnya merasa sudah waktunya menahan diri.
Aku menatap Putri.
Mungkin dia adalah bagian dari mereka yang kebahagiaannya adalah tidak pernah dilahirkan.
Mungkin takdirnya adalah menjalani permainan abadi di surga, selamanya belia, dan tidak perlu berjibaku dengan perkara menyusahkan serupa menjadi dewasa.
Mungkin...
Mungkin aku yang seharusnya menaruh iri padanya.
"Maafkan Mama, Sayang," bisikku.
Suara monoton dari pengeras suara itu kembali.
Sekelebat ingatan tiba-tiba hadir tanpa diminta. Sebuah wajah yang tak ingin kulihat lagi, bahkan bila hanya sebatas foto atau bayang-bayang di kepala. Bibir yang tebal itu, yang tak sanggup membentuk senyum, yang tak pernah terbuka kecuali di hari-hari terburuk. Dan mata-mata itu, yang selalu menatap kecewa, seolah sedang menyaksikan peristiwa paling tercela.
Dan aku akhirnya menyadari alasan aku membenci suara mesin bicara itu.
"Panggilan ke apotek, atas nama Ratu Sejagad."
Nada, intonasi, dan caranya menyebut namaku secara lengkap, sama persis dengan bagaimana ibuku berbicara.
***
Prahara yang menimpa membuatku sejenak melupakan situasi negara. Rupanya bertepatan dengan rapat pleno untuk mengesahkan Undang-undang Kesehatan Ibu dan Anak itu, terjadi kericuhan di luar gedung parlemen. Aku sudah menduganya, tapi tingkah gerombolan yang mirip kawanan sapi itu tetap menarik disimak. Terutama karena UU KIA ternyata dapat menyatukan lapisan-lapisan masyarakat yang sebelumnya akan saling melempar batu.
Di antara gerombolan itu ada para aktivis keagamaan yang gemar menyeru kepada para pendosa. Mereka bilang aborsi adalah dosa besar dan negara ini akan dikutuk menjadi bubur apabila aborsi tidak hanya dilegalkan, tapi justru diwajibkan. Di sisi kelompok mereka, berdiri pula kelompok anarkis dan pemuja nilai-nilai liberal. Jika tidak mengetahui konteksnya, orang-orang akan mengira mereka sedang bersiap tawuran. Bagaimanapun, mereka adalah dua kelompok yang sama dengan yang bertempur akibat dugaan penistaan agama. Di sini, para anarko dan kelompok progresif lain yang bergabung punya kepentingan yang sama dengan kelompok relijius, karena menurut mereka aborsi adalah sesuatu yang harus jadi pilihan sadar perempuan, bukan instruksi dari negara.
Semuanya kudengar dari Zola. Aku terlalu letih untuk membaca berita jadi kuminta ia menceritakannya. Dia bilang selain dua kelompok itu, ada pula kelompok-kelompok kecil lain, seperti gerakan mahasiswa, organisasi ibu-ibu, atau kelompok pendamping difabel.
"Lalu?" tanyaku.
"Ya, apa lagi? Seperti yang sudah-sudah. Mereka berteriak tanpa henti hanya untuk lari tunggang-langgang begitu polisi merapatkan barisan. Tapi, sepertinya tidak ada yang mati kali ini," jawab Zola.
Aku mengangguk.
"Kamu lebih banyak diam hari ini," kata Zola. "Dan tidak biasanya kamu meninggalkan Putri."
Aku tidak segera menanggapi. Kulihat sekeliling. Malam ini berawan, namun tidak kunjung hujan. Kami sedang berada di beranda rumah Zola yang terletak di tengah salah satu gang sempit wilayah Bukit Peniti, Nusantara. Entah bagaimana aku baru menyadari, Zola mengenakan kaus berwarna senada dengan kemeja merah yang selalu kukenakan.
"Hari ini," aku menghela napas dalam, "bukan hari yang menyenangkan."
"Apa? Kenapa? Dokter mengatakan sesuatu?"
Aku menatap Zola. Di dunia yang sunyi ini, ia adalah satu-satunya orang yang bisa kupercaya. "Dia bilang kemungkinan rahimku tak akan pernah bisa berfungsi normal. Aku tidak bisa hamil."
"Apa maksudnya itu? Setelah semua terapi yang kamu jalani?"
"Sedari awal memang peluangnya kecil. Tujuan utama terapi estrogen adalah membuatku bisa hidup layak. Lebih dari itu, tidak ada jaminan keberhasilan."
Zola menatapku seperti ia menatap anak bungsunya tiap kali anak itu terjatuh ketika belajar berjalan.
"Jangan mengasihaniku. Kamu tahu aku benci mata yang seperti itu," tegurku.
Zola segera memperbaiki wajahnya. "Maaf, tapi..."
Ketika itu, Jani, istri Zola, keluar dari rumah untuk mengantarkan panekuk dan dua cangkir teh. Wajahnya tersenyum, tapi aku tak pernah melewatkan kilatan di mata seseorang yang mengandung iba. Ia pasti mendengar perkataanku barusan.
Setelah Jani kembali ke dalam, Zola menyesap tehnya, lalu berkata, "Tapi, Rat, maaf aku bertanya begini, tapi apa kamu memang ingin jadi seorang ibu?"
Mengapa aku bahkan menginginkannya?
Hening panjang mengikuti. Sepertinya Zola merasa bersalah sudah bertanya dengan terang-terangan. Ia mungkin sedang memikirkan kata penghiburan, tapi aku tahu dia bukan orang yang pandai untuk hal semacam itu.
"Maksudku," lanjut Zola, "bukannya kalau kamu benar hamil, um, anakmu juga bisa—"
"Turner syndrome bukan penyakit warisan," potongku, sudah memahami maksudnya. "Ia tidak akan mewarisi takdirku."
"Begitu ya." Zola tampak berpikir sejenak. "Tapi seandainya pun, ternyata anakmu punya, 'takdir', sepertimu, apa yang akan kamu lakukan?"
Aku menatap cangkir teh yang belum kusentuh, tersenyum, lebih disebabkan oleh kesadaran bahwa pertanyaan itu tak lagi berarti. Aku takkan pernah mengandung dan juga, hari ini, Kusumawijaya telah menjungkirbalikkan negeri.
"Buat apa memikirkan hal itu sementara UU KIA sudah disahkan? Kalau hari ini aku mengandung anak cacat, aku sendiri yang akan membelah perutku dan memastikan anak itu tidak pernah menjejak bumi.
Zola menatapku dengan pandangan berbeda. Tidak ada lagi pandangan iba, melainkan pancaran seorang patron yang bungah. Ia menyesap lagi tehnya sebelum berkata, "Sepertinya Kusumawijaya tidak salah memilihmu."
Ia meletakkan cangkir dengan tekun, lalu berkata dengan dipelankan agar Jani tidak sanggup mencuri dengar, "Kusumawijaya tidak akan buang waktu. Yang aku dengar dia ingin segera mengumpulkan para ibu yang tidak beruntung itu. Dan setelahnya, pada mereka yang menolak patuh, adalah bagian kita. Perisai Merah. Bagianmu. Kamu sudah siap?"
Malam ini ialah permulaannya. Mulai dari sini, melintasi alunan waktu yang membuai, segalanya akan tampak lebih surgawi, semuanya akan tampak seperti merah yang sesungguhnya: merah hati.
Aku mengetuk dada kiriku dua kali dengan dua jemari.

KAMU SEDANG MEMBACA
KRISALIS
Ciencia FicciónSahara mencintai kehidupan dan segala yang hidup di dalamnya, terutama kupu-kupu dan anak-anak. Lebih dari sepuluh tahun ia habiskan sebagai pengasuh anak, sementara ia menanti kesempatan untuk mengasuh anaknya sendiri. Di tahun 2045, ketika akhirny...