Bagi para jelata yang tak pernah bertemu langsung, Kusumawijaya akan tampak seperti tipikal pejabat lelaki paruh baya tampan yang usianya gagal memudarkan pesona, ala Justin Trudeau berdekade lalu atau Mathias Levmussen * belakangan ini. Bagi yang sudah bertemu, sama saja, setidaknya di permukaan. Namun semuanya, setelah berada dalam radius tertentu, akan berkeringat. Seakan ada gelombang panas yang meruap dari tubuh Kusumawijaya, kobaran api yang meluap tertutupi jas berbudaya dan senyum menaklukkan. Aku merasakannya pula, seakan wajah tampan itu selangkah lagi robek dan terbang tertiup angin, menyibak neraka di baliknya.
Pertama kali aku melihat Kusumawijaya adalah di Jalan Afrika no. 10, alamat rumah ibuku, ketika aku masih sembilan tahun. Di tahun-tahun itu, Kusumawijaya biasanya terbalut seragam angkatan darat. Namun hari itu, aku melihat Kusumawijaya yang sesungguhnya, sebagai tubuh polos yang bebas, mengangkangi ibuku di kamarnya sendiri. Ibuku sendiri hampir tak terlihat, kecuali pasang kakinya yang menggelantung pasrah di udara. Adegan itu tak bertahan lama di mataku, sebab Kusumawijaya menyadari kehadiranku yang menggendong Putri dan aku segera lari, begitu lupa diri hingga pada pintu kamar ku tak lagi peduli. Kubayangkan Kusumawijaya turun dari ranjang dengan hasrat sekaligus amarah tertahan yang ia lampiaskan pada pintu yang berdebam kencang.
Di rumah itu, ibuku menampungku seorang diri. Ya, menampung, sebab itu perlakuan yang kurasakan selama bertahun-tahun; bukan sebagai anak yang dirawat ibunya, melainkan anjing kecil yang membutuhkan makan dari tangan terulur.
Ibuku...
Entah siapa namanya. Nuraniku mungkin mengabaikan ingatan soal itu beberapa tahun lalu, pun tak begitu penting kuceritakan.
Oh, Gloria. Itu dia namanya.
Sejak ayahku, Mustafa, berpulang ketika aku masih terlalu muda untuk mempertahankan ingatan, Gloria bekerja di lapak yang menjual parfum di pusat perbelanjaan, tapi pendapatan yang lebih besar ia dapatkan sebagai gundik para pejantan. Permintaannya berlimpah, sebab ia dikaruniai wajah bulat, dada padat, dan hidung mungil yang digilai pria-pria buas yang dompetnya tidak cukup besar untuk menampung kekayaan. Di tiap kesempatan langka ketika aku dapat menyentuhnya, kulitnya mulus nircacat seakan ia selalu menggosoknya dengan batu apung. Pernah kukatakan Gloria tidak pernah tersenyum, sebab ia tak pernah memerlukannya.
Ia membawa pulang pria tanpa pernah ambil pusing pada keberadaanku, kecuali ketika waktunya Kusumawijaya berkunjung. Aku akan dipaksa keluar dari rumah; melabang entah ke mana, ia takkan peduli. Bahkan jikalau aku ditabrak truk dan tak pernah pulang, aku yakin ia juga takkan repot mencari. Di hari itu, aku berpura pergi padahal bersembunyi bersama Putri. Dari balik lemari aku melihat Gloria mengunci pintu rumah kemudian masuk ke kamarnya. Beberapa menit berselang, aku mengikutinya. Dan di sanalah aku melihat Kusumawijaya.
Bahkan ketika ia marah, Gloria tak pernah banyak berbicara. Ia membiarkan matanya memegang kendali, menyampaikan murka tak bersuara. Sebelumnya, ketika Kusumawijaya meninggalkan rumah, kami sempat berpapasan. Saat itulah aku dapat merasakan panas dari tubuhnya. Kusumawijaya melewatiku dalam diam, namun matanya ialah pasang mata kejam. Kemarahannya jelas tak disebabkan ketersinggungan atas kelancanganku melihat tubuh telanjangnya—ia cukup bangga pada tubuhnya sendiri. Yang mendongkolkannya adalah ia tak menghendaki matanya untuk menangkap pemandangan serupa aku dan gloria memahami itu. Aku tak tahu persis apa yang terjadi, tapi sejak itu, Gloria tetap bolak-balik membawa lelaki, tanpa pernah repot menyuruhku pergi. Yang berarti Kusumawijaya tak pernah kembali. Dan aku tahu, Kusumawijaya adalah pria paling bergengsi yang pernah Gloria jerat—dan kemungkinan sumber pendapatannya yang terbesar.
Kedua kali aku melihat Kusumawijaya adalah enam tahun berselang. Umurku menyentuh lima belas. Saat itu Gloria telah tiada dan selama itu aku ditampung oleh Zola dan keluarganya.
Zola adalah anggota tentara angkatan darat yang lulus dari pendidikan militer dua tahun setelah Kusumawijaya. Awalnya ia hidup tentram dengan istri dan kedua anaknya, namun seperti Kusumawijaya, ia juga adalah salah satu hidung belang yang menggilai gloria. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Zola pada istrinya, Nirmala, tetapi keluarganya menerimaku dengan tangan terbuka. Zola membiayai pendidikan dan bahkan terapi estrogen yang dimulai ketika aku menginjak dua belas tahun. Suatu ketika, entah bagaimana, Nirmala mengetahui siapa aku sebenarnya dan seketika itu pula, ia meminta Zola menceraikannya. Kedua anak mereka dibawa Nirmala kembali ke rumah orang tuanya di Semarang. Zola menikahi Jani ketika aku sudah keluar dari rumah Zola dan tinggal di rumah sewaanku sendiri.
Di suatu hari yang begitu terik seolah matahari hampir menelan bumi, Zola menjemputku sepulang sekolah. Tetapi kami tidak kembali ke rumahnya. Mobil Pajero keluaran 2024 milik Zola berbelok ke kompleks angkatan darat.
"Tidak apa-apa, ikut saja di belakangku. Bawa saja Putri," kata Zola, menjawab pertanyaanku ketika kami tiba di tujuan plesir mendadak ini. Seperti yang sudah kuduga, para tentara yang melewati kami memelototiku dan Putri seperti sedang melihat beruang kutub yang tersesat di Sahara.
Zola membawaku ke sebuah ruangan kecil yang berbau keringat. Tak lama, aku merasakannya; hawa panas nan ganjil itu. Bersamaan dengan itu, kepala Kusumawijaya mencuat dari balik pintu yang sepertinya terhubung ke toilet. Ia melihat Zola, lalu melihatku dan Putri. Kepalanya meneleng sedikit, seakan menahan jijik, lalu berpaling.
"Ini Ratu, anak yang kuceritakan itu," kata Zola.
Kusumawijaya memunggungi kami, mengambil sebotol air di atas meja lalu menenggaknya habis. Ia menghela napas panjang kemudian berbalik. Matanya hanya menatap Zola, sementara ia melangkah mendekati kami.
"Ini anak pelacur itu, kan?" tanya Kusumawijaya.
"Ya," jawab Zola. Aku menaruh tangan di kedua telinga Putri.
"Kamu yakin tidak salah lihat, kan?" tanya Kusumawijaya lagi.
Zola membutuhkan waktu lebih lama untuk menjawab, tetapi suaranya sama tegasnya, "Ya, aku melihatnya sendiri."
Senyap merambat. Tidak ada kata-kata terlontar selama beberapa saat, sebelum Kusumawijaya kembali bertanya, "Kamu ingin dunia ini bebas dari orang-orang sepertimu?"
Perlu beberapa detik sebelum aku menyadari pertanyaan itu ditujukan kepadaku. Aku sedikit menengadah. Kusumawijaya tidak lagi menatap Zola. Pasang mata coklat itu menatap tajam kepadaku. Para wanita lain mungkin mendambakan kejadian semacam ini, ketika seorang tampan menatap mereka dengan intensitas yang dapat membunuh harimau dewasa. Tetapi yang aku rasakan ketika itu hanyalah panas yang makin menyengat. Aku bahkan tak mampu membuka mulut. Sebagai jawaban, kepalaku mengangguk lemah.
"Kenapa?"
Aku terpaksa membuka mulut. "Karena..." Suaraku selemah desau angin.
"Hah?"
"Karena..." Aku meninggikan volume. "Karena orang-orang sepertiku seharusnya tidak dilahirkan."
"Dan supaya itu terjadi, kamu rela membunuh?"
Mulutku membuka, bukan untuk menjawab, melainkan karena terkejut setengah mati. Itu bukan pertanyaan yang akan ditanyakan kepada sembarang anak SMA, terutama seorang gadis. Karena Kusumawijaya bertanya tanpa ragu, aku yakin Zola telah memberi tahu.
Aku menjawab, juga tanpa ragu, "Aku sudah pernah membunuh."
Mungkin aku salah lihat, tetapi Kusumawijaya hampir tersenyum mendengar jawabanku. Tatapannya kembali ke Zola. "Bawa dia kemari setiap sore."
Ruangan itu sudah terlalu panas. Aku membawa Putri keluar dengan peluh menderas.
* Perdana Menteri Denmark. Mulai menjabat dari tahun 2038.
![](https://img.wattpad.com/cover/361601498-288-k497642.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KRISALIS
Bilim KurguSahara mencintai kehidupan dan segala yang hidup di dalamnya, terutama kupu-kupu dan anak-anak. Lebih dari sepuluh tahun ia habiskan sebagai pengasuh anak, sementara ia menanti kesempatan untuk mengasuh anaknya sendiri. Di tahun 2045, ketika akhirny...