1

3 0 0
                                    

Tandai jika typo!

***

“Akh, panas!” desis cowok itu, aku melotot menatap lengannya yang memerah.

Aku menunduk. “Maaf, aku benar-benar minta maaf, aku nggak sengaja,” lirihku. Baru saja tadi aku ingin santai memakan baksoku, sekarang dengan cerobohnya aku tak sengaja menumpahkan kuah panas ke seorang OSIS. Takut-takut, aku mengangkat kepalaku, menatap cowok itu yang tengah melirikku tajam.

“Anna,” bisik Yara, teman yang dari tadi di sampingku, menyaksikan semuanya. Aku menoleh ke arahnya, berbicara melalui kontak mata. Yara mengangguk mengerti maksudku.

“Maaf, permisi.” Tanpa pikir panjang, aku menarik tangan cowok tersebut, membuatnya mengikutiku tanpa banyak protes. Cowok itu hanya diam membiarkan aku menyeretnya hingga ke UKS.

“Duduk di sini sebentar, Arsen,” ucapku, cowok yang di panggil Arsen tadi menurut, mendudukkan dirinya di bed, meletakkan jas OSIS yang dari tadi ia pegang di tangan sebelahnya. Aku berjalan ke sana kemari, mencari hal yang dibutuhkan.

Aku datang dengan tanganku yang terisi penuh, mengambil kursi, duduk di depan Arsen. “Permisi, tangannya aku obati ya.” Arsen menatapku sejenak, lalu mengangguk. Aku menarik tangannya pelan, mengompres dengan air dingin. Arsen tidak banyak bicara, hanya diam melihat apa yang kulakukan. Sambil menunggu, aku mengambil ponselku, dan mengetik beberapa kata di sana.

Setelah beberapa menit, aku mengangkat kompresnya, mengoleskan salep luka bakar di sekitar lengan Arsen yang terkena kuah panas tadi. Kemudian, aku membalut lengan Arsen dengan perban.

Pintu UKS terketuk, aku keluar sebentar melihatnya. Yara datang membawa roti dan susu coklat. “Makasih, Ra.” Yara mengangguk sebagai jawaban. “Makasih juga udah beresin kejadian tadi.”

“Iya, santai aja.” Setelahnya Yara berlalu pergi, meninggalkan ruang UKS.

Aku kembali masuk, melihat Arsen sedang sibuk memperhatikan balutan lengannya—mungkin bingung bagaimana aku bisa melilitnya. Aku menyodorkan susu coklat dan roti tadi, Arsen beralih melirikku, menatapku heran.

“Aku tau kamu habis rapat OSIS. Datang ke kantin untuk mencari makanan, malah jadi seperti ini. Aku minta maaf, karenaku, waktu istirahatmu jadi nggak ada. Bentar lagi bel masuk kelas, kamu bisa makan dan minum ini dulu sebagai gantinya.” Arsen terdiam, belum menerima sodoranku. “Nggak mau?” tanyaku pada Arsen, Arsen mengambilnya walau terlihat agak ragu.

“Lo tau nama gue dari mana?” akhirnya Arsen membuka suara setelah sekian lama terdiam.

Aku tertawa pelan. “Tentu aja tau, kamu kan OSIS, siapa sih yang gak kenal anggota OSIS, apalagi kamu, semua orang heboh membicarakanmu,” ujarku. Arsen hanya diam. “Soal tadi, aku benar-benar minta maaf.”

Arsen mengangguk. “Nggak apa-apa, udah kejadian juga, gak perlu minta maaf terus.” Entah kenapa aku masih merasa bersalah, seenaknya meminta maaf setelah menumpahkan kuah panas ke lengan seseorang.

Sesuatu menepuk kepalaku. Kepalaku terangkat. Aku dapat melihat Arsen sedikit menunduk menatap wajahku, aku memang sedikit lebih pendek darinya. “Gapapa, gak perlu ngerasa bersalah lagi. Perban ini udah cukup buktiin kalo lo tanggung jawab atas kejadian tadi.” Arsen mengucapkan hal tersebut dengan wajah datarnya, tidak menunjukkan banyak ekspresi, tapi aku tau dia tulus mengucapkannya.

Aku mengangguk. “Makasih. Lain kali aku bakal hati-hati lagi.” Arsen hanya membalas dengan gumaman. Tepat setelahnya, bel berbunyi. Kami mengakhiri hal ini. Setidaknya, aku yang sudah dimaafkan itu sudah cukup. Kami keluar ruang UKS. Kembali ke kelas masing-masing. Kembali seperti tidak ada apa-apa. Kembali asing.

Surat UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang