2

0 0 0
                                    

Tandai jika typo!

***

Hari ini, aku tidak sekolah. Aku menghela napas panjang. Meninggikan posisi tempat tidurku untuk duduk. Aku melirik ke sekeliling, ruangan ini serba putih. Suara pintu di ruangan ini terbuka. Mama masuk membawa beberapa buah-buahan. Mama menatapku galak sembari meletakkan buah yang di tangannya ke atas meja petak di sampingku.

“Makanya kalo mau makan mi instan itu liat dulu expired-nya dulu, Anna! Liatkan jadi akhirnya masuk rumah sakit. Mau buat lagi gini? Mau di infus lagi?” ketus Mama. Aku tahu Mama mengkhawatirkanku, namun malah memarahiku sekarang. Aku tersenyum kikuk.

“Enggak, Ma. Besok Anna bakal lebih hati-hati lagi, janji!” seruku. Mama melirikku, lantas menghela napas.

“Ya udah, tapi kamu gak boleh makan mi instan sebulan ke depan,” ujar Mama yang mulai mengambil salah satu buah apel untuk di kupas.

Aku melotot. “Gak bisa gitu, Ma!” aku tentu menolaknya. Namun, terdiam setelah melihat kirimkan tajam Mama.

“Kenapa? Mau masuk rumah sakit kayak gini lagi? Mau kamu jadiin hobi ke rumah sakit terus?” lontar Mama sambil mengancungkan pisau di tangannya. Aku terdiam, menggidik ngeri. Wajahku berubah menjadi cemberut, tapi lebih baik aku mematuhi Mama daripada pisau itu benar-benar terlempar ke arahku saat ini. Mama tidak pernah main-main.

***

Tiga hari aku izin sekolah. Kembali masuk lagi agar tidak ketinggalan banyak pelajaran, apalagi aku sudah kelas 3 SMA saat ini, beberapa bulan lagi akan ujian akhir dan semacamnya.

Aku meletakkan tasku di kursi baris kedua dan urutan ketiga dari depan, tepat di depan barisan kursiku papan tulis. Saat ingin meletakkan buku sejarah tebalku di laci, tanganku mendapati sesuatu, aku menariknya keluar. Aku tercengang melihat apa yang kudapat. Susu coklat kotak berukuran besar. Aku bingung, siapa yang menaruhnya di laci mejaku? Ada secarik kertas di sana, aku mengambilnya.

Minum sebanyak ini gak bakalan bikin lo mabuk susu, kan? Semoga perut lo gak kembung setelah ini. Cepet sembuh, gue pengen ngeliat lo di sekolah lagi. Gue gatau lo suka apa selain susu coklat, di minum ya. Susunya aman kok gak beracun, expired-nya juga masih lama. Gak perlu tau gue siapa, cukup jadi pengagum lo aja saat ini.

Untuk Anna.

Aku termangu membaca isi suratnya. Tetap saja aku penasaran siapa yang mengirimkan susu coklat besar ini. Aku bahkan berkeliling kelas untuk menanyakan hal ini.

“Kalian lihat siapa yang akhir-akhir ini ke mejaku selama aku sakit?”

Semua teman sekelasku menggeleng, mereka benar-benar tidak tahu-menahu tentang hal itu. Saat kutanya Yara, ia hanya mengangkat bahunya. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada orangnya, tapi ya sudahlah, kuanggap dia tahu aku berterima kasih kepadanya. Sebenarnya, pikiranku malah melayang ke seseorang, namun sangat tidak mungkin orang itu. Aku menggeleng pelan sembari menghela napas, mencoba menghilang rasa penasaranku.

Beberapa bulan setelahnya, aku lulus dengan nilai yang lumayan memuaskan. Aku berfoto dengan teman-temanku, sesekali memeluk mereka yang menangis tidak menyangka sudah lulus sekolah. Aku merasakan juga kesedihan itu. Setelah ini, aku akan menempuh ke langkah selanjutnya, masuk ke perguruan tinggi.

 Aku tertawa melihat temanku terpeleset ke sebuah kolam renang sekolah. Tidak terima ditertawai, dia menarik satu-persatu temanku masuk. Aku segera berlari menjauh sebelum ikut terseret, terbahak-bahak melihat dari atas mereka semua sudah berada di dalam kolam semua.

“Anna?”

Aku menoleh, mendapati Arsen memegang kamera di tangannya. Bajunya penuh coretan, seperti bajuku. Aku membalasnya tersenyum sambil menjulurkan tanganku.

“Selamat atas kelulusanmu!” Arsen mengangguk, membalas tanganku.

“Selamat untukmu juga.” Kami melepas tautan tangan, sama-sama tersenyum. Aku kembali terpukau melihat senyumannya, baru kali ini aku melihatnya. “Mau foto bareng?” tawarnya sambil mengangkat kamera miliknya, aku mengangguk. Dia minta tolong pada orang yang lewat untuk memotret kami.

Aku tersenyum lebar menghadap kamera. Kami berfoto dua kali, satu untukku, satu untuknya. Aku terkekeh kecil melihat potret Arsen di sana, entah kenapa terlihat gugup, mungkin hanya penglihatanku saja. Arsen adalah orang yang menjadi pusat perhatianku beberapa bulan terakhir ini. Tidak tahu sejak kapan, tapi aku suka memperhatikannya. Ada rasa senang saat dia berada di dekatku.

Arsen mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. “Lo mau?” tanyanya. Itu sebuah susu coklat dan sebatang coklat berbungkus plastik yang terlihat rapi. Aku mengangguk menerimanya.

Aku membuka gelang di lengan kananku. “Untuk adik kamu.” Aku membuka telapak tangannya, meletakkan gelang itu di sana.

Arsen terkekeh pelan. “Gue gak punya adek, tapi ini gue terima,” ucapnya. Aku lagi-lagi terdiam melihat Arsen, mendengar kekehnya itu suatu yang sangat langka. Arsen menepuk pelan kepalaku, ini kedua kalinya dia melakukan hal itu. “Baik-baik ya. Sampai jumpa lagi.” Aku sedikit merasa sesak mendengarnya, aku harap kami benar-benar bertemu kembali nantinya.

***

Surat UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang